Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

KPAI Kecam Penanganan Kasus 4 Anak Diduga Korban Salah Tangkap di Tasikmalaya

KPAI menilai penanganan kasus empat anak di Tasikmalaya telah melanggar UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

25 Januari 2025 | 08.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang putusan kasus penganiayaan dengan empat terdakwa anak di bawah umur, di Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Jawa Barat, 23 Januari 2025. Tempo/Sigit Zulmunir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, mengecam dugaan pelanggaran hak anak dalam penangkapan empat anak di Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka diduga jadi korban salah tangkap polisi.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Dian, aparat penegak hukum, khususnya penyidik dari kepolisian, telah melanggar Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) selama proses pemeriksaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Anak-anak tidak mendapat pendampingan saat diperiksa, baik dari orang tua, penasihat hukum, maupun pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas),” ujar Dian kepada Tempo, saat dihubungi Jumat, 24 Januari 2025.

Selain itu, Dian menyoroti kondisi ruang tahanan anak yang tidak layak. “Mereka ditempatkan di ruang tahanan minim penerangan dan tidak sesuai standar perlindungan anak,” katanya.

KPAI meminta agar pemerintah, termasuk kepolisian, maupun aparat penegak hukum lain untuk memulihkan hak anak-anak yang sudah terlanggar melalui berbagai program perlindungan khusus.

Sebab, dia menjelaskan bahwa pendampingan itu menjadi mandat pemerintah karena anak-anak masuk dalam kategori Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK). Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan penjara terhadap empat anak di bawah umur yang sebelumnya diduga menjadi korban salah tangkap. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan yang menyebabkan korban luka berat.

Ketua majelis hakim, Dewi Rindaryati, memvonis keempat anak itu dengan hukuman bui dimuka persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis 23 Januari 2025. Hakim juga menyebutkan bahwa putusan itu sempat dibacakan pada Kamis, 16 Januari 2025, namun diulang pada 23 Januari 2025.

Kasus ini sebelumnya menjadi perhatian komisi III DPR RI karena diduga adanya salah tangkap. Selain itu, proses peradilan yang dilakukan pun dinilai tidak ramah seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Para ibu dari anak ini mengadu ke wakil rakyat didampingi anggota DPR dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka pada, Selasa, 21 Januari 2025 dan Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah.

Putusan hakim ini lebih ringan empat bulan dari tuntutan jaksa. Keempat anak itu yakni FM, 17 tahun, RS (16), DW (16), dan RR (15). Mereka diperintahkan untuk menjalani hukum penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung. 

Dalam pembacaan putusannya, pertimbangan hakim yang memberatkan yakni anak dinilai berbelit-belit dalam menyampaikan keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya di muka persidangan. Selain itu, para anak ini juga tergabung dalam komunitas sepeda motor, di mana Kota Tasikmalaya sedang marak kejahatan geng motor yang meresahkan masyarakat.

Pertimbangan hakim yang meringankan anak berhadapan dengan hukum ini yakni diantara mereka masih berstatus pelajar. "Menetapkan para anak tetap berada dalam tahanan. Mengurangi pidana penjara yang sudah dijatuhkan dengan masa tahanan yang telah dijalani," ucap ketua Majelis hakim.

Penasehat hukum anak, Nunu Mujahidin, menyatakan akan mengajukan banding atas putusan yang dijatuhkan majelis hakim. Menurut dia, amar putusan hanya mengakomodir keterangan saksi dan dakwaan jaksa penuntut umum. "Keterangan saksi seperti adanya 28 CCTV yang menunjukkan perbuatan pelaku tidak diuji atau dibuka dalam persidangan," ujar Nunu. 

Menurut dia, hakim juga tidak mempertimbangkan 11 saksi yang dihadirkan penasehat hukum. Termasuk keterangan saksi ahli dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Mataram, pada persidangan, Senin, 20 Januari 2025. 

Nunu berencana untuk melaporkan Majelis Hakim ke Komisi Yudisial. Alasannya karena hakim diduga melanggar kode etik selama persidangan. Di antaranya adalah, dalam satu hari pada 6 Januari, hakim mengeluarkan dua putusan yang bertentangan. Pertama memutuskan bebas keempat anak, namun dihari yang sama menetapkan penahanan kembali. "Kami akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan," ujarnya. 

Selama pembacaan putusan, Kepolisian Resort Kota Tasikmalaya, menjaga ketat area pengadilan. Aparat keamanan ditempatkan di setiap pintu masuk, bahkan polisi pun menyiapkan kendaraan taktis watercanon. "Upaya pencegahan ini kami terapkan agar situasi tetap kondusif," ujar Kapolres Kota Tasikmalaya, Ajun Komisaris Besar Mohammad Faruk Rozi. 

Dia mengaku bahwa polisi pun telah meyiapkan pengamanan bagi keluarga anak dengan melakukan pengawalan melekat. Alasannya karena beredar kabar bahwa keluarga anak mendapatkan intimidasi. "Saya sudah menyiapkan anggota termasuk Polwan untuk melindungi semua," ujarnya.

Seperti diketahui sebelumnya, teman korban yang tergabung dalam komunitas Tarung Derajat, kerap mendatangi pengadilan untuk mengawal jalannya persidangan. Mereka juga sempat berunjuk rasa pada Selasa kemarin, agar hakim tidak terpengaruh dalam menentukan putusannya meski ada intervensi dari komisi III DPR.

Sigit Zulmunir dari Garut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus