JAWA Tengah mengganyang "gengsi". Mulal 1 Aprll pekan mendatang ini, persis awal Pelita IV, istilah-istilah asing diimbau agar diganti dengan istilah Indonesia. Ya, istilah untuk toko, gedung bioskop, rumah makan, hotel, dan lain-lainnya. Imbauan, tak tanggung-tanggung, datang dari Gubernur Jawa Tengah sendiri, Letnan Jenderal (purnawirawan) Ismail. Tentu saja, ini bukan sekadar ramai-ramai ganti istilah. Latar belakang pengIndonesiaan ini, menurut Gubernur Ismail yang gemar olah raga domestik pencak silat cukup serius. Yakni wawasan identitas, suatu hal yang memang sering didengungkan Ismail sejak diangkat menjadi gubernur, 18 April tahun lalu. "Identitas," kata Ismail, 47, kepada Syahril Chili dari TEMPO, pekan lalu, "adalah ciri suatu bangsa yang bisa menumbuhkan harga diri. Menumbuhkan kebanggaan." Gubernur pun lantas bercerita, seandainya kita masuk sebuah hotel di Solo dan merasa asing karena arsitekturnya bergaya Spanyol, nama-nama ruang hotel disebut dengan room, tentu banyak yang jadi tidak bangga, merasa tidak berada di rumah sendiri. Tapi dari sudut lain, istilah asing dianggap gengsi dan menjadi semacam cap dagang. Ketika Djoe - entah siapa nama lengkapnya - masih berdagang buah di Pasar Johar, Semarang, pada kiosnya tak diberikan sepotong nama pun. Tapi begitu Djoe dapat hoki dan mampu membeli toko di kompleks perdagangan Simpang Lima,langsung ia pesan papan nama dengan tulisan: "Djoe Fruit Collection". Sudah tentu, yang dijual si Djoe ini, ya, tetap saja buah-buahan untuk dimakan, bukan untuk dikoleksi. Soalnya, alasan Djoe memakai istilah itu "karena gengsi, dan itu menyesuaikan dengan lingkungan toko yang berada di dekat spermarket," tutur Yuang, adik Djoe. Tapi benarkah sebuah usaha dagang dengan istilah asing lebih laris belum terbukti. Malahan, "Sate House Sriwijaya" di Semarang yang pekan lalu sudah menghapus "house"-nya, tetap dikunjungi para penggemar sate. Juga toko jamu Jago di Simpang Lima, yang mulai pekan lalu tak lagi menyalakan lampu hias yang membentuk tulisan "House of Jago" di atas toko, tetap saja dipenuhi para pembeli dan peminum jamu tradisional itu. Sejauh ini, tak terdengar suara sumbang atas imbauan gubernur yang suka sayur bobor (sayur bayam bersantan) itu. Dan harap dicatat baik-baik, imbauan Ismail, orang Maos, Jawa Tengah, penggemar rokok Jarum filter Ini, terbatas pada soal istilah. "Kalau nama berbau asing, mau apa saja, silakan. Misalnya Hotel Queen, itu tak apa-apa. Juga, nama orang, yang tentunya sudah telanjur diselamati, boleh-boleh saja, misalnya nama Johny Gudel." Tak hanya itu kelonggaran yang diberikan gubernur yang kini mulai suka bermain golf itu. Istilah-istilah yang telanjur akrab dengan kita - "misalnya identitas, evalasi, dan monitoring," katanya - tetap baik dipakai. Untuk membahas semua itu, Senin pekan ini di kantor Bappeda Jawa Tengah diselenggarakan pertemuan antara pemerintah dan para ahli bahasa dari perguruan tinggi. Imbauan Gubernur Ismail ini sebenarnya bukan yang pertama. Ali Sadikin, ketika menjadi gubernur DKI Jakarta, tahun 1974 pernah mengusulkan agar nama-nama badan usaha diIndonesiakan. Hasilnya, antara lain "Convention Hall" jadi "Balai Sidang", dan "Youth Centre" jadi "Gelanggang Remaja". Di Jawa Tengah, imbauan Gubernur Ismail belum jelas dampaknya, selain baru penghapusan istilah asing di beberapa toko. Yang Jelas, kini, sejumlah orang yang mempunyai profesi bikin papan nama toko, para pengusaha lampu reklame, pembuat stempel, dan kop surat di wilayah itu bakal laris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini