Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lonceng kematian asisten pengacara

Pengacara yang boleh berpraktek di pengadilan hanya pengacara yang diangkat menkeh atau pengadilan tinggi. kesempatan calon advokat untuk menimba pengalaman akan hilang. ada banyak negatifnya.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR buruk kembali menimpa dunia advokat. Setelah kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta tertutup untuk advokat baru, kini datang pula ketentuan baru: hanya pengacara yang diangkat Menteri Kehakiman atau Pengadilan Tinggi (pokrol) yang boleh berpraktek di pengadilan. Ketentuan yang rencananya akan diberlakukan di seluruh Indonesia itu sejak Jumat pekan lalu dilaksanakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan itu, sejak pekanlalu hanya pengacara atau pokrol yang memiliki "SIM" saja yang boleh menggelar perkara baru di pengadilan tersebut. Kekecualian hanya diberikan kepada anggota LBH, biro-biro bantuan hukum, kuasa keluarga, atau kuasa dinas dari instansi tempat bekerja. Kepala Humas Pengadilan NegeriJakarta Pusat Amarullah Salim mengatakan, keputusan itu justru baik bagi pengacara. "Semua itu tak lain demi kebaikan pengacara juga, guna memudahkan pengaturan dan penertiban advokat," katanya. Menurut Amarullah, ketentuan itu merupakan kelanjutan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, Juli 1987, tentang Tata Cara Pengawasan Penasihat Hukum. Belakangan SKB itu diperjelas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung, November 1987, yang hanya menyebutkan advokat dan pokrol yang boleh berpraktek di pengadilan. Selain itu, kata Amarullah, ketentuan tersebut dimaksudkan bagi terciptanya pemerataan advokat. Sebab, selama ini banyak asisten pengacara, yang sudah bertahun-tahun menangani perkara tetap saJa menumpuk di Jakarta. Padahal, Jakarta kini dihuni lebih dari 700 advokat, sementara banyak daerah lain yang masih kekurangan. "Dengan adanya ketentuan itu, mereka harus segera mengurus izin prakteknya ke daerah," ujar Amarullah. Ketentuan itu tentu saja bagaikan lonceng kematian bagi para asisten pengacara, yang di Jakarta saja diperkirakan sekitar 2.000 orang - lebih banyak dibanding advokat. Sebab, untuk mengurus izin praktek dan kemudian berpraktek di daerah terpencil bukanlah soal yang mudah. Selain mereka banyak yang tak punya modal, belum tentu di daerah mereka akan mendapat klien yang bisa membayar jasa pengacara - sementara subsidi seperti dokter puskesmas tak pula ada. "Keputusan itu akan menyebabkan hilangnya kesempatan bagi para calon advokat menimba pengalaman," kata Ketua Umum Ikadin Harjono Tjitrosoebono. Praktek selama ini - para advokat cukup mengutus asistennya ke pengadilan - kini tak mungkin lagi. Artinya, apakah seorang pengacara bernama Prof. Sudargo Gautama, Prof. Senoadji, atau Harjono Tjitrosoebono harus datang sendiri beracara di pengadilan. Kecuali, tentunya, bila ia mempunyai asisten yang sudah mempunyai izin praktek. Untuk asisten yang tak punya izin, pengadilan hanya memperkenankan ia menadi kuasa bagi kantornya untuk tiga perkara. Artinya, setiap kantor pengacara harus membatasi perkara yang masuk, agar tidak kekurangan tenaga untuk mengurusnya. Sebab itu, ketua Yayasan LBH Abdul Hakim Garuda Nusantara khawatir ketentuan itu berdampak negatif terhadap pelayanan hukum bagi masyarakat tak mampu. Sebab, tak mustahil advokat nantinya, "hanya mau menangani perkara yang berduit saja." Pihak DPP Ikadin sangat berharap agar keputusan itu ditinjau kembali. "Kami berharap agar keputusan itu ditinjau kembali," kata Harjono. Untuk itu, menurut Wakil Bendahara DPP Ikadin, Denny Kailimang, pihaknya akan menghadap Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung. Amarullah Salim membantah jika ketentuan itu dianggap menipiskan peluang menjadi advokat. Sebab, ya, itu tadi, kesempatan tetap ada, tapi di daerah. "Bagi mereka yang ingin menimba pengalaman advokat, kesempatannya tak tertutup, kok. Mereka bisa magang di LBH, Posbakum, ataupun LKBH di tiap fakultas hukum," kata Amarullah. Segampang itukah? H.P.S.,Rustam F. Mandayun, Agung F., Karni Ilyas (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus