Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) belum memeriksa pihak korporasi dalam kasus jual beli vonis lepas korupsi minyak goreng. Korupsi itu melibatkan 3 korporasi: Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyatakan pihaknya belum memeriksa orang dari ketiga korporasi itu karena masih fokus memeriksa sksi dan tersangka lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Penyidik saat ini masih fokus terhadap saksi-saksi maupun tersangka yang sudah pernah dilakukan pemeriksaan,” ujar Harli, Selasa, 15 April 2025.
Harli mengatakan penyidik telah memeriksa 14 saksi dalam kasus ini. Tujuh diantaranya adalah mereka yang berstatus tersangka. Para tersangka tersebut adalah 3 hakim yang memutus kasus korupsi minyak tersebut, yaitu Djuyamto Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom plus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Arif Nuryanta. Selain itu, dua pangacara Marcella Santoso dan Ariyanto dan 1 eks panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Perihal apakah akan ada penambahan tersangka di kasus ini, Harli menyatakan penyidik masih menggali fakta-fakta hukum dari hasil pemeriksaan. Namun jaksa memang belum menangkap sosok yang memberikan uang senilai Rp 60 miliar kepada Ariyanto untuk diserahkan ke Arif melalui Wahyu. Uang itu adalah bayaran agar hakim memutus lepas kasus korupsi minyak goreng.
Penyidik Kejagung sebelumnya juga telah menyita alat bukti hasil penggeledahan di sejumlah tempat. Alat bukti itu diantaranya berupa empat mobil sport, 21 sepeda motor dan 7 sepeda.
Hari ini, Kejaksaan Agung kembali memeriksa Wahyu Gunawan. Berdasarkan pantauan Tempo ia masuk ke gedung Kartika Kejagung, tempat pemeriksaan saksi perkara sekitar pukul 11.00 WIB.
Alur permainan dan aliran dana
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers Sabtu malam lalu menyatakan kasus ini bermula dari tawaran Ariyanto melalui Wahyu Gunawan untuk mengatur sidang korupsi minyak goreng yang melibatkan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ariyanto menawarkan imbalan sebesar Rp 20 miliar.
Wahyu kemudian menyampaikan tawaran itu kepada Arif Nuryanta yang kemudian meminta jumlahnya dikalikan tiga menjadi Rp 60 miliar. Mendapat kabar dari Wahyu, Ariyanto kemudian setuju dengan tarif yang diminta Arif.
Ariyanto kemudian memberikan uang dalam pecahan dolar Amerika Serikat senilai Rp 60 miliar kepada Wahyu untuk diteruskan kepada Arif Nuryanta. Wahyu, menurut Qohar, mendapat imbalan senilai 50 ribu dolar Amerika sebagai perantara.
Setelah menerima uang itu, Arif menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto sebagai ketua majelis, Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota majelis, dan Ali Muhtarom sebagai hakim ad hoc. Setelah terbit surat penetapan sidang, Arif Nuryanta memanggil Djuyatmo dan Agam Syarif untuk memberikan uang pecahan dolar senilai Rp 4,5 miliar. Arif menyebut uang itu dengan kode uang baca berkas. Uang tersebut kemudian oleh Djuyatmo dibagikan kepada Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.
Beberapa waktu kemudian, Arif kembali memberikan uang dalam mata uang dolar AS senilai Rp 18 miliar kepada Djuyatmo. Oleh Djuyamto, uang dolar AS tersebut dibagi kepada anggota majelis hakim yang jika dirupiahkan untuk Agam Syarif Baharuddin sebesar Rp4,5 miliar, untuk Ali Muhtarom sebesar Rp5 miliar, serta dirinya Rp 6,5 miliar. Total uang yang dibagikan Arif Nuryanta kepada ketiga hakim senilai Rp 22,5 miliar. Kejaksaan Agung belum menjelaskan apakah sisa Rp 37,5 miliar dinikmati oleh Arif sendiri atau ada pihak lain yang menerima aliran dana.
Sidang putusan kasus korupsi minyak goreng itu pun digelar pada 19 Maret 2024. Majelis Hakim menyatakan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).
Kendati demikian, Majelis Hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging), sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan. Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula. Atas putus