IKLAN setengah halaman yang muncul di beberapa koran bulan silam itu mengejutkan. Iklan yang memperagakan sebuah merk mobil itu berbunyi, "Mangkin Besar, Mangkin Jago Cari Duit". "Mangkin" ? Mengapa "mangkin"? Kita sudah lama membakukan kata "makin". Apakah pencantuman "mangkin" itu suatu kesengajaan atau kekeliruan? Harus diakui, banyak orang yang, karena kebiasaan, biasa mengucapkan "sedap" menjadi "sedep". Begitu juga pengucapan "ruksak, sangking, mangsup, hawatir, rangsum" dan "sungsum". Padahal, di dalam tulisan, mereka mengeja "rusak, saking, masuk, khawatir, ransum" dan "sumsum". Kita tahu, memang banyak gejala serupa yang semata-mata (atau pada mulanya) terjadi dalam bahasa lisan. Bahasa memang mirip dengan lalu lintas. Selalu saja terjadi penyimpangan. Seperti juga rambu-rambu lalu lintas yang sering tidak diacuhkan, banyak kata baku yang tak dipedulikan orang. Sebuah iklan obat batuk berjanji mampu "merubah batuk menjadi senyuman". Padahal, kata merubah jelas salah. Yang benar mengubah. Dari segi fungsinya, jelas bahasa adalah alat bagi manusia untuk berkomunikasi. Kitalah yang menguasai bahasa, dan bukan sebaliknya. Kalau dilihat sifatnya, bahasa adalah kesepakatan antara penutur yang satu dan penutur lainnya. Jadi, kita dapat menyebut angka "4" dengan empat dapat pula ampat, melafalkan angka "6" dengan enam atau anem, kalau memang kita sepakati demikian. Semuanya terpulang kepada kita. Tetapi, kalau kita sudah lebih dahulu secara sadar melanggar kaidah sebelum kita tentukan kesepakatan baru, akan timbul berbagai ekses. Akan terjadi banyak kecelakaan lalu lintas bila banyak kendaraan berjalan di sebelah kanan. Akan merosot kewibawaan peraturan bila di tempat-tempat terlarang banyak mobil parkir hanya karena pengemudinya (atau pemiliknya) kuat secara sosial. Di dalam bahasa pun akan timbul kesan bahwa para pemakai tidak menghormati kewibawaan bahasanya sendiri, bila banyak orang secara sadar menyimpang dari kaidah yang disepakati, sebelum dibuat kesepakatan baru. Padahal, bahasa menunjukkan peradaban penuturnya. Atau seperti kata pepatah "Bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimana dengan kata mangkin itu? Bila ada yang menyimpang, lalu orang lain secara sadar ikut menyimpang, terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, orang yang belakangan itu ingin meledek. Kedua, orang itu mau menjilat. Ketiga, ia tidak ingin menjaga adabnya berbahasa. Lain halnya bila penyimpangan oleh yang belakangan itu akibat kekurangtahuan saja. Kecurigaan meledek itu tidak dapat dihindari karena ada orang yang pernah mengusulkan kepada seorang pembina bahasa Indonesia agar pemakaian kata daripada yang salah kaprah itu dibakukan saja. Dari nada bicaranya tampak bahwa pengusul itu jengkel . Seperti halnya kata mangkin, kata daripada muncul lebih banyak di dalam bahasa lisan. Misalnya seorang pejabat tinggi yang baru saja diterima Presiden mengatakan kepada wartawan, "Perjudian harus diberantas karena merugikan daripada masyarakat." Yang dimaksud pejabat itu adalah merugikan masyarakat. Kata daripada muncul semata-mata karena kata masyarakat belum terbayang tetapi bibir sudah telanjur ingin mengucapkan sesuatu. Di dalam tulisan, gejala salah kaprah ini lebih jarang dijumpai. Apakah hanya karena kesalahan manusiawi seperti itu kita lalu akan membakukan penyimpangan? Kitalah yang berkuasa. Bila kebijaksanaan ini kita perluas, makin banyak salah kaprah yang akan kita bakukan. Sekadar contoh ialah kesalahan umum kita mengacaukan pemakaian di sebagai imbuhan (misalnya dicium, diperkosa, ditendang, dibunuh) dengan di sebagai preposisi (misalnya di kantor, di rumah, di mana). Banyak orang menulis salah menjadi di cium, di perkosa, di tendang, di bunuh, sebaliknya ada tulisan dikantor, dirumah, dimana. Di dalam Ejaan Soewandi, yang berlaku sejak 1947, baik imbuhan maupun preposisi ditulis serangkai dengan kata berikutnya. Jadi, disini dan disana ditulis menjadi satu kata saja seperti ditulis dan dibaca. Tetapi, mulai 1972, sejak Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan berlaku, di sebagai imbuhan ditulis serangkai, sedangkan di sebagai preposisi ditulis terpisah. Dahulu dibatik berarti "dibuat terbalik" dan dapat berarti pula "di belakang". Tetapi kini dibatik hanya berarti "dibuat terbalik". Sejalan dengan itu, bila kita di kubur, berarti kita "berada di kubur", mungkin mengantar jenazah. Tetapi, jika kita dikubur, berarti kita yang menjadi jenazah. Alhasil, kalau kita dengan mudah mengubah-ubah atau menyimpang dari kaidah, akan terjadi salah komunikasi. Itu tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengadakan perubahan dari kaidah yang telah dibakukan. Perubahan boleh saja, tetapi, untuk meningkatkan kecermatan kita berbahasa, hendaknya perubahan itu dilakukan dengan mengikuti sistem sehingga bahasa Indonesia kita ini tetap dapat dinamis sekaligus stabil. Kita mungkin tidak sependapat dengan kebijaksanaan kebahasaan para ahli bahasa. Namun, sulit dihindari kenyataan, di bidang bahasa merekalah yang lebih mengetahui masalahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini