Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pengetahuan mantan Wakil Presiden Boediono soal Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait dengan kasus suap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Boediono sebagai mantan Menteri Keuangan kala itu diperiksa sebagai saksi kasus tersebut untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penyidik mendalami pengetahuan saksi sehubungan dengan kapasitas yang bersangkutan saat itu sebagai Menteri Keuangan yang sesuai dengan Kepres Nomor 177 Tahun 1999 tentang KKSK adalah sebagai anggota KKSK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta pada Kamis, 28 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK pun menyatakan pemeriksaan terhadap Boediono dalam kapasitas yang bersangkutan sebagai Menteri Keuangan periode 2001 hingga 2004. Saat kasus tersebut terjadi, sebagai menteri, Boediono memberikan masukan terhadap dikeluarkannya Surat Keterangan Lunas bagi Bank Dagang Negara Indonesia milik Sjamsul Nursalim.
Seusai menjalani pemeriksaan, Boediono enggan berkomentar banyak. "Saya dimintai keterangan mengenai beberapa hal yang terkait dengan masa jabatan saya sebagai menteri keuangan," kata Boediono yang diperiksa sekitar 6 jam itu.
Namun, Boediono tidak menjelaskan lebih lanjut terkait dengan materi pemeriksaannya kali ini dan menyerahkannya kepada KPK. "Kalau substansinya saya serahkan kepada KPK untuk menyampaikan mana yang disampaikan, mana yang tidak," kata dia.
KPK baru saja menahan Syafruddin Arsyad Temenggung pada Kamis, 21 Desember 2017 di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK untuk 20 hari ke depan. Ia menjadi tersangka pada bulan April 2017.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait dengan pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait dengan penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.