Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komnas HAM mengingatkan penyusunan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh pemerintah harus melibatkan banyak pihak, terutama Komnas HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sampai hari ini, Komnas HAM belum pernah dimintai pandangan dan diajak berbicara secara formal untuk menyusun naskah rancangan RUU KKR," kata Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat sekaligus Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad, 12 Desember 2021.
Padahal, sejak awal seharusnya Komnas HAM sudah dilibatkan. Sebab, jangan sampai draf RUU KKR disusun secara sepihak, namun di kemudian hari mendapat penolakan. "Apalagi, pada 2006 Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan UU KKR yang telah disahkan oleh pemerintah," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, pemerintah diketahui sedang menyempurnakan naskah akademik RUU KKR. UU KKR adalah dasar hukum yang ditujukan untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM disahkan.
KKR adalah mekanisme penyelesaian di luar pengadilan untuk pelanggaran HAM berat. Dunia telah mengenal mekanisme ini sejak lama dan sudah ditempuh di berbagai negara, misalnya di Afrika Selatan dan Korea Selatan. Termasuk pula di beberapa negara Amerika Latin setelah pemerintahan-pemerintahan otoriter jatuh oleh gerakan demokratisasi.
Mengingat pentingnya RUU KKR itu, Amiruddin menegaskan sebaiknya pemerintah terbuka sedari awal dalam menyusun naskah rancangan RUU KKR termasuk melibatkan banyak pihak, terutama perwakilan keluarga korban dan korban.
Ia mengatakan hingga hari ini penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui proses nonyudisial selalu menjadi wacana dari tahun ke tahun. Pemerintah harus mulai menunjukkan langkah dan konsep yang jelas tentang apa yang dimaksud langkah nonyudisial.