LEBARAN tahun ini, para aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tidak akan menerima tunjangan hari raya. Nasib mereka mirip kaum buruh kecil yang sering mereka bela di hadapan pengusaha besar.
Tak hanya itu. Mulai Desember depan, gaji staf yang tersebar di 14 kantor cabang akan dipotong 50 persen. Bahkan, sejak Oktober lalu, para pemegang jabatan struktural sudah tidak menerima tunjangan jabatan mereka untuk menghemat keuangan yang menipis. Pengurangan jumlah staf, dari semula sekitar 400 orang di seluruh Indonesia, juga akan mulai dijalankan secara bertahap.
Yayasan LBH, yang pada zaman Soeharto pernah dipuji sebagai lokomotif demokrasi yang pemberani, kini dalam kesulitan finansial besar. Pada peringatan ulang tahun lembaga itu yang ke-32, Oktober lalu, Adnan Buyung Nasution, pendiri dan ketua dewan pembinanya, mengimbau masyarakat Indonesia untuk membantu agar lembaga itu tetap hidup. Lembaga asing yang selama ini membiayai 95 persen ongkos operasi LBH telah menghentikan bantuan.
Menurut Munarman, direktur eksekutif yang baru dipilih Oktober lalu, tiga lembaga donor asing, yakni Novib (Belanda), Triple Eleven (Belgia), dan CIDA (Kanada), sudah menyatakan menyetop kucuran dana. Hanya SIDA (Swedia) yang belum menyatakan sikapnya.
Pekan lalu Munarman mengaku telah menerima berita buruk melalui surat resmi dari Ton Meijers, Kepala Departemen Asia Tenggara Novib. Sebelumnya, 11 November lalu, surat senada datang dari Triple Eleven. Harapan Munarman kini tinggal pada SIDA, yang belum mengambil keputusan final. Namun, dilihat dari gelagat yang ada, kecil kemungkinan lembaga donor asal Swedia ini akan bertahan membiayai LBH.
Menurut Munarman, jika tak segera mendapat suntikan dana segar, kas YLBHI itu hanya tersisa sampai Desember 2002 nanti. Selama ini, keempat lembaga luar negeri itulah yang menopang hampir semua ongkos operasi LBH, yang setiap tahunnya mencapai Rp 10 miliar: untuk membiayai kantor, rekening listrik dan telepon, serta kampanye penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Tapi soal demokrasi dan hak asasi manusia itulah yang tampaknya kini menjadi batu sandungan LBH.
Konflik LBH dengan lembaga donor memuncak tahun lalu ketika Adnan Buyung tampil sebagai pengacara Jenderal Wiranto dan kawan-kawan, yang oleh kalangan internasional dituding melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. "Masalah Bang Buyung jadi pertimbangan penting mereka menghentikan dana," kata seorang staf LBH yang telah keluar.
Novib bahkan secara khusus juga menyoroti konflik internal di tubuh LBH dan kecenderungan memusatnya kekuasaan di tangan dewan pembina, yang disebutnya tak transparan dan tak demokratis. "Jadi, ada campuran berbagai alasan yang bersifat personal dan politis dalam penghentian bantuan itu," ujar Munarman.
Munarman sendiri menilai alasan donor asing itu tidak cukup kuat karena LBH telah menskors Adnan Buyung dan sudah mundur dari tim pembela para jenderal TNI. "Proses pemilihan pengurus dan upaya penyelesaian konflik internal juga sudah dilakukan secara demokratis," katanya.
Sumber dalam YLBHI sendiri menduga ada sejumlah alumni lembaga itu yang telah keluar dan mendirikan lembaga baru serta berkampanye menjelekkan LBH.
Namun Robertus Robert, Wakil Ketua YLBHI, menduga ada alasan yang lebih mendasar kenapa lembaga asing menghentikan bantuannya, yakni perubahan prioritas setelah terjadi demokratisasi politik di Indonesia sejak 1998. "Lembaga seperti Novib menganggap peran YLBHI tak relevan lagi dengan sistem politik, sosial, dan ekonomi saat ini," katanya.
Bagaimanapun, Robertus dan pengurus lain menyatakan tak ingin menyesali apa yang telah terjadi. "Kami telah melewati masa paling sulit di zaman Orde Baru. Masa, hanya karena tak ada duit, kami mesti menyerah?"
Kini LBH lebih berkonsentrasi untuk mencari dukungan dana dari dalam negeri. Pada Oktober lalu, lembaga itu mengumumkan pembukaan rekening baru di Bank BNI agar masyarakat bisa menyalurkan bantuannya. "Saya yakin masyarakat tidak akan rela LBH tutup," kata Dedi Prihambudi, Direktur LBH Surabaya.
Dan seperti pucuk dicinta ulam tiba, belum lama ini Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, masuk memberikan sumbangan dana yang tidak disebutkan jumlahnya. Munarman tidak khawatir bantuan itu akan mengurangi independensi LBH. "Bantuan itu diberikan tanpa kami mengajukan proposal atau meneken perjanjian seperti yang kami lakukan kepada lembaga asing," katanya.
Ardi Bramantyo, Iwan Setiawan, Adi Mawardi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini