DEWI Matindas mengulang ucapan lama, bahwa mempunyai anak pada wanita adalah dorongan naluriah. "Anak, memuaskan instink utama kaum wanita untuk memberikan perlindungan dan perawatan," kata psikolog ini pula. Karena itu, menurut Dewi, kesulitan mendapat anak adalah pukulan sangat berat bagi wanita. Dampaknya pada kondisi kejiwaan sangat kompleks, karena tekanan perasaan di baliknya tak mudah ditaklukkan. "Tekanan psikologis memang bukan penyebab kemandulan," ujar Dewi, Direktris Lembaga Psikologi Terapan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. "Rata-rata pengaruh psikologis pada kemandulan hanya sekitar 5%." Namun, bagi wanita yang masih mungkin hamil tapi sulit, faktor psikologis menjadi penting. Depresi, umpamanya, menyebabkan peluang untuk hamil bisa hilang sama sekali. "Akhirnya, terjadilah lingkaran setan," ujar Dewi. "Kemandulan terjadi, akibat kecemasan terhadap kemungkinan mandul." Pendapat ini dikemukakan Dewi pada seminar sehari, "Menanggulangi Kemandulan Secara Rasional" yang diselenggarakan majalah Femina dan Klinik Raden Saleh, di Gedung YTKI Jakarta, pekan lalu. Seminar itu tidak secara khusus memasalahkan faktor psikologis dalam kemandulan, karena ada juga peninjauan dari sisi medis. Tampil umpamanya pembicara Prof. Sudraji Sumapraja, ginekolog yang dikenal sebagai ahli mengatasi masalah sulit hamil. Namun, pendapat Dewi terasa paling menarik karena, sementara ini, peran psikolog dalam mengatasi kesulitan hamil belum banyak dikaji. Kecemasan tidak bisa mempunyai anak pada wanita sering diduga akibat desakan luar. Terutama akibat pandangan masyarakat. Dalam seminar itu Dewi mengemukakan, seorang wanita mencemaskan kemandulan, karena khawatir diceraikan suami. Juga dipengaruhi pandangan stereotip, bahwa wanita yang tak bisa mempunyai anak bukan wanita yang sempurna. Namun, menurut Dewi, karena berpangkal pada naluri, akar kecemasan ini berada pada diri sendiri. Diakuinya, faktor luar bukan tidak penting. "Sangat kepingin punya anak membuat kondisi kejiwaan seorang wanita menjadi tidak stabil, hingga mudah mempercayai pendapat orang lain, dan sangat cepat terpengaruh komentar orang." kata Dewi. Karena itu, terapi mengatasi kecemasan yang timbul karena mandul tidak cukup hanya dengan mengatasi gangguan emosional. Yang lebih perlu adalah ikhtiar pembentukan kepribadian -- penderita bisa mengatasi masalah secara rasional. Secara teoretis, kecemasan bisa dihilangkan dengan "pisau bermata dua". Penderita harus diyakinkan, mempunyai anak adalah hak sepasang suami-istri. "Secara rasional orang lain nggak berhak menuntut kita punya anak," ujar psikolog itu. Dengan sikap ini desakan dari luar bisa dibendung, sementara keyakinan diri dibangkitkan. Tak urung Dewi mengakui, upaya yang kedengarannya sederhana itu tidak mudah dilaksanakan. Terutama bila tuntutan datang dari suami. "Bila suami tak membantu, ini paling berat," ujar Dewi lagi. Bagi wanita yang benar-benar mandul, depresi hanya bisa diatasi, bila terapi pada akhirnya mampu membangun kepribadian yang matang, bisa menawarkan pemikiran dialektis. "Haruskah setiap wanita mempunyai anak?" Berbagai pertimbangan bisa ditelaah untuk sampai pada jawaban: wanita tidak harus mempunyai anak. Di masa kini, pendapat semacam itu, menurut Dewi, sama sekali tidak aneh, bahkan pada masyarakat kita juga tidak. "Di Jakarta saya cukup banyak menemui pasangan yang memutuskan tidak akan mempunyai anak," katanya. Ahli biopsikiatri dr. Yul Iskandar membenarkan pendapat itu. "Tapi harus diperhatikan, yang bisa mempengaruhi terjadinya kehamilan adalah depresi, bukan stres," ujar ahli itu kepada Gabriel S. Hetty dari TEMPO. Depresi, menurut Kepala Laboratorium Biopsikiatri Depkes itu, bisa mengganggu semua sistem organ tubuh. "Karena depresi mengganggu keseimbangan hormonal," katanya. Kehamilan, yang sangat dipengaruhi faktor-faktor hormonal, dengan sendirinya terganggu. Mempertimbangkan sulitnya mengatasi depresi jenis ini, maka Dewi menganjurkan, "Sebaiknya minta pertolongan psikolog." Dan psikolog itu berpendapat, terapi secara berkelompok mungkin paling efektif. Para wanita yang sulit mempunyai anak sebaiknya mencari pemecahan bersama. "Dengan kumpul-kumpul teman senasib, tukar pikiran lebih mudah membuahkan hasil," ujar Dewi. Karena pentingnya faktor psikologis pada wanita yang sulit mempunyai anak, Dewi berpendapat perlunya penyertaan psikolog pada tim in vitro fertilization -- metode lVI, lebih dikenal sebagai pembuahan bayi tabung -- yang kini sedang dirintis di Indonesia. Apalagi pembuahan di laboratorium sering harus dicoba berulang-ulang sebelum berhasil. "Para dokter saya dengar juga berpendapat sama, dan kini sudah ada usaha untuk menyertakan psikolog dalam meningkatkan keberhasilan bayi tabung," ujar Dewi. "Faktor psikologis memang sangat besar," ujar seorang suami dari pasangan yang kini sedang menjalani percobaan IVF di bawah perawatan perintis bayi tabung, dr. Sugiharto Subianto. "Ketegangan turun naik dari hari ke hari, dan sangat menekan." Suami yang tak mau disebutkan namanya itu mengisahkan, bagaimana beberapa embrio yang dimasukkan ke rahim istrinya gugur satu demi satu. Akhirnya, satu mampu bertahan, tapi masih terjadi pendarahan. Ketika itulah sang istri diserang rasa cemas, yang dicampuri berbagai penyesalan. Ia merasa bersalah, malah merasa tidak sempurna sebagai wanita. "Saya tidak terpikir untuk meminta pertolongan psikolog," ujar sang suami. "Tapi kami beruntung, sudah lama kami merelakan tidak mempunyai anak. Jadi, istri saya rasanya tidak punya latar belakang depresi." Hubungan yang baik di antara pasangan itu, menurut penuturan si suami, akhirnya memungkinkan satu-satunya embrio yang tinggal bisa juga dipertahankan. Kini usia kandungan yang mereka dambakan sudah menembus bulan keempat. Jim Supangkat & Gabiel S. Hetty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini