Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak Kepolisian Daerah Sumatra Barat menyerahkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 lidik) kasus kematian Afif Maulana. Selain itu, LBH juga meminta polisi menyerahkan dokumen visum dan autopsi yang hingg kini belum diketahui oleh keluarga Afif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengacara LBH Padang Alfi Syukri mengatakan keberadaan sejumlah dokumen itu berguna untuk menilai keputusan polisi menghentikan penyelidikan kematian Afif. Polisi sebelumnya menyetop penyelidikan karena mengklaim tidak ada bukti baru yang menunjukkan Afif bertemu aparat polisi sebelum ditemukan meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Alasan pengentian penyelidikan yang digunakan ialah ada saksi yang menerangkan Afif mengajak melompat dan kesimpulan dokter forensik bahwa Afif meninggal akibat jatuh dari ketinggian,” kata Alfi seaat dihubungi pada Selasa, 14 Januari 2025.
Namun, Alfi melanjutkan, polisi mengabaikan bukti lainnya. Seperti ditemukan bekas luka yang tidak berkaitan dengan jatuh dari ketinggian dan kesaksian bahwa Afif sempat berhadap-hadapan dengan tiga anggota polisi dan meminta ampun.
“Ada saksi yang menemukan luka memar saat memandikan, dari hasi forensi terdapat luka yang tidak berkaitan dengan jatuh dari ketinggian,” kata Alfi.
Alfi menyampaikan, polisi harusnya mendalami bukti-bukti lain. Namun polisi tidak mengambil langkah itu dan memilih menghentikan penyelidikan. Menurut Alfi, alasan penyetopan penyelidikan tidak dapat diterima. “Untuk itu kami meminta dokumen SP2 lidik serta hasil otopsi dan visum,” ujar Alfi.
Dia mengatakan keberadaan dokumen itu nantinya bisa melihatkan bagaimana proses penyelidikan selama ini berlangsung. Selain itu, diharapkan penyelidikan kasus Afif dapat dibuka kembali bila ditemukan kejanggalan atau peluang ditemukannya alat bukti baru.
Alfi menambahkan, LBH Padang juga telah memenangkan sengketa informasi di Komisi Informasi agar dokumen itu dinyatakan terbuka. Untuk itu, Alfi meminta itikad baik polisi agar mematuhi putusan Komisi Informasi tersebut.
“Saat ini LBH Padang sedang menunggu SP2 Lidik dari kepolisian agar bisa melakukan pengaduan pada Kompolnas, Ombudsman, Komnas HAM dan Komisi 3 DPR RI,” kata dia.
Terkait hal ini, Tempo masih berupaya meminta tanggapan Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Polisi Dwi Sulistyawan. Hingga berita ini tayang, dia belum merespons permintaan wawancara. Dia juga tidak menjawab pertanyaan yang dikirimkan ke nomor pribadinya.
Afif Maulana, 13 tahun, ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji pada Juni 2024. Diduga kematiannya akibat penganiayaan yang dilakukan aparat penegak hukum. Namun polisi membantah dugaan itu. Polda Sumbar menyatakan Afif tewas karena terjatuh dari jembatan.
Setelah melakukan penyelidikan selama enam bulan, Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono mengumumkan penghentian penyelidikan ini pada Selasa sore, 31 Desember 2024.
Keputusan penghentian penyelidikan kasus ini diambil setelah Polda Sumbar menggelar perkara khusus kasus yang telah berjalan lebih dari enam bulan ini pada hari yang sama. Namun, kuasa hukum korban menyebut proses tersebut tidak melibatkan mereka secara penuh dan minim transparansi. “Sebuah gelar perkara khusus seharusnya membuka fakta dan alat bukti,” kata Alfi Syukri, kuasa hukum korban dari LBH Padang.
Kabid Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Polisi Dwi Sulistyawan mengatakan mekanisme gelar perkara sudah sesuai prosedur. “Memang mekanisme seperti itu, di termin pertama pelapor diminta untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya terkait dengan kejadian yang dilaporkan, sedangkan untuk termin kedua pelapor tidak dilibatkan," kata Dwi, 2 Januari 2025
Gelar perkara khusus kasus ini berlangsung pada Selasa, 31 Desember 2024. Dalam termin pertama, penyidik memaparkan langkah-langkah penyelidikan, termasuk olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi, dan hasil autopsi. Sementara pada termin kedua, proses berlangsung secara internal tanpa melibatkan keluarga korban maupun kuasa hukum.