Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis kacang ahong

Pn pontianak membebaskan ahong, terdakwa penyelundupan kacang kedelai. kasus yang pertama, pemalsuan dokumen impor dianggap bukan penyelundupan. ocut, pembantu ahong, divonis 10 bulan. vonis tersebut dicurigai.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH vonis kontroversial dilahirkan Pengadilan Negeri Pontianak, Senin, dua pekan lalu. Majelis hakim yang diketuai Soetrisno, tak disangka, membebasmurnikan "orang kuat" di kota itu, Gou Bak Hong alias Ahong, 26 tahun, dar tuntutan penyelundupan. Berdasarkan voni bebas itu hakim juga memerintahkan semu. barang bukti, yang disita, dikembalikan kepada Ahong. Padahal, di persidangan Ahong terbukti memasukkan 123 ton kacang kedelai, 4 ton lebih kacang tanah, dan 2 ton kacang hijau - tiga jenis komoditi yang hanya boleh diimpor Bulog dari Singapura. Tapi di dokumen pemasukan barang, semua barang, yang terkena larangan impor itu ditulisnya hanya sebagai 9,8 ton kacang merah."Kasus itu bukan kejahatan tapi hanya pelanggaran yang bisa didenda koreksi tanpa harus ke pengadilan," kata Soetrisno kepada TEMPO. Vonis itu tentu saja mengagetkan aparat kejaksaan - sebelumnya Ahong dituntut Jaksa Amir Zainuddin dengan hukuman 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 10 juta. Sebab, sudah belasan tahun, sejak perkara penyelundupan 902 disidangkan, hakim-hakim, termasuh Soetrisno - ketika itu hakim Jakarta memvonis penyelundupan administrasi semacam itu sebagai kejahatan. Tapi kini, rupanya, Soetrisno berpendapa lain. Kendati dokumen impor Ahong tidak sesuai dengan barang yang masuk, hakin, tidak menganggap dokumen itu palsu. "Jaksa menuduh sebagai dokumen palsu padaha, dokumennya asli. Hanya isi, jumlah, dar jenisnya dibuat lain," kata Soetrisno. Soetrisno memakai keerangan saksi ahl dari Bea Cukai, Dwicahyono - yang ternyata meringankan Ahong - sebagai pertimbangan vonisnya. Dwicahyono, entah mengapa, di persidangan mengatakan bahwa kasus Ahong itu sebenarnya bisa diselesaikan melalui denda koreksi. "Bukan penyelundupan. Penyelundupan itu kalau barang yang dimasukkan tanpa dilindung dokumen sama sekali," katanya. Keterangan itu, tentu saja, diprotes kera oleh Jaksa Amir Zainuddin. Sebab, pihak kejaksaan sudah lama mempunyai sikap tentang denda damai atau denda koreksi itu. Denda koreksi hanya dikenakan untuk kesalahan dokumen impor yang tidak sengaja. Misalnya jenis barang sama tapi tipe berbeda. Tapi bila kesalahan itu disengaja, misalnya di dokumen pralon tapi barangnya video, jelas kejahatan. Contohnya, ya kasus Ahong tadi. "Coba berpikir realistis sedikit. Ahong sengaja membuat dokumen seakan-akan barangnya kacang merah, padahal isinya kacang kedelai. Apa itu bukan kejahatan?" kata Amir. Seorang saksi utama dalam perkara itu karyawan perusahaan importir, PT Paprika Utama, Ocut, di sidang membenarkan ia dihubungi berkali-kali oleh Ahong untuk mengurus pemasukan kacang kedelai itu atas nama perusahaannya. "Sampai lima kali dia datang pada saya," ujar Ocut. Akhirnya Ocut bersedia mengurus barang itu asal saja Ahong membereskan urusan dengan Bea Cukai. Begitulah, September lalu, dengan modal Rp 11 juta, Ocut mengurus PPUD (Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai) barang Ahong, yang masuk pelabuhan Pontianak dengan memakai fasilitas impor PT Paprika. "Tiga juta rupiah saya berikan pada oknum Bea Cukai," ujar Ocut. Di PPUD, OCUt menulis seakan-akan barang itu hanyalah kacang merah seharga Rp 7,5 juta - dari nilai barang tidak perlu melalui SGS. "Padahal, harga keseluruhan barang yang masuk itu Rp 80 juta," katanya. Ternyata, pihak Bea Cukai Pontianak menahan barang itu dan memerintahkan untuk diekspor kembali (reexport). Tapi, pada saat itulah Ahong muncul. Ia dengan "caranya" sendiri berhasil membereskan urusan Bea Cukai itu, dan mengeluarkan barang-barangnya dari pelabuhan. "Barang itu bisa dikeluarkannya karena ada nota dari Pak S.," kata direktris PT Paprika Utama, Nyonya Yana Ardiana Rusly, yang mengaku tidak tahu-menahu permainan Ahong dan Ocut. Pak S. itu menurut sumber TEMPO, tak lain dari Kepala Inspeksi Bea Cukai di Pontianak. Tetapi, anehnya, di persidangan terpisah, yang diketuai Prawoto, Ocut, yang hanya membantu Ahong, justru divonis hakim dengan hukuman 10 bulan penjara dalam masa percobaan setahun. Sebab itu, pihak Kejaksaan Pontianak mencurigai "ada apaapa" di balik vonis tersebut. "Ada pihak luar yang menekan hakim untuk membebaskan Ahong," ujar sumber TEMPO di situ. Hakim Soetrisno membantah keras vonisnya dipengaruhi pihak luar. "Kalau ada info orang luar ikut campur, ikuti saja sidang itu sampai selesai," ujarnya. Sementara itu, Ahong sendiri kini sulit dihubungi. Ia konon sibuk mengurus kacang-kacangnya yang dikembalikan hakim kepadanya. "Saya sibuk sekali minggu ini," katanya. Bunga Surawijaya (Jakarta) dan Djunaini K.S. (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus