CUACA panas meliputi kota ketika DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta bersidang Rabu malam pekan lalu. Meskipun para anggota Dewan dan undangan antara lain Paku Alam VIII - agak kegerahan, akhirnya mereka merasa lega lula setelah semua fraksi mendukung rancangan keputusan tentang berlakunya UUPA secara penuh di DIY menjadi keputusan Dewan. Sidang itu diselenggarakan sehubungan dengan surat Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku gubernur/kepala daerah DIY 10 hari sebelumnya. Sri Sultan minta agar DPRD DIY menyusun pernyataan yang berisi usul agar presiden memutuskan berlakunya UU No. 5/1960, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria secara penuh di DIY mulai 1 April ini. Dewan pun akhirnya menelurkan dua keputusan: pernyataan dan usul - sebagaimana dikehendaki Sri Sultan. Sidang memang berjalan mulus, meskipun muncul sikap agak lain dari FPP. "Secara yuridis, UUPA yang bersifat nasional berlaku pula di DIY. Jadi, kelak andai kata tidak ada keputusan dari presiden, UUPA hendaknya tetap berlaku di DIY," ujar Abdulmalik dari FPP. Secara pribadi, Abdulmalik menganggap keputusan presiden tidak perlu. Anggota FPP itu mengakui, meskipun secara yuridis tidak ada masalah, secara politis berlakunya UUPA di DIY masih memerlukan kehendak politik berupa kesepakatan dari Sri Sultan dan Paku Alam selaku kepala daerah. Dan kehendak politik itu kini sudah ada, sementara dewan pun sudah menyetujui pula. Sebaliknya bagi Soedomo Soenarjo, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemda DIY, menilai bahwa keputusan presiden tetap penting. "Seandainya keputusan presiden tidak turun, UUPA belum bisa berlaku sepenuhnya di DIY," katanya. "Harus diingat, lahirnya Pemda DIY berdasarkan komitmen Sri Sultan dan Paku Alam dengan presiden RI pada 1945, bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan daerah istimewa dari Negara Kesatuan RI. Karena itu, hak otonomi atas tanah di DIY tidak bisa hapus tanpa memberitahu lebih dulu kepada prcsiden." Pendapat Soetardjo Soerjogoeritno lain lagi. Wakil Ketua DPRD DIY itu menghubungkannya dengan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam UU itu disebutkan: pemerintah daerah ialah kepala daerah dan DPRD. "Jadi, kalau kepala daerah dan DPRD-nya sudah sepakat, tidak ada persoalan lagi," katanya. Artinya, ada tidaknya keputusan presiden, menurut Soetardjo, tidak penting benar. Juru bicara Departemen Dalam Negeri Feisal Tamin, juga tidak mempersoalkan keputusan presiden. Ia melihat bahwa UUPA berlaku secara nasional, "Jadi, juga berlaku untuk daerah istimewa," katanya. "Tapi, dalam pelaksanaan teknisnya, mungkin perlu diperjelas dulu dibanding dengan daerah lain, mengingat Yogyakarta sebagai daerah istimewa," ujarnya lagi. Ada atau tidak keputusan presiden, bagi GBHP Hadiwinoto, berlakunya UUPA secara penuh di DIY dinilai sangat positif. Selama ini, surat-surat tanah di DIY hanya berupa selembar kartu yang dikenal dengan leter E (hak milik sementara), leter D (hak milik), dan leter C (hak garap). "Padahal, di daerah lain ada sertifikat yang seragam dan berlaku secara nasional. Perbedaan itu tentu menjadi beban psikologis yang kurang enak bagi rakyat di DIY," kata salah seorang putra Sri Sultan, yang juga anggota DPRD DIY. Sesungguhnya, kehendak Sri Sultan itu sudah dicanangkannya 12 Oktober 1983 lalu di pendapa Kabupaten Gunung Kidul. Di depan rapat dinas Pemda DIY itulah Sri Sultan memutuskan berlakunya UUPA untuk seluruh wilayah kekuasaannya. Ketika itu, baru dua bulan Sri Sultan langsung memimpin daerahnya lagi sebagai gubernur/kepala daerah. MESKIPUN Sri Sultan sudah bertekad menghapuskan hak istimewa tentang pemilikan tanah di wilayahnya, tak kurang dari Ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta sendiri, yaitu KPH Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, menilai keputusan itu sebagai pengurangan keistimewaan DIY. Keputusan Sri Sultan itu, menurut bekas wali kota Yogyakarta itu, tidak sah. Sebab, pasal 18 UUD 1945 menjamin hak asal-usul daerah. Dan hak berupa otonomi daerah itu bagi daerah Kesultanan Yogya sudah direalisasikan dengan UU No. 3/1950, yang cuma berlaku untuk DIY selama ini. Undang-undang itu telah memberikan keistimewaan bagi Yogyakarta, bukan saja karena Sri Sultan sebagai kepala daerah, tapi juga karena DIY mempunyai kekuasaan yang lebih dari daerah lain. "Kekuasaan itu sudah kita miliki berabad-abad," ujar Soedarisman. "Karena itu, perubahan atas UU tahun'50 itu hanya bisa dilakukan presiden dan DPR. Sri Sultan paling-paling hanya bisa mengusulkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini