BANK Palsu ? Jangan kaget di Jakarta ada dua buah bank pasar bernama sama: Bank Pasar Perdagangan. Yang satu berkantor di Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Jakarta Pusat, dan sebuah lagi berkantor di Jalan Panglima Polim III No. 3 B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. "Dari hasil penyidikan bank pasar yang pertama asli, sementara yang kedua palsu," kata sumber TEMPO di Mabes Polri. Berdasarkan penyidikan itu sebuah tim dari Mabes Polri di bawah pimpinan Kasat Idik Bank, Letkol. Pol. F. de Vries, Jumat, 17 Juni lalu, menggerebek bank palsu tadi. Direktur Utama Bank Pasar Perdagangan (BPP) palsu itu, Sukarna Karnaen, 58 tahun, yang kebetulan berada di kantor itu ditangkap. Begitu pula istri Sukarna, Yan Karnasih, yang di bank siluman itu menjabat komisaris utama, juga diperiksa tim Mabes Polri. "Ini bank gelap yang dijalankan keluarga. Tapi beroperasi dengan canggih dan licin," kata sumber di Mabes polri. Kalau tuduhan pihak Polri benar, kegiatan bank palsu itu selain licin juga sangat berani. Sejak mulai beroperasi pada 1973, bank itu, kabarnya, berkali-kali pindah tempat. Semula berkantor di Tanah Abang V No. 12. Kemudian pindah mendekati BPP (asli) di Jalan Sukarjo Wiryopranoto. Setelah itu pindah lagi ke Jalan Petogogan, Kebayoran Baru. Lalu hengkang lagi ke Jalan Garuda, sebelum akhirnya mangkal di Jalan Panglima Polim. "Modus berpindah-pindah kantor ini jelas bermaksud menghilangkan jejak dari para korbannya dan pelacakan pihak yang berwajib," kata polisi. Praktek busuk Karna baru tercium, setelah BPP (asli) merasa dirugikan karena beredarnya sertifikat deposito palsu atas nama BPP. Bank asli ini merasa tak mengeluarkan deposito tersebut. Polisi, yang dilapori soal pemalsuan itu, awal tahun ini, mencoba mengontak Bank Indonesia. Hasilnya positif. Pihak BI sebenarnya sudah tahu lama soal bank palsu itu. Bahkan, BI sudah dua kali -- pada 3 Juni 1982 dan 4 Juni 1983 -- memperingatkan bank gelap itu agar menutup usahanya. Tapi, entah mengapa, pihak BPP palsu bisa membandel. Yang belum jelas juga mengapa BI tak melaporkan secara resmi kegiatan bank gelap itu ke pihak Polri. Padahal, sebagaimana bank-bank resmi, BPP palsu itu selama lima tahun terakhir ini, menurut penyidik, dengan teratur melaporkan neracanya ke Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang bertugas mengawasi bank-bank pasar, dan BI. Polri memang tidak menutup kemungkinan oknum-oknum BI terlibat kegiatan bank palsu itu. Sebab itu, selain menangkap dirutnya, pekan lalu, pihak Polri menciduk pula seorang oknum BI, Mawardi, di rumahnya, di Petojo Enclek, Jakarta Pusat. Mawardi, yang bertugas di BI di Bagian Pengawasan Bank Swasta Non-Devisa, ternyata berperan penting dalam kegiatan bank palsu itu. Selaku pejabat BI ia bertugas menandatangani deposito-deposito di BPP dengan nilai Rp 100 juta ke atas sementara deposito di bawah Rp 100 juta cukup ditandatangani Karna, selaku dirut BPP palsu. Pada 1982 dan 1983, menurut pihak Polri, BPP palsu itu telah menerbitkan sekitar 16 buah sertifikat deposito palsu, sementara pada 1987/1988 bank itu mengedarkan pula sekitar 70 sertifikat deposito. Berkat wewenangnya Mawardi, menurut penyidikan polisi, sempat menandatangani dua deposito palsu senilai Rp 250 juta dan Rp 100 juta. Sedang deposito satunya lagi, senilai Rp 2 milyar, belum ditandatangani karena Mawardi kecewa lantaran imbalan yang dijanjikan Karna kepadanya sebesar Rp 120 juta tak kunjung diterimanya. Kepada polisi, Mawardi, ayah tujuh anak itu, mengaku belum sepeser pun menerima imbalan dari Karna. Padahal, akibat kegiatan gelap bank palsu itu, ia kini harus mengorbankan kariernya di BI yang sudah dibinanya sejak 1968. Bahkan karyawan BI yang bergaji Rp 400 ribu itu sedianya pada tahun ini akan mendapat penghargaan 20 tahun mengabdi di BI. Bermodalkan deposito palsu itu, anak buah Karna, masih menurut polisi, bergerak mencari sasaran. Sertifikat berharga itu dijadikan agunan kredit di bank, atau untuk membeli mobil lewat dealer-dealer di daerah. Dengan agunan deposito senilai Rp 50 juta (nominal), anak buah Karna, Joice Stevanie, misalnya, berhasil menggaet dua mobil Daihatsu Taft dari Himalaya Kencana Motor di Ciawi, Bogor -- sebuah telah disetorkan kepada Karna, dan kini disita Mabes Polri. Kemudian, kaki tangan Karna lainnya berhasil memperdayai seorang pengusaha, Elyas, sebesar Rp 13,5 juta -- harga sertifikat deposito palsu dengan nominal Rp 65 juta. Ada pula korban lain yang tertipu Rp 28 juta dari pembelian sertifikat palsu itu (polisi belum mau memberikan identitasnya). Pihak Polri juga menciduk tangan kanan Karna, Azis Unulula, 43 tahun. Dengan deposito palsu senilai Rp 1 milyar, Azis hampir membobol Bank Agung Asia di Jakarta. Untuk menarik minat si calon korban, deposito yang belum jatuh tempo itu ditawarkan sangat rendah, cuma sepuluh persen dari nilai nominal. BPP palsu, yang mengontrak ruang seluas 3,5 X 7 meter seharga Rp 500 ribu per bulan itu, dalam aktivitasnya mempekerjakan 20 karyawan. Dan sebagaimana kegiatan bank umumnya, BPP ini juga mempunyai debitur dengan total pinjaman Rp 6 juta (untuk kelas kakapnya). Sedang nasabah kelas terinya sebanyak 150 orang dengan total pinjaman Rp 15 juta. Tapi anehnya, ketika wartawan TEMPO mengunjungi kantor BPP di Jalan Panglima Polim, Jumat lalu, Karna, yang bertubuh kecil, berambut tipis dan putih itu --yang menurut polisi telah diciduk -- tiba-tiba nongol di sana. Kedatangannya disambut hangat oleh karyawannya. Karna menolak memberi penjelasan soal tuduhan bank palsu itu. "Kami sudah berembuk dan memutuskan untuk tidak memberikan keterangan dulu," katanya hati-hati. Ia hanya memohon agar masyarakat tidak buru-buru memojokkannya. "Kami sedang menyiapkan surat-surat dan bukti-bukti lain," katanya membantah berita-berita yang kini beredar di masyarakat. Toh ia menolak merinci bantahannya. "Yah, kami sedang menunggu perkembangan. Menunggu keputusan dari sana. Mau diapakan terserah, yang penting kami punya bukti-bukti kuat," katanya mantap. Jadi? "Tunggu minggu depan," ujar Karna ceria. Widi Yarmanto dan Moebanoe Moera (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini