Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua KPK terpilih, Setyo Budiyanto, berjanji akan meningkatkan indeks persepsi korupsi Indonesia.
Para pegiat antikorupsi menilai hal itu baru akan terjadi jika pemerintah dan DPR mengembalikan independensi KPK.
Mereka pun ragu akan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sejauh ini.
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih, Setyo Budiyanto, berjanji melakukan perubahan di tubuh lembaga antirasuah tersebut. Perubahan itu akan bermuara pada perbaikan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, IPK Indonesia terus merosot hingga ke titik terendahnya saat ini. "Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan perbaikan supaya indeks persepsi korupsi membaik dengan berbagai upaya sinergi dan kolaborasi dengan semua pihak," ujar Setyo saat menghadiri acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) di gedung KPK, Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setyo bersama empat pimpinan terpilih lain—Johanis Tanak, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono—akan memimpin KPK pada periode 2024-2029. Mereka akan menggantikan para pimpinan KPK saat ini setelah menjalani pelantikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Desember nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi dengan pangkat komisaris jenderal tersebut mengatakan langkah pertama yang akan dia ambil adalah memperbaiki citra KPK. Menurut dia, perbaikan citra itu bisa berjalan jika mendapat dukungan dari semua pihak. Tak hanya dari lingkup internal, tapi juga dari pemangku kepentingan lain. Meskipun demikian, dia tak mendetailkan langkah perbaikan citra tersebut. “Saya yakin setiap pemimpin, setiap pegawai, semua berharap supaya indeks persepsi korupsi itu akan menjadi lebih baik. Dengan berbagai upaya yang akan kami lakukan, dengan berbagai sinergi, kolaborasi, dengan semua pihak, dengan semua stakeholder,” ucap Setyo.
Citra KPK dalam lima tahun terakhir memang cukup buruk. Hal itu tak lepas dari berbagai masalah, dari revisi Undang-Undang KPK, pemecatan para penyidik melalui tes wawasan kebangsaan (TWK), penanganan kasus korupsi bernilai kecil, hingga masalah pemimpin yang terjerat kasus etik dan hukum, seperti Firli Bahuri. Hal itu, turut membuat IPK Indonesia turun drastis.
Indeks persepsi korupsi merupakan survei yang setiap tahun dilakukan oleh lembaga antikorupsi dunia Transparency International (TI). Survei ini mengukur risiko korupsi sektor publik di 180 negara. Hasil survei ini tergambar melalui skor dengan rentang nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). Makin tinggi skor yang diberikan, makin rendah risiko korupsi di suatu negara.
Dalam survei terakhirnya pada 2023, Transparency International mencatat skor Indonesia hanya berada di angka 34. Nilai itu sama dengan perolehan pada 2014 atau awal periode Presiden Joko Widodo berkuasa. Namun peringkat Indonesia menurun cukup jauh. Pada 2014, Indonesia berada di posisi ke-107, sedangkan pada 2023, Indonesia berada di posisi ke-115. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara kelima paling korup, sejajar dengan Filipina, dan hanya berada di atas Myanmar, Laos, serta Kamboja.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko menyatakan perbaikan IPK Indonesia bukan hanya tugas KPK. Dia menyatakan perbaikan itu harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan. Untuk KPK, Wawan menyatakan bisa mendorongnya dengan pemberantasan korupsi, terutama di kalangan aparat penegak hukum dan politikus. "KPK bisa berfokus pada korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum dan politikus," ujarnya saat dihubungi pada Rabu, 12 Desember 2024.
Menurut Wawan, KPK harus berfokus pada aparat penegak hukum dan politikus karena di kedua sektor inilah yang paling banyak ditemukan tindak pidana korupsi. Ia pun menyarankan KPK memperkuat instrumen operasi tangkap tangan (OTT) yang dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk pencegahan korupsi paling efektif. Makin KPK menggencarkan OTT, menurut dia, pejabat negara akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi. Selain itu, Wawan meminta KPK terus melaksanakan sosialisasi dan pendidikan antikorupsi kepada masyarakat sebagai langkah preventif.
Wawan pun menilai pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, perlu mendukung kinerja KPK dengan penguatan regulasi. Dalam catatan Transparency International Indonesia, terdapat sejumlah kekosongan regulasi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Di antaranya aturan yang mengatur pencegahan konflik kepentingan, aturan soal perdagangan pengaruh, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang hingga kini belum disahkan, hingga mutual legal assistance (MLA) atau kerja sama antarnegara dalam penanganan korupsi yang belum kuat. Wawan menilai MLA sangat penting untuk melacak dan menarik uang hasil korupsi yang dialirkan ke luar negeri. "UU Tipikor kita sudah kuno. Terakhir direvisi pada 2001, sekarang sudah 20 tahun lebih. Di Singapura, sudah ada kerja sama sistem timbal balik penanganan korupsi, tapi belum maksimal," ujarnya.
Selain itu, Wawan menilai sebaiknya pemerintah mengubah desain pemberantasan antikorupsi yang ada saat ini, khususnya di bidang penindakan. Dia mengusulkan pemerintah menerapkan sistem single body atau penindakan pada satu lembaga saja. Hal itu, menurut dia, telah terbukti efektif di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, dan Hong Kong, yang memiliki IPK lebih baik ketimbang Indonesia. "Maka, KPK perlu diperkuat menjadi single body kewenangannya. Independensinya harus dijaga," ujarnya.
Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, 5 November 2024. ANTARA/Fauzan
Ide soal single body itu juga pernah dilontarkan Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra saat menghadiri acara peringatan Hakordia di KPK. Namun Yusril tak menjelaskan lembaga mana yang nantinya memiliki kewenangan penindakan. "Kenapa kita tidak menyatukan satu lembaga saja yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan di bidang tindak pidana korupsi," ujarnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan Setyo Budiyanto memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat karena citra KPK yang rusak pada era Firli Bahuri. Karena itu, dia menilai Setyo harus lebih dulu melakukan pembenahan secara internal. Sama seperti Wawan, Zaenur menilai KPK perlu memprioritaskan penindakan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, merugikan negara dalam jumlah besar, dan kasus-kasus strategis lain. Jika KPK mampu menjalankan itu, dia yakin IPK Indonesia akan membaik. "Kalau internal sudah, harus ada prioritas penanganan perkara," kata Zaenur saat dihubungi secara terpisah.
Zaenur menilai hal itu hanya akan bisa terjadi jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang KPK. Pasalnya, undang-undang yang berlaku saat ini menempatkan KPK dalam rumpun eksekutif, yang artinya masih sangat rentan terhadap intervensi. Namun Zaenur ragu pemerintah dan DPR akan melakukan hal itu. Pasalnya, dia tak melihat komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Meski Prabowo kerap menyatakan mendukung pemberantasan korupsi dalam berbagai pidatonya, Zaenur menilai hal itu tak terlihat dalam berbagai program kerja yang ada. "Baru pidato, tidak ada langkah konkret. Langkah konkret bisa dengan merencanakan mengubah UU Tipikor dan mengesahkan RUU Perampasan Aset," katanya.
Dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, sepakat independensi KPK merupakan kunci penting untuk meningkatkan IPK Indonesia ke depan. Dia menilai pun menilai hal itu bisa terjadi jika pemerintah mengembalikan posisi KPK seperti sebelum revisi undang-undang pada 2019. "Perlu perubahan Undang-Undang KPK yang saat ini menempatkan KPK di bawah eksekutif," katanya.
Chudry pun pesimistis perbaikan IPK itu bisa terjadi. Dia juga tak melihat komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintahan saat ini. Salah satu indikasinya, menurut dia, adalah terpilihnya sejumlah sosok bermasalah dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto. "Presiden memilih pembantunya yang bermasalah. Ada wamen yang pernah diperiksa KPK, ada yang diduga terlibat judi online. Tidak konsisten dengan ucapannya," kata Chudry.
Apalagi dia melihat komposisi pimpinan KPK yang terpilih saat ini masih menunjukkan adanya kepentingan politik. "Rekrutmen komisioner itu sekarang kebanyakan berkaitan dengan penguasa. Kita enggak bisa mengharapkan kesadaran politikus sendiri," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo