Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tommy Berkelit, MA Lepas Tangan?

Pemerintah tak bisa menagih utang pajak mobil Timor senilai Rp 3 triliun lebih. Padahal, alasannya kuat: Timor tidak memenuhi syarat kandungan lokal 20 persen dan perdagangan imbal beli 25 persen.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STATUS kebal hukum tampaknya masih dinikmati Hutomo Mandala Putra alias Tommy. Di masa jaya Orde Baru, ia banyak menikmati bisnis yang tergolong privilese dan lolos dari rambu-rambu hukum. Sekarang, di masa pasca-Orde Baru, putra mantan presiden Soeharto itu masih saja bisa menghindar dari jangkauan penegak hukum. Jurus-jurus yang dipakainya untuk berkelit dari tunggakan pajak mobil Timor senilai Rp 3 triliun lebih bahkan kini mengharubirukan dunia hukum. Urusan pajak Timor bukan hanya merepotkan instansi pajak dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, tapi juga Mahkamah Agung (MA). Instansi tertinggi bidang hukum ini, yang sudah sebulan lebih diharapkan mengeluarkan fatwa untuk menyelesaikan soal itu, Jumat dua pekan lalu malah mengembalikan masalahnya ke PTUN. Alasannya, MA tak mau mencampuri wewenang peradilan yang setingkat di bawahnya. Sebagaimana diputuskan pemerintah, PT Timor Putra Nasional, penggarap proyek mobil Timor, diharuskan membayar bea masuk sebesar Rp 1,8 triliun dan berbagai pajak, termasuk pajak pertambahan nilai untuk barang mewah senilai Rp 980 miliar. Sanksi itu dijatuhkan karena Timor tak memenuhi persyaratan kandungan lokal 20 persen pada tahun pertama dan tidak merealisasikan perdagangan imbal beli 25 persen. Rupanya, Timor, yang semula dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan bea masuk—privilese yang dinikmatinya sebagai proyek mobil nasional—menganggap pemerintah tidak konsisten. PT Timor lalu menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta. "Berapa pun angka yang disebutkan pemerintah, Timor tidak setuju. Sebab, Timor tak punya tunggakan pajak," ujar Fetty Aziza, pejabat hubungan masyarakat PT Timor. Dan menurut Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan Timor, Dani W. Sarwono, sewaktu mobil-mobil itu dijual, Timor juga tak membebankan pajaknya kepada konsumen—sedan tersebut memang bebas pajak. "Kalau sekarang pemerintah menagihnya, silakan memungut sendiri pada konsumen," ucapnya. Entah apa yang kemudian terjadi, pada 19 April lalu, PTUN meminta pemerintah menunda pelaksanaan surat paksa pembayaran pajak kepada Timor. Berbekal surat penundaan itu, pihak Timor semakin berani melawan aparat pajak. Akibatnya, pada 30 Juni lalu, jangankan menyita mobil Timor di Cikampek dan di Tanjungpriok, mendekati dua lokasi itu saja petugas pajak tak mampu. Itulah yang membuat Direktur Jenderal Pajak Anshari Ritonga berang. Ia pun melaporkan ulah pegawai Timor ke polisi. Memang, Anshari mengakui bahwa pihaknya tak berani masuk ke pabrik Timor, khawatir dituduh masuk secara paksa. Belakangan, perang dalil hukum antara Timor dan instansi pajak semakin seru. Timor berpendapat bahwa perkara pajak itu harus diputus dulu oleh PTUN. Hal itu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). Sedangkan Direktur Jenderal Pajak menganggap perkara pajak bukanlah kompetensi PTUN, melainkan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang BPSP. Timor, sebaliknya, sangat berpegang pada keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Melalui surat tertanggal 20 Mei lalu, pengadilan tinggi itu menyatakan bahwa BPSP bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman. Sebab, BPSP menjadi semacam peradilan baru di luar empat lingkungan peradilan, yakni umum, militer, agama, dan tata usaha negara, yang ditetapkan undang-undang kehakiman. Selain itu, Timor menilai upaya ke BPSP akan berakibat ganda. Pertama, sebelum naik banding ke BPSP atas keputusan surat paksa tagihan pajak, Timor harus membayar dulu seluruh utang pajak. Kedua, putusan BPSP merupakan putusan akhir dan tak bisa digugat ke PTUN. Sebaliknya, Anshari Ritonga tetap menyatakan bahwa BPSP-lah yang berwenang menangani perkara pajak. Apalagi, sesuai dengan prinsip lex posteriori derogat lex priori (undang-undang kemudian menghapuskan undang-undang sebelumnya), Undang-Undang BPSP, yang lahir setelah Undang-Undang Peratun, lebih kuat kedudukannya. Itu sebabnya Anshari mengakui bahwa instansinya tetap akan menyita mobil Timor. "Cara dan waktunya tak bisa saya katakan. Bisa-bisa PT Timor menyiapkan strategi lagi," ujarnya. Bila aset Timor berupa benda bergerak itu tak mencukupi pelunasan utang pajak, aset benda tak bergerak berupa tanah dan bangunannya akan disita pula. Sebetulnya, dalil yang diandalkan pihak Timor perlu diberi catatan. Sebab, UU Peratun mensyaratkan bahwa perkara yang ada proses banding administratifnya baru bisa ditangani PTUN bila upaya banding itu sudah ditempuh. Tapi undang-undang itu hanya mencontohkan upaya banding perkara pajak ke Majelis Pertimbangan Pajak, lembaga yang kemudian diganti dengan BPSP. Sedangkan Timor langsung menggugat ke PTUN, padahal upaya bandingnya belum ditempuh. Dalil yang dipegang instansi pajak juga punya catatan. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, upaya banding ke BPSP hanya bisa dilakukan selambat-lambatnya 14 hari setelah surat paksa keluar. Tentu saja Timor tak bisa lagi menggunakan upaya itu karena batas waktunya sudah lama dilampaui. Dengan begitu, keputusan surat paksa telah berkekuatan hukum tetap, sehingga Timor—suka atau tidak suka—harus membayar tagihan pajaknya. Yang jelas, perkara pajak Timor hanya satu dari serentetan kasus hukum yang menerpa Tommy. Selain itu, ada kasus penyegelan Gedung Humpuss, kasus tanah pabrik mobil Timor di Cikampek, kredit macet Rp 6 triliun yang ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional, vonis pailit PT Sempati Air Transport, dan peradilan korupsi Bulog-Goro. Namun, dari semua perkara itu, belum ada satu pun sanksi hukum yang dijatuhkan ke atas diri Tommy. Happy S., Agus S. Riyanto, dan Rubi Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus