Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

KPAI Kritik Hakim yang Detailkan Aktivitas Seksual AG Eks Pacar Mario Dandy

KPAI minta Komisi Yudisial memriksa Hakim Sri Wahyuni Batubara yang memimpin sidang AG, eks pacar Mario Dandy

15 April 2023 | 22.08 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kasus Penganiayaan Mario Dandy, AG Divonis 3 Tahun 6 Bulan Penjara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik hakim Sri Wahyuni dalam persidangan eks pacar Mario Dandy Satriyo, AG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Remaja berusia 15 tahun itu menjadi anak berkonflik dengan hukum di kasus penganiayaan Cristalino David Ozora.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner KPAI, Dian Sasmita, hakim terlalu rinci dalam poin pertimbangannya hingga menyebutkan aktivitas seksual anak AG. Dian menilai hal ini bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yakni berperilaku arif dan bijaksana. Hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak,” kata Dian dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 15 April 2023.

Selain itu, berdasarkan pengawasan KPAI, hasil analisis pemeriksaan psikolog forensik terhadap AG tidak disampaikan dalam persidangan. Dian menyebut hal ini dikonfirmasi oleh kuasa hukum AG.

Padahal AG telah diperiksa psikolog forensik sebanyak tiga kali. Hasil telaah psikologis anak bersama hasil penelitian kemasyarakatan Bapas penting karena dua dokumen tersebut membantu aparat penegak hukum melihat kondisi psikis dan sosial anak secara utuh. “Perbuatan anak tidak pernah bebas dari pengaruh di luar dirinya,” ucap Dian.

Dian menuturkan setiap anak berhak atas diperlakukan adil termasuk AG. “Anak berhadapan dengan hukum diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak sesuai dengan Pasal 64 UU Perlindungan anak,” ujar Dian.

Selanjutnya: KPAI soroti vonis hakim

Dian menyoroti pula hakim Sri Wahyuni yang memvonis AG hukuman pidana 3,5 tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Menurut Dian, perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin.

Dian menuturkan usia kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir.

“Artinya paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara,” katanya.

KPAI mengapresiasi penempatan AG di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) selama proses hukum karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial. “Namun, vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA,” ujar Dian.

KPAI mengkritik pula wartawan yang mengerumuni AG selama pemeriksaan di Kepolisian. Menurut keterangan psikolog pendamping AG, peristiwa itu membuat dia trauma.

“Selain itu, berdasarkan keterangan kuasa hukum, terdapat beberapa surat terdakwa Mario kepada AG yang difasilitasi oknum penyidik menjadi konsumsi publik. Setiap anak yang berhadapan hukum memiliki hak untuk dihindarkan dari publikasi identitasnya dan pemberian kehidupan pribadi,” katanya.

Selanjutnya: Enam rekomendasi KPAI

Atas rangkaian kejadian yang terjadi selama pemeriksaan dan persidangan AG, KPAI merekomendasikan 6 hal:

Pertama, meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DKI Jakarta memastikan terpenuhinya hak-hak anak berhadapan hukum, baik korban, saksi, dan pelaku, untuk mendukung pemulihan anak secara utuh dan berkelanjutan.

Kedua, mendesak Dewan Pers memberikan peringatan tegas terhadap media cetak dan elektronik yang telah melakukan pelanggaran UU SPPA dan mengeksploitasi identitas anak berhadapan hukum sehingga mengakibatkan dampak luar biasa dan berkepanjangan pada tumbuh kembang anak. “Serta mengakibatkan trial by press yang jauh dari prinsip kepastian hukum dan perlindungan anak,” katanya.

Ketiga, meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim Sri Wahyudi Batubara secara etik terkait proses persidangan terhadap anak AG yang melanggar beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum.

Keempat, meminta Komisi Kejaksaan agar memeriksa jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara kasus AG karena tidak menyertakan hasil pemeriksaan psikolog forensik terhadap anak.

Kelima, meminta Komisi Kepolisian Nasional untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak anak selama proses penyidikan di Polres Jakarta Selatan yang mengakibatkan terpublikasinya identitas dan kehidupan pribadi anak sehingga menambah trauma pada anak. SPPA berusaha keras untuk menjauhkan anak dari dampak buruk peradilan pidana.

Keenam, paradigma keadilan restoratif wajib digunakan mulai dari tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post-adjudikasi termasuk tahap reintegrasi sosial. KPAI mendesak untuk dilakukan peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum terkait UU SPPA dan hak anak agar tidak ada lagi pelanggaran hak anak berhadapan hukum di semua tahapan proses pidana.

"Sistem Peradilan Pidana Anak dengan keadilan restoratif hadir sebagai bentuk komitmen serius negara untuk pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Karena setiap anak berhak untuk kesempatan kedua," katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus