Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lepas Lahan di Kampus Biru

Kejaksaan Tinggi Yogyakarta menyidik kasus penjualan aset yang diduga milik Universitas Gadjah Mada. Membidik bekas petinggi yayasan yang diduga menjual lahan itu.

14 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjarak sekitar 250 meter dari gedung Jogja Expo Center, terhampar perumahan Cipta Jogja Elegance. Ukuran dan model rumah berlantai dua di kompleks seluas 4.000 meter persegi ini hampir seragam. Di toko online, seorang pemilik menawarkan rumahnya dengan lahan 120 meter persegi sebesar Rp 2 miliar.

Tak banyak pemilik rumah di sana yang tahu bahwa Kejaksaan Tinggi Yogyakarta tengah menyidik asal-usul lahan di Jalan Raya Plumbon, Banguntapan, Bantul, yang sebelumnya menjadi tempat praktek mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada itu. "Yang pasti kami sudah memiliki alat bukti kuat," ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Suyadi, Jumat pekan lalu.

Kejaksaan mencium ada aroma korupsi di balik peralihan lahan itu. Menurut Kejaksaan, penjualan lahan kepada pengembang Cipta Jogja Elegance pada 2005 itu telah merugikan negara miliaran rupiah. Suyadi menyebutkan lahan yang dijual Yayasan Pembina Fapertagama itu merupakan aset negara yang seharusnya dikelola Universitas Gadjah Mada.

Yayasan Pembina Fapertagama dikelola para pengajar di Fakultas Pertanian UGM. Lembaga ini berdiri pada 1969 dengan nama Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM. Pada 2001, namanya berganti menjadi Yayasan Pembina Fapertagama.

Mei Abeto Harahap, jaksa yang menyelidiki perkara ini, menegaskan, pihaknya memiliki sejumlah bukti yang menunjuk lahan itu aset universitas. Salah satunya, kata dia, buku catatan tanah di kantor Desa Banguntapan. Catatan bernomor 30 dan 64 tahun 1963 itu menunjuk lahan tersebut dibeli Profesor Probodiningrat, Ketua Panitia Pembangunan Gedung-Gedung UGM, yang meninggal pada 1964. Menurut Abeto, saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 1,5 juta. "Probodiningrat membeli atas nama universitas," ucapnya. Adapun Yayasan Fapertagama ketika didirikan tercatat hanya memiliki "kekayaan" Rp 1.000. "Bagaimana Yayasan bisa membeli lahan semahal itu?" ujar Abeto.

Pada awal 2000-an, kata Abeto, manajemen universitas yang kerap disebut Kampus Biru itu menelusuri dan mencatat ulang semua aset. Nah, lahan di Plumbon tak dimasukkan ke daftar aset universitas. Tanah itu malah dimasukkan aset Yayasan.

Sejumlah dosen Fakultas Pertanian sudah dipanggil Kejaksaan. Salah satunya Susamto Somowiyarjo, Dekan Fakultas Pertanian pada 2000-2008, yang pada periode yang sama menjabat Ketua Yayasan. Menurut Abeto, selama Susamto menjadi Ketua Yayasan, terjadi lima kali penjualan lahan. Salah satunya lahan Plumbon.

Kepada Tempo, Susamto, yang kini Ketua Majelis Guru Besar UGM, menyatakan tak banyak ingat kronologi penjualan lahan di Plumbon. "Saya banyak lupa. Semua data dan dokumen ada di pengurus baru Yayasan," ujarnya pendek.

Penjelasan datang dari kuasa hukum Yayasan Pembina Fapertagama, Heru Lestarianto. Menurut Heru, lahan di Plumbon itu merupakan salah satu lahan yang dibeli dengan dana pribadi sejumlah dosen Fakultas Pertanian pada 1963. Ketika Yayasan dibentuk pada 1969, kata Heru, aset yang dibeli para dosen itu dialihkan kepemilikannya ke pihak Yayasan. Adapun tanah di Plumbon masih menggunakan "letter C" atas nama Fakultas Pertanian UGM. "Hal yang sama terjadi pada aset Yayasan lainnya," tuturnya.

Menurut Heru, inventarisasi aset milik Yayasan Fapertagama dimulai pada era Bambang Hadisutrisno, yang menjadi Dekan Fakultas Pertanian pada 1997-2000. Sejak 1969 hingga 2000, kata dia, mereka yang menjabat dekan selalu merangkap Ketua Yayasan.

Pada 2005, pengurus Yayasan di bawah kepemimpinan Susamto sepakat menjual lahan di Plumbon. Saat melepas lahan itu, menurut Heru, seorang dosen bernama Mujiyo memberi kesaksian di depan pengurus Yayasan bahwa lahan tersebut dibeli dengan dana pribadi para dosen pada 1963.

Lahan di Plumbon dilepas dengan harga Rp 1,2 miliar. Separuh uang itu dipakai buat membeli lahan pertanian seluas 9.000 meter di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Adapun sisa dana Rp 600 juta kini masih tersimpan di kas Yayasan.

Heru yakin kliennya tak melakukan kesalahan dalam kasus ini. Untuk melawan tuduhan Kejaksaan, pihaknya tengah mengumpulkan semua dokumen jual-beli lahan Plumbon itu. Hanya, lantaran jual-beli itu sudah lama, Heru mengaku ada beberapa bukti penting belum ditemukan. "Saksi pun banyak yang sudah meninggal, termasuk Pak Mujiyo," ucapnya. Sedangkan juru bicara UGM, Wijayanti, menyatakan lahan di Plumbon milik Yayasan.

Kejaksaan tetap yakin negara rugi dengan adanya penjualan lahan itu. Kepada Tempo, seorang penyelidik menyebutkan tersangka dalam kasus ini bisa jadi salah satu bekas petinggi Yayasan. Adapun Suyadi menolak berkomentar. "Kalau sudah mengerucut nanti, segera kami tetapkan tersangkanya," katanya.

Yuliawati (Jakarta), Addi Mawahibun Idhom (Bantul), Muh Syaifullah (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus