Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lp: kembali ke penjara

Prof.dr. bachtiar agus salim, sh, guru besar fh usu, menganggap sistem penjara justru lebih bermanfaat & sesuai dengan keinginan masyarakat dibanding sistem lp. sebab lp tak membuat penjahat jera.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISTEM pemasyarakatan untuk para narapidana, yang sudah berlangsung hampir seperempat abad, digugat. Prof. Dr. Bachtiar Agus Salim, S.H., ketika dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Sumatera Utara (USU), Selasa pekan lalu, menganggap sistem penjara -- yang selama ini dianggap tak manusiawi -- justru lebih bermanfaat dan sesuai dengan keinginan masyarakat dibanding sistem pemasyarakatan. Bachtiar bahkan menilai sistem pemasyarakatan itu sebagai memanjakan para napi. "Para penjahat seperti dielus-elus saja," katanya. Menurut Pembantu Rektor I USU itu, kejahatan para napi itu seharusnya dibalas dengan hukuman yang bisa membuat bekas penjahat itu jera. "Pembalasan semacam itu sampai kini masih menjadi keinginan masyarakat," kata ayah empat anak itu. Pendapat Bachtiar yang melawan arus itu tentu saja menarik. Sebab, selama ini, lembaga pemasyarakatan justru sering dikritik karena dianggap belum bisa mengubah citranya dari penjara. Prof. Soerjono Soekanto dari FH UI, misalnya, berdasarkan sebuah penelitian menangkap kesan responden bahwa "suasana LP itu sangat ketat sehingga tampaknya seperti tempat hukuman belaka." Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Dr. Bambang Purnomo dari FH Universitas Gadjah Mada. "Bangunan LP masih berbentuk rumah penjara masa lalu, dan napi karena dianggap berbahaya untuk orang lain ditempatkan secara tertutup dan tidak dapat melihat dunianya lagi," kata Bambang, yang melakukan penelitian terhadap puluhan LP untuk disertasi doktornya. Ironisnya, tambah Bambang, orang di luar disuruh percaya saja bahwa di dalam tembok penjara itu terdapat sesuatu yang indah: berupa misi pembinaan manusia yang manusiawi (TEMPO, 3 Januari 1987). Kesimpulan Bachtiar, 55 tahun, bertolak belakang dengan pendapat kedua pakar di atas. Padahal, untuk kesimpulan itu, Bachtiar, dengan bantuan mahasiswanya, pada 1986, juga melakukan penelitian, yang mengantarkannya ke gelar doktor -- sebelum dikukuhkan jadi guru besar USU. Dari 99 responden, yang berpartisipasi dalam penelitian itu, sebagian besar (38,46 persen) menjawab pemberian pidana lebih berat adalah satu-satunya penyelesaian masalah kejahatan. Hanya 34,07 persen yang berpendapat sebaliknya dan sisanya ragu-ragu. Sebagian besar (45,05 persen) responden meminta pidana penjara harus bisa membuat penjahat jera. Dan 91,21 persen responden setuju, agar anasir punitive (penghukuman, diutamakan dari anasir reformatif. Berdasarkan itu Bachtiar berasumsi bahwa hukuman penjara akan lebih bermanfaat karena bisa membuat para napi mencapai rasa bebas dari kesalahannya. Di lain pihak, masyarakat puas karena seorang napi betul-betul sudah mendapat ganjaran yang setimpal. Bachtiar lebih yakin akan pendapatnya karena 79,12 persen menjawab bahwa pidana penjara masih diperlukan. Hanya 10,99 persen yang menyatakan tidak. Selebihnya ragu dan tidak tahu. "Kesimpulannya, pidana penjara harus digunakan terus dan tidak perlu digantikan dengan sistem LP," kata Bachtiar. Selain itu, Bachtiar mengkritik karena sistem LP sekarang ini mencampurbaurkan di satu tempat semua napi, baik yang bekas penjahat kelas berat maupun kelas ringan. "Kan nggak enak, seorang penjahat ringan disatukan dengan penjahat yang sudah keluar masuk LP," katanya. Seharusnya, menurut Bachtiar, penjara itu dibagi setidaknya dalam tiga tingkatan: keras, sedang, dan lunak. Sistem LP sekarang ini, katanya, baru tergolong perangkat penjara yang lunak. Seorang terpidana berat, menurut Bachtiar, seharusnya dimasukkan dahulu ke penjara keras. Bila ada perbaikan, baru boleh dipindahkan ke tingkat sedang. Dan kalau sudah mendekati masa bebas, barulah napi itu bisa dimasukkan ke dalam LP, yang ada sekarang ini. "Dengan demikian, ada proses yang memaksa napi merasakan untuk apa dia dihukum," kata Bachtiar. Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Dirjen Pemasyarakatan, menghargai penelitian Bachtiar. "Kenyataannya memang seperti itu," katanya kepada TEMPO. Lopa sangat setuju dengan ide Bahctiar untuk memisahkan napi bekas penjahat berat dan ringan. Hanya saja, sayangnya, seperti juga dikatakan Bachtiar, rencana itu memerlukan biaya besar. "Makanya, mereka terpaksa dicampur," kata Lopa. Bagaimana dengan usul agar kita kembali ke sistem penjara dengan pembalasan? "Ini soal yang tidak habis-habisnya nanti, dan bisa jadi preseden. Itu tak baik untuk negara kita," kata Lopa. MS, Mukhlizardy Mukhtar (Medan) dan Muchsin Lubis (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus