Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Demokratis, tapi berbau feodal

Pemilihan kepala desa di kalangan warga portibi julu, masih mengikuti ketentuan dari lembaga adat "dalihan na tolu". warga desa tak akan menerima kepala desa yang ditunjuk camat. (ds)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI suatu malam yang kelam, Katimbun (35 tahun), seorang petugas kantor desa menyusuri lorong-lorong sambil menabuh canang. Setiap 30 sampai 40 langkah suara canang itu hilang. Dan terdengarlah suara Katimbun berteriak ke arah rumah-rumah di sekitarnya: Seluruh penduduk desa diminta hadir di sopo godang besok malam, selepas sembahyang isya -- ada hal penting yang akan dibicarakan. Katimbun kembali berjalan sambil menabuh canang sampai seluruh bagian desa dikitarinya. Dan besok malamnya semua warga Desa Portibi Julu (Kecamatan Padang Bolak, Tapanuli Selatan) berkumpul di sopo godang, yaitu balai desa. Para hadirin sadar di mana masing-masing harus mengambil tempat duduk. Di tempat yang lebih tinggi letaknya duduklah raja huta (kepala desa) didampingi para kahangi (saudara seketurunannya) dan di sisi lain terlihat para mora (kelompok mertua -- marga isteri -- dari dua kelompok terdahulu). Sedangkan pada lantai yang lebih rendah, disediakan khusus untuk para anak boru dan orang kebanyakan. "Kebiasaan seperti ini sudah turun temurun yang dikenal dari Lembaga Adat Dalihan Na Tolu," tutur Ridwan Harahap seorang warga Portibi Julu. Satu-Satu Ditanyai Dalihan Na Tolu sebagai pedoman dasar kehidupan memang masih banyak memberi warna pada roda pemerintahan desa di sini. Apalagi karena para tokohnya tetap dianggap sebagai pemimpin tak resmi yang selalu dihormati. Oleh sebab itu mudah difahami bila seorang kepala desa di Tapanuli Selatan tetap ditunjuk atau dipilih dari marga yang dikenal sebagai pemula desa itu, yang disebut raja. Seorang raja huta selalu didukung oleh para tokoh Dalihan Na Tolu dan karena itu kedudukannya cukup kuat. Memang sudah beberapa kali terjadi seorang kepala desa yang diangkat karena ditunjuk camat -- tidak dari golongan raja. Akibatnya berbagai cara ia dijatuhkan warga desa, misalnya melalui ratusan protes dengan berbagai alasan pula. Kepala Desa Tanjung, 120 km dari Padang Sidempuan (Kecamatan Barumun Tengah) misalnya. Ia bukan penduduk asli desa itu, tapi diangkat camat setempat. Segala pihak telah mengajukan protes kepada Camat Barumun Tengah agar kepala desa itu diberhentikan dan diganti oleh salah seorang penduduk asli desa itu. Meskipun seorang kepala desa harus terdiri dari keluarga raja (pendiri desa), tapi pengangkatannya tetap berdasarkan pemilihan. Ini ketetuan Dalihan Na Tolu. Tongku Salam (56 tahun), Raja Huta Portibi Julu, menuturkan bahwa sebelum ia diangkat sebagai kepala desa 1968, penduduk dikumpulkan. Satu-satu ditanyai siapa calon yang dipilihnya dan dicatat. "Siapa yang mendapat pendukung paling banyak, dialah pemenang," ungkap Tongku Salam. Tapi semenjak itu tak pernah lagi terjadi pemilihan raja huta di desa ini dan karenanya sampai sekarang Tongku Salam masih tetap pada jabatannya. Di Desa Baringin, Kecamatan Sipirok, pemilihan kepala desa yang terakhir pada 1970. Caranya: 2 orang calon dari keluarga raja ditampilkan. Penduduk diundang ke lapangan di tempat mana kedua calon tadi telah duduk di kursi yang telah ditentukan. Panitia pemilihan mengumumkan, siapa yang memilih calon A harap berdiri di belakang kursi calon itu dan siapa yang berpihak ke calon B agar berdiri di belakangnya. Warga desa pun menentukan pilihannya. Panitia tinggal menghitung berapa banyak pendukung di belakang masing-masing calon itu. Demokratiskah sistem pemilihan kepala desa di Tapanuli Selatan ini? Menurut Tongku Guru Siregar (81 tahun), seorang tokoh Desa Gunung Tua (Kecamatan Padang Bolak), "praktek pemilihannya memang demokratis, tapi sayang masih berbau feodal." Maksudnya karena para calon tetap harus terdiri dari keturunan raja di desa itu. "Kesimpulannya, tidak demokratis murni," tambah Guru Siregar, "sebab dalam musyawarah desa misalnya, yang didengar pendapatnya hanya para pengetua adat dan keluarga raja, orang kebanyakan hanya mengaminkan saja." Berbagai gagasan memang pernah dilontarkan agar sistem pemilihan kepala desa di daerah ini lebih demokratis. Misalnya beberapa tahun lampau ada yang mengusulkan agar Parpol dan Golkar diberi peranan juga dalam roda pemerintahan sehari-hari. "Tapi herannya," kata Guru Siregar, "baik Belanda dulu maupun pemerintah sekarang sama-sama tak suka pada partai di pedesaan." Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tahun lalu memang pernah menelorkan ketentuan penggabungan desa-desa di daerah ini. Yaitu dari 1609 desa menjadi 242 desa saja. Sehingga peranan kaum ningrat pedesaan akan berkurang dan rasa persatuan dari berbagai marga akan lebih menonjol. Lebih-lebih lagi karena penggabungan itu akan lebih memudahkan komunikasi antara camat dengan para kepala desa. Tapi sayang ketentuan itu sampai sekarang belum mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus