TAK cuma mobil Timor yang diincar penegak hukum. Lahan pabrik mobil itu pun ternyata bermasalah. Menurut Mahkamah Agung (MA), sebidang tanah di lokasi pabrik mobil Timor di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, ternyata diperoleh melalui bisnis curang. MA lalu memerintahkan agar tanah itu dikosongkan untuk diserahkan kepada pemiliknya yang sah: PT Sarana Produksi Pertanian.
Pada 1990 silam, PT Sarana, perusahaan pertanian di Bandung, memperoleh tanah seluas 237,5 hektare yang terletak di Desa Kamojing, Cikampek, dari Perusahaan Umum Perhutani. PT Sarana menukarnya dengan lahan seluas 375 hektare di Desa Cimenteng, Subang. Sarana, yang komisaris utamanya adalah Raden Uus Mochamad Kusno Setiawan, akan mendirikan pabrik pupuk fosfat di lahan tersebut.
Namun, pembebasan tanahnya di Subang tersandung masalah. Sebagian tanahnya masih dihuni penduduk, sehingga harus ada uang ganti rugi. Untuk itu, Sarana menjalin kerja sama dengan Nyonya Raden Ayu Moniek Sriwidiyatni dan Iman Sunario. Dua pengusaha dari Jakarta itu akan menyediakan dana pembebasan tanah sebesar Rp 1 miliar lebih—belakangan, uang yang keluar hanya Rp 400 juta.
Ternyata, ikatan Sarana dengan Moniek dan Iman semakin erat. Untuk membayar kembali uang pembebasan tanah tadi, Moniek dan Iman berhasil meyakinkan Uus agar menjual 70 persen saham PT Sarana kepada mereka. Padahal, menurut MA, yang memvonis gugatan Raden Uus dan Direktur Utama PT Sarana, Syarief Hidayat, pembayaran dan penyerahan saham tersebut tak pernah terjadi.
Yang lebih seru, Moniek dan Iman berhasil mengatur penjualan sisa saham PT Sarana sebesar 30 persen ke alamat mereka. Dengan terjualnya 100 persen saham PT Sarana, majelis hakim agung yang diketuai M. Yahya Harahap berpendapat, tamatlah sudah riwayat pemegang saham pendiri PT Sarana. Otomatis kepemilikan dan kendali perusahaan itu berada di pihak Moniek.
Bagi MA, praktek bisnis begitu tidak fair dan terhitung eksploitasi ekonomi terhadap pihak Uus, yang sedang dirundung kesulitan ekonomi. Waktu itu, pihak Uus, selain harus mencari dana untuk pembebasan tanah dan modal pendirian pabrik pupuk fosfat, mesti melunasi utang kepada beberapa kreditur.
Masih ada muslihat lain yang digelar pihak Moniek. Begitu resmi menjadi Direktur Utama PT Sarana, Moniek lantas menguasai lahan 237,5 hektare tadi dan menjualnya kepada PT Mandala Pratama Permai pada 1992. Padahal, ketika itu, Moniek juga bertindak selaku Direktur Utama PT Mandala, yang 90 persen sahamnya dimiliki Tommy—tahun lalu, saham itu dijual Tommy kepada PT Bali Pecatu Indah.
Wajar kalau MA menilai pengalihan lahan itu dilakukan dengan itikad buruk. Soalnya, dari situlah kemudian persil-persil lahan tersebut dialihkan, di antaranya ke PT Timor Putra Nasional, yang mendirikan pabrik mobil Timor di situ, PT Kia Timor Motors, dan PT Timor Industri Komponen.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada 28 Desember 1998, MA menghukum pihak Moniek dan PT Mandala atau pihak lain yang memperoleh pengalihan hak tanah tersebut. MA menentukan agar lahan sengketa dikosongkan dan diserahkan kepada Uus. Dengan vonis kasasi itu, MA membatalkan putusan pengadilan bawahannya yang memenangkan Moniek.
Namun, pengacara PT Mandala, Elza Syarief, mengajukan peninjauan kembali. "Sebagai pemegang saham 100 persen, sekaligus Direktur Utama PT Sarana, Nyonya Moniek sah-sah saja mengalihkan tanah itu ke PT Mandala," kata Elza. Lagi pula, pada 1996, pihak Moniek sudah berdamai dengan PT Sarana.
Sementara itu, Dani W. Sarwono, Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan PT Timor, menyatakan bahwa perusahaannya tak berkaitan dengan vonis Mahkamah Agung. Alasannya, Timor memperoleh tanah itu dari PT Mandala sesuai dengan prosedur hukum. Sebagai pembeli, tentu Timor dilindungi undang-undang. "Kalau nantinya PT Mandala tetap kalah, perusahaan itu yang membayar ganti rugi kepada PT Sarana, bukannya PT Timor yang harus mengosongkan tanah," tutur Elza, memupus harapan Uus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini