Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Konflik lit dan nonlit

Lbh jakarta mengalami kericuhan. beberapa pembela umum mengundurkan diri, dan kantor lbh sempat ditutup. perpecahan antara kelompok abdul rachman saleh dan t. mulya lubis, sebagai sumber kericuhan. (hk)

31 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAGA Bantuan Hukum ramai lagi. Selasa pagi pekan lalu, tiga pembela umum LBH Jakarta - Anhar Rivai, Rusli andika, dan Edie Budi Prasetyo - menutup sementara kantor LBH Jakarta. Alasannya "supaya yayasan mau membuka mata dan membenahi," kata Budi Prasetyo. Keruan saja Ketua Dewan Pengurus YLBHI Todung Mulya Lubis, 35, gusar menemui pintu masuk kantor LBH digembok. Todung pun memanggil polisi. Ketiga penggembok itu diberi waktu lima menit oleh Todung buat membuka gembok. Anhar akhirnya membukanya, tapi menolak mencabut pengumuman ditutupnya kantor.LBH Jakarta. Akhirnya, Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI Yap Thiam Hiem yang mencopot pengumuman itu. Todung tampaknya juga gusar, karena pada hari yang sama ketiga orang itu mengirimkan surat kepada Dewan Penyantun YLBHI, menuding Todung sebagai sebab perpecahan di LBH Jakarta. Pengalaman, usia, dan kepemimpinannya dianggap tidak cukup buat memimpin YLBHI, melakukan penyimpangan terhadap anggaran dasar YLBHI dan "mengarahkan LBH pada aksi yang membahayakan eksistensi LBH". Mereka meminta Dewan Penyantun memilih orang lain yang lebih tepat, bila jabatan Todung berakhir 30 April 1984. Surat dengan nada sama, tanpa menyebut nama, juga dikirim oleh beberapa bekas pembela umum LBH. Rabu esoknya diedarkan siaran Direktur LBH Jakarta Abdul Rachman Saleh. "Kantor LBH Jakarta tetap dibuka dan menerima klien seperti biasa kecuali Sabtu dan Minggu," kata Abdul Rachman. Todung kemudian juga menjelaskan, tak ada niat sedikit pun untuk menghentikan pelayanan bantuan hukum. "LBH mempunyai komitmen sejarah untuk ikut serta mewujudkan pemerataan keadilan bagi semua, dan janji itu tetap kami pegang," katanya. Sehari setelah itu Todung mengumumkan: Dewan Penyantun YLBHI dalam rapatnya pada 20 Maret memutuskan untuk mendemisionerkan pimpinan LBH Jakarta karena dianggap "tak berhasil melakukan penertiban tata laksana dan mekanisme kerja di lembaga itu". Dewan pimpinan YLBHI diberi kewenangan untuk sementara mengatur dan menurus kantor LBH Jakarta. Mulya Lubis kemudian menetapkan Abdul Hakim Garuda Nusantara, Sekretaris/Manajer Eksekutif YLBHI sebagai pengganti Abdul Rachman Saleh. Kali ini giliran Abdul Rachman Saleh, yang biasa dipanggil Arman, gusar. Kamis pagi itu juga ia menyerahkan pernyataan pengunduran dirinya pada Todung. "Pengertian demisioner semestinya berarti Jabatan tetap dipangku sampai ada pelantikan direktur baru, bukannya terus terjadi pengambilan kewenangan," ujar Arman, yang kini merencanakan mengembangkan karier sebagai pengacara pribadi. Jabatannya semestinya baru berakhir 31 Maret ini. Hampir dua jam kemudian, tatkala T. MuIya Lubis scdang mempersiapkan pemecatan ketiga "penggembok", ketiga orang itu, Rusli, Budi, dan Anhar, memasuki ruang kerjanya. Ternyata, ketiganya menyatakan mengundurkan diri dari LBH serta menolak meminta maaf dan mencabut pernyataan 20 Maret mereka. Sekitar tiga jam setelah itu tiga orang pembela umum LBH: Tuty Hutagalung, Suwisnu, dan Zubaida L. Warouw juga menyatakan mengundurkan diri "karena rasa solidaritas". Ini bukan yang pertama terjadi. Pada 1980, 9 dari 10 pembela umum LBH, antara lain Minang Warman dan Tatang Suganda, juga mendadak keluar dari lembaga yang didirikan pada 1971 itu. Alasannya: LBH, yang waktu itu dipimpin Adnan Buyung Nasution, dianggap "bermain politik". Apa sumber kericuhan kali ini? Tampaknya masalah dasarnya tetap sama. Sudah lama digunjingkan, LBH Jakarta konon terpecah pada dua kelompok Abdul Rachman Saleh dan T. Mulya Lubis. Keduanya tampaknya mempunyai sudut pandangan yang berbeda. Titik perbedaan terletak pada apa yang disebut litigasi (memandang perkara dari segi hukum) dan nonlitigasi (memandang perkara dari segi sosial dan dampak politik dalam arti penyelesalan perkara secara tuntas). Termasuk kegiatan nonlitigasi, misalnya penyuluhan dan penyadaran hukum langsung kepada rakyat. Konsep yang menekankan bidang ini sering disebut upaya Bantuan Hukum Struktural (BHS). Arman disebut mewakili kelompok pertama, sedang Todung yang kedua. Kedua kelompok mempunyai kesamaan pendapat: soal-soal hukum tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan dengan masalah sosial, politik, dan kebudayaan. Setelah itu perbedaan muncul. "Kami bilang, aspek hukumlah yang paling relevan. Kita mesti menggarap perkara dari aspek hukum dengan mengingat relevansinya dengan soal sosial, politik, dan kebudayaan itu," kata Arman. Menurut Arman, LBH cukup bekerja sama dengan lembaga semacam LP3ES dan tak perlu mendirikan lembaga semacam itu sendiri dalam LBH. "Kenyataan selama ini justru pembiayaan membesar dan habis di nonlitigasi. Kegiatan litigasi kini menjadi semacam embel-embel saja, padahal itulah tulang punggung kegiatan LBH," kata Arman. Mulya LUbis menangkis. Menurut dia, konsep BHS penting karena bertujuan menciptakan masyarakat adil, dalam arti merdeka dari pengaruh asing secara substantif. "Kalau LBH hanya terbatas menangani perkara, itu tidak menyelesaikan. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu hak-haknya sendiri," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus