Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dugaan peretasan oleh aparat ini menimpa Sverre Dahl Nielsen, seorang eks WNI yang kini berkewarganegaraan atau WNA Denmark. Dalam pernyataan tertulis yang diunggah di media sosial, ia mengaku menjadi korban doxing setelah menyuarakan isu korupsi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sverre menyebut bahwa upaya peretasan dan doxing yang dialaminya dilakukan oleh kepolisian Indonesia. Atas insiden tersebut, ia melaporkannya ke kepolisian Denmark. Tak lama setelah itu, Sverre memutuskan untuk menarik diri dari aktivitas di media sosial demi alasan keamanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Sverre, pihak kepolisian Indonesia telah menyampaikan permintaan maaf secara resmi, bahkan seorang perwakilan datang langsung ke rumahnya untuk menyampaikan permintaan maaf tersebut. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Sverre akhirnya memutuskan untuk memaafkan tindakan tersebut.
Sverre menjelaskan bahwa alasannya memaafkan adalah karena kasus ini berpotensi melibatkan Interpol, yang bisa berdampak pada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Denmark. Ia juga khawatir, masyarakat Indonesia yang tinggal di Denmark bisa ikut terdampak akibat persoalan ini.
Keputusan itu diambil Sverre atas saran dari orang tuanya. Selain itu, pihak kepolisian Indonesia disebut telah memberhentikan oknum yang terlibat dalam peretasan tersebut. Tindakan itu pun diklaim sebagai inisiatif pribadi oknum, bukan bagian dari kebijakan institusi.
Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas, menanggapi dugaan peretasan akun seorang warga negara Denmark oleh kepolisian, setelah warga negara asing (WNA) itu mengkritik pemerintahan Indonesia. Hasbiallah menyatakan tidak ada bukti polisi digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah adalah sesuatu yang berlebihan.
"Kekhawatiran Polri menjadi alat pembungkaman terlalu berlebihan," kata dia kepada Tempo lewat aplikasi perpesanan pada Minggu malam, 6 April 2025.
Hingga medio pekan ini, kata anggota DPR itu, belum ada bukti yang menunjukkan tim Cyber Polri secara institusional melakukan doxing sebagai upaya meredam kebebasan berpendapat. Hasbi justru mengklaim bahwa keberadaan polisi siber berperan penting dalam mencegah penyebaran ujaran kebencian.
"Memang ada dugaan oknum tertentu yg menyimpang, tapi itu masih wajar, tidak ada yang sempurna seratus persen," ujar dia.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai polisi seringkali melakulan tindakan-tindakan represif di ruang digital. Hal tersebut, kata dia, terbukti dari dugaan polisi yang meretas akun Warga Negara Asing atau WNA Denmark baru-bari ini.
"Ini bukan kali pertama, bahkan sebetulnya telah diinstitusionalisasikan di kepolisian itu sendiri, melali cyberpolice yang secara aktif memonitoring aktivitas online warga," kata Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 4 April 2025.
Menurut Nenden, tindakan represif di ruang digital sangat merugikan masyarakat. Bukan hanya warga Indonesia, warga negara asing pun bisa menjadi korban. Dampaknya bisa berupa ancaman kriminalisasi, doxing, hingga berbagai bentuk serangan digital lainnya.
"Ancaman dan intimidasi ini juga bisa berdampak pengguna akan melakukan swasensor, dan lebih jauhnya mengancam kebebasan berekspresi warga dan demokrasi," ujar dia.
Meski begitu, Nenden menegaskan bahwa masyarakat harus terus bersuara dan mengungkap berbagai praktik yang dilakukan aparat. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kapasitas keamanan digital sebagai langkah mitigasi terhadap berbagai risiko yang mungkin terjadi.
Di sisi lain, aparat semestinya menghormati kebebasan berekspresi warga, termasuk dalam bentuk kritik dan opini. Sebab, kritik terhadap pemerintah sejatinya adalah bagian dari upaya mendorong akuntabilitas dan transparansi demi terciptanya Indonesia yang lebih baik.
M. Rizki Yusrial berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: Dugaan Peretasan Akun WNA Denmark, Anggota DPR: Belum Ada Bukti Polisi Jadi Alat Pembungkaman