Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buyung dan gugatan seribu rupiah

Adnan buyung nasution menggugat menteri kehakiman karena diskors setahun gara-gara persidangan hr. dharsono. ia menuntut ganti rugi rp 1000. keterlambatan menggugat karena soal teknis.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGACARA beken Adnan Buyung Nasution, 54 tahun, yang tengah menyelesaikan program doktornya di Negeri Belanda, kembali mengibarkan bendera perang. Lewat Pengacara Yap Thiam Hien, Abdul Hakim G. Nusantara, dan Luhut M.P. Pangaribuan, Selasa pekan lalu ia menggugat Menteri Kehakiman Ismail Saleh, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Buyung menuntut pengadilan agar menyatakan skors I tahun yang dijatuhkan Menkeh terhadap dirinya, Mei tahun lalu, tidak sah. Pengacara yang dipanggil rekan-rekannya "Abang" ini juga meminta nama baiknya direhabilitasikan. Menariknya, gugatan Buyung itu masuk pengadilan hanya sebulan sebelum masa skorsnya habis - pada Mei mendatang. Dan dalam gugatan tersebut, Buyun, yang akibat skors itu terpaksa menutup kantor pengacaranya di Jakarta, tidak pula menuntut ganti rugi yang memadai. Ia hanya minta pengadilan menghukum Menkeh Rp 1.000,00. "Ganti rugi Rp 1.000,00 itu hanya simbolis," kata Buyung. Skors terhadap Buyung itu bermula dari "insiden" di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 8 Januari 1986, yang sempat menggemparkan kalangan peradilan. Buyung pada hari itu menginterupsi majelis hakim yang diketuai Soedijono ketika membaca vonis terdakwa subversi Letjen. (Purn.) H.R. Dharsono. Selaku tim pembela, Buyung rupanya tersinggung, karena hakim, dalam vonisnya, menyebut ia tidak etis. Belakangan majelis hakim melaporkan kejadian tersebut ke Mahkamah Agung. Lewat sidang administratif, Maret 1986, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengusulkan kepada Menkeh agar Buyung dipecat sebagai pengacara. Pengadilan Tinggi Jakarta memperbaiki keputusan itu menjadi skors 6 bulan. Tapi hukuman itu kemudian ditingkatkan oleh Mahkamah Agung menjadi skors 1 tahun. Pukulan buat Buyung juga datang dari Ikadin, yang menganggap ia telah melanggar kode etik dan memberikan peringatan keras. Menteri Kehakiman, pengambil keputusan terakhir, ternyata menjatuhkan skors I tahun. Menurut Menkeh, tindakan Buyung menginterupsi dan merebut pengeras suara sambil berkacak pinggang di ruang sidang itu telah merendahkan kewibawaan, martabat, dan kehormatan peradilan (contempt of court). Sebab itu, selama masa skors, Buyung dilarang memberikan nasihat dan bantuan hukum di seluruh pengadilan di Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman itu benar-benar meruntuhkan "kerajaan" Buyung Nasution, yang dikenal sebagai salah satu di antara "lima besar" kantor pengacara Indonesia. Kantor megahnya di gedung Prince yang sejak ribut-ribut itu berangsur goyah dan dipindahkan kembali ke Jalan Juanda, Jakarta - benar-benar roboh akibat vonis itu. Semua kantor Buyung Agustus lalu terpaksa tutup. Kliennya harus memilih pengacara lain, sementara para karyawan terpaksa bubar. Kendati mendapat pukulan bertubi-tubi Buyung tetap berkibar. Ia sejak semula tak pernah mau menerima keputusan itu, baik dari peradilan bawahan maupun dari petinggi hukum tak bersedia datang ketika dipanggil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk diperiksa dalam kasus itu. Bahkan ia juga tak hadir ketika Menteri Kehakiman Ismail Saleh, melalui Kedubes RI di Belanda, memanggilnya, sebelum vonis tetap jatuh. Ketika vonis Menkeh turun, Buyung meradang. "Itu putusan nekat, bisa merendahkan martabat negara kita di dunia internasional," katanya. Menkeh, menurut tim pembela Buyung, mendasarkan putusannya pada Undang-Undang tentang Peradilan Umum - berlaku sejak 8 Maret 1986. Undang-undang itu memberikan kewenangan kepada Menkeh untuk melakukan pengawasan dan penindakan advokat. Tapi pasal 54 ayat 2 undang-undang itu mensyaratkan: wewenang itu hanya bisa dilaksanakan Menteri terhadap advokat yang melanggar undang-undang advokat. Ternyata, sampai kini undang-undang advokat tak pernah lahir. Sebab itu, tim pembela Buyung, menganggap skors Buyung itu tidak berdasar hukum. "Keputusan Menteri Kehakiman itu hanya suatu kesewenang-wenangan, tanpa dasar hukum yang sah," kata salah seorang anggota tim pembela, Luhut M.P. Pangaribuan. Selain itu, tim pembela juga menganggap Menkeh menyalahgunakan wewenangnya dengan menjatuhkan skors itu. Sebab, menurut pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Agung, wewenang pengawasan terhadap advokat, yang lagi bertugas, ada pada Mahkamah Agung. Bukan pada Menkeh. "Jelas, keputusan skors itu merupakan suatu perbuatan penguasa melawan hukum," ujar Luhut. Menurut Luhut, gugatan Buyung itu sepatutnya ditanggapi secara positif. Sebab, upaya gugatan, yang terhitung baru, cukup penting bagi jaminan peradllan yang bebas, Juga kehormatan profesi advokat. "Setiap advokat harus mempertahankan harkat dan martabatnya bila profesinya direndahkan instansi lain di forum mana pun," kata Luhut. Buyung, yang sedang memperslapkan disertasinya tentang "Sejarah Konstitusi Indonesia", menganggap gugatannya itu sesuatu yang prinsipiil bagi kehidupan negara hukum. "Kekuasaan apa pun iuga tidak bisa begitu saja menjatuhkan putusan tanpa dasar hukum yang sudah ada lebihdulu. Apalagi tanpa suatu peradilan terbuka," ujar ayah empat orang anak itu. Hanya saja, mengapa baru kini - setelah skors tinggal sebulan - Buyung menggugat Menteri Kehakiman? Menurut Buyung, keterlambatan itu hanya soal teknis saja. Misalnya, surat kuasa bagi tim pembelanya harus ditandatanganinya di depan notaris di Belanda. Setelah itu, salinannya harus pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi terlepas dari keterlambatan itu, katanya, ia perlu menggugat untuk memperjuangkan soal yang prinsipiil tadi. "Nah, kini tugas pengadilan untuk mengoreksi kesalahan prinsipiil tadi, agar tak terjadi lagi," ujar Buyung, berapi-api. Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Umum, Roesli, menganggap gugatan bila Buyung itu sebagai hal yang biasa saja. Sebab itu, sampai pekan lalu pihaknya belum mengadakan pembicaraan khusus untuk menghadapi kasus itu. "Ini 'kan negara hukum. Tiap orang yang merasa tidak puas berhak menggugat. Tinggal kita lihat saja nanti prosesnya di pengadilan," kata Roesli, yang menganggap upaya Buyung itu semacam coba-coba saja. Happy Sulisyadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus