KALANGAN pengacara bagaikan mendapat hadiah Natal dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Rabu pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Nyonya Reni Retnowati melepaskan dua orang pengacara, Eddy Dar~widjaja dar~ Djamhir Hamzah. Semula mereka dituduh menghina lawannya berperkara, Sukrisna, ketika membacakan pledoi dalam perkara kliennya, Liem Beng Teng alias Benny Halim. Keputusan Reni itu merupakan vonis kedua, setelah majelis hakim agung yang diketuai Soebekti, 1973, menjatuhkan vonis serupa dalam perkara pengacara Yap Thiam Hien. Pengacara itu didakwa menghina kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, dan seorang pejabat tinggi Polri. Kedua pengacara itu, Eddy dan Djamhir, terpaksa duduk di kursi terdakwa setelah Maret lalu membela Benny dari tuduhan memalsukan surat hibah tanah dari orangtuanya, Liem Lo. Benny ketika itu diadukan oleh bekas iparnya sendiri, Sukrisna -- suami mendiang adiknya. Dalam pledoinya, Eddy dan Djamhir menyerang balik si pelapor Sukrisna. Si pelapor dituding kedua pengacara ltu mempunyal nafsu serakah. "Sukrisna sewaktu datang dari pantai selatanJawa Barat ke Karet Kuningan hanya dengan celana kolor dan kaus oblong. Berkat asuhan dan bantuan serta dipungut mantu oleh Liem Lo, ia telah menjadi milyarder," ujar pengacara itu di sidang. Berkat pembelaan itu, Benny dibebaskan dari tuduhan. Tapi belakangan kedua pengacara itu diadukan Sukrisna karena menghina dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Jaksa Soewoko, yang membawa perkara ke sidang, menuntut agar maJelis menghukum Eddy dan Djamhir masing-masing 3 bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun. Sebaliknya, tim pembela, Moh. Assegaf dan Sandhya Ananda, beranggapan Eddy dan DJamhir tidak dapat dltuntut karena ucapannya itu semata-mata untuk membela kliennya. Perbuatan kliennya, kata Assegaf dan Sandhya, selain tidak dimaksudkan untuk menghina saksi pelapor juga tidaklah lepas dari hak membela diri -- sebagai kuasa Benny -- yang dilindungi undang-undang. Sebagai kuasa Benny itu pula, menurut kedua pembela, Eddy dan Djamhir dilindungl oleh Imunitas pengacara. Untuk itu, kedua tim pembela menunjuk yurisprudensi Mahkamah Agung (I:loge Raad) Belanda, 1914, dan yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia, 1973. Pada yurlsprudensi itu ditegaskan bahwa katakata penghinaan pengacara dalam pledoinya tidak dapat dihukum. Sebab, pengacara itu, menurut yurisprudensi tadi, melakukannya untuk membela kepentingan kliennya. Mahkamah Agung Indonesia, dalam yurisprudensinya pada kasus Yap Thiam Hien, juga berpendapat senada. Ked~ua y~urispr~udensi it~u,~ kini ~vonis Reni, dianggap M. Assegaf bukti adanya imunitas pengacara di persidangan. Imunitas itu digambarkan oleh Assegaf sebagaimana seorang jaksa bisa menuduh seseorang terdakwa berzina atau memperkosa, dan juga hakim memutuskan seseorang melakukan hal yang sama. "Kalau ternyata terdakwa tidak bersalah, 'kan jaksa dan hakimnya tidak bisa dituntut," katanya. Majelis memang menganggap perbuatan Eddy dan Djamhir tidak terbukti sengaja menghina. Ucapan kedua pengacara tersebut, yang menyinggung perasaan Sukrisna, menurut majelis, bisa diadukan ke ketua pengadilan karena melanggar Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman -- yang salah satu pasalnya melarang pengacara berbuat yang tidak patut terhadap lawannya. Tapi Hakim Reni membantah keras vonisnya itu mengakui kekebalan pengacara sebagaimana ditafsirkan Assegaf. "Tidak ada orang yang kebal hukum. Biar hakim pengacara, atau jaksa, kalau salah bisa ditindak," kata Reni. Karni Ilyas, Tri Budianto Soekarno (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini