Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kapankah mendung gelap berarak ...

Mick jagger pentas di stadion utama senayan, jakarta. di luar stadion terjadi kerusuhan, sebuah sepeda motor dibakar dan 90 mobil rusak. hampir di setiap pertunjukan musik di indonesia terjadi kerusuhan.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDUNG menggayut di atas Stadion Utama Senayan, Ahad sore kemarin. Mick Jagger, setelah satu jam lebih menggetarkan hampir 60 ribu penontonnya, mulai memekikkan Angie, yang diciptakannya pada 1973 -- tentang hubungan cinta yang pekat. Mick melolong: Angie, oh, Angie, kapankah kawanan mendung gelap itu berarak pergi .... Tak ada awan yang pergi, Mick. Seiring dengan lolongan itu, dari balik dinding stadion, persisnya dari arah Parkir Timur Senayan, justru asap tebal menambah kelam udara sore yang memberat. Asap itu bersumber dari sejumlah ban mobil yang dibakar. Agaknya, stadion tempat bermain bola itu telah dikepung kerusuhan. Ratusan anak-anak muda, ya, mereka massa rock, telah mengamuk. Dengan brutal mereka membabi buta. Petugas keamanan dengan senapan otomatis yang dikokang lantas menggiring perusuh ini ke arah pintu masuk Parkir Timur yang berdekatan dengan Balai Sidang. Pembakaran ban tadi memang merupakan babak akhir dari kekacauan di luar stadion. Sebelumnya, sekitar setengah jam setelah pertunjukan yang terlambat itu dimulai Mick Jagger naik panggung pukul 15.12 WIB -- keganasan telah menyala. Sebuah sepeda motor dibakar, tak kurang dari 90 mobil rusak. Kaca-kacanya pecah kena lemparan batu dan bata. Sebagian penyok di bagian atap atau pintu atau kap mesin karena diinjak-injak. Sejumlah petugas terluka kena lemparan batu bata. Sejauh itu tak ada peluru yang dilepaskan. Mereka yang mengamuk itu adalah massa tak berkarcis tapi memaksa untuk dibolehkan masuk stadion. Rupanya, mereka hendak menyusul sebagian gerombolan tak berkarcis yang berhasil masuk ke arena pertunjukan. Tapi petugas keamanan sudah tidak mentolerir lagi. Karena yang sudah berhasil masuk tanpa karcis itu bukannya malah gembira. Entah setan dari mana yang merasuki mereka, anak-anak tak tahu diuntung ini merangsek ke lapangan di depan panggung dengan semangat mengamuk juga. Stan Agua kena gasak. Salah seorang petugasnya jadi korban dan dilarikan ke rumah sakit. Kios Coca-Cola pun bernasib sama. Menurut seorang panitia, petugas keamanan -- terdiri dari unsur ABRI dan perkumpulan bela diri -- sejak awal agak lengah. Koresponden BBC di Jakarta, Juliet Rix, yang perlengkapan fotografi, kalung, plus sejumlah uangnya kena rampok, tak segera bisa ditolong. Padahal, penjarahannya berlangsung di lingkar luar stadion, sebelum pertunjukan dimulai. Juga, beberapa penonton yang meloncat dari deretan yang berkarcis Rp 25.000 menuju deretan VIP dengan karcis Rp 50.000, seperti setengah dibiarkan. Bahkan petugas keamanan ini diejek-ejek. Mereka itu, baik berseragam maupun preman, semakin kewalahan menghadapi massa tak berkarcis. Beberapa orang kena pentung, ada yang babak belur diajar. Tapi kerusuhan semakin merajalela. Menurut musikus Mus Mualim, seperti yang dikutip Suara Pembaruan, "Musik rock memang begitu. Penonton jadi rocker. Kalau tidak begitu bukan musik rock." Memang betul, dalam sejarah pertunjukan rock di panggung terbuka di Indonesia, tak pernah berlangsung tertib. Lebih banyak rusuhnya. Pertunjukan grup Deep Purple di Senayan, Desember 1975, umpamanya. Para penonton, waktu itu tidak cukup hanya berjingkrak di tempat. Mereka juga mendobrak roboh pagar besi dan kawat berduri. Mereka menyerbu tempat VIP berharga Rp 7.500 dan saat itu sangat mahal. Ketika lampu-lampu dipadamkan untuk memulai pertunjukan, sejumlah penonton membakar kertas dikibar-kibarkan lalu dilemparkan. Sebagian melemparkan rokok yang masih menyala. Bahkan ada pula yang menyulut mercon. Api bertebaran dan kegaduhan terjadi. Padahal, pasukan petugas keamanan sudah dilengkapi dengan senjata dan anjing herder. Toh tak berdaya. Penonton rock yang nekat dan tak terkendali tidak hanya pada pertunjukan dengan grup dan bintang asing. Pada pesta musik Summer 28 di lapangan terbuka Ragunan, Pasar Minggu, 18 Agustus 1973, panitia menunda kepulangannya karena takut dicegat sebagian penonton yang masih marah. Pertunjukan ricuh dan massa memblokir jalanan. Pesta musik terbuka Aktuil 75, yang berlangsung 11 Mei 1975 di Lapangan Merdeka, Medan, juga dilanda amuk tak terkendali. Polisi yang sempat main belantan dibalas oleh para perusuh. Kemudian pertunjukan Kemarau 75 di Lapangan Gedung Sate, Bandung, 31 Agustus 1975, dikacaukan penonton kendati tak sampai separah pergelaran band-band rock pribumi sebelumnya. Tapi tidak hanya pertunjukan rock yang menawarkan kemungkinan huru-hara, memang. Di Stadion Teladan, Medan, September 1979, dipergelarkan pentas musik untuk keluarga, khususnya untuk anak-anak. Bintang cilik yang direncanakan tampil, Adi Bing Slamet. Pertunjukan ini akhirnya dibatalkan karena ada bencana. Sembilan anak tewas terinjak-injak menjelang masuk stadion. Artinya, menuding pergelaran rock sebagai biang kerusuhan memang tak sepenuhnya tepat. Jangan salahkan rock. Kerusuhan biasanya terjadi karena massa terpancing oleh letupan-letupan kecil. Misalnya sikap petugas keamanan yang kelewat keras atau personel panitia pelaksana yang terlalu tengil dan sok. Pada pentas Mick Jagger yang lalu, persoalan ditambah dengan mahalnya harga karcis dan besarnya niat untuk menonton si mahabintang kelas dunia itu. Sejumlah orang datang ke Senayan memang dengan niat untuk menjebol penjagaan. Lagi pula, menurut pengamatan beberapa orang, penggemar Mick Jagger di Jakarta ini sebagian besar golongan menengah ke bawah, yang gelisah oleh impitan hidup sehari-hari dalam persaingan gaya metropolitan. Maka, seperti kata Penyair Rendra, yang juga menonton di hari Minggu petang itu, "Mereka menjadi barisan anak-anak mastodon yang marah." Karcis pementasan ini memang kelewat mahal. Tak kurang dari Bill Graham dan bahkan Mick Jagger sendiri yang mengatakan tiket terlalu mahal untuk kondisi Indonesia. Dari 122.325 tiket yang terdaftar pada dinas pajak Pemda DKI, hanya sekitar 40 ribu yang terjual -- menurut humas panitia Sys NS. Dan pembagian kelas sampai tiga golongan karcis, menurut beberapa pengamat, tidak lazim untuk pergelaran rock di tempat terbuka. Musik rock sendiri tidak menimbulkan kerawanan, apalagi kalau bermain di sebuah gedung, umpamanya. Persoalan timbul karena sistem pengelolaan pertunjukan dan sikap petugas lapangan yang kurang tepat menghadapi barisan massa dengan potensi ledakan yang tinggi. Dan Mick sendiri membantah pernyataan bahwa gairah musiknya seiring dengan kekerasan. Ia mengatakan, "Saya lebih merasakannya sebagai gairah seksual daripada luapan untuk melakukan apa yang disebut sebagai kekerasan, seperti menghantam jendela atau membetot orang lain." Aroma seks itu memang telah dinyalakan Mick di panggung. Bukan melulu oleh asosiasi lirik-lirik lagunya, seperti dalam Start Me Up (1981) atau Honky Tonk Wowen (1969). Tapi juga oleh gerakan-gerakan sugestif Mick, antara lain, dengan tingkahnya seolah-olah mencumbui rekannya di panggung. Lalu oleh goyangan para vokalis pengiringnya yang cukup sensual. Dan seperti menegaskan sikapnya, satu dari tiga topi yang dikenakan Mick sore itu -- yang berwarna hitam -- bertuliskan "sex" di bagian depannya. Para pendukungnya, seperti Jimmy Ripp (gitar), Joe Satriani (gitar), Simon Phillips (drum), Doug Wimbish (bass), dan Suzie Davis (keyboard), kompak menyokongnya. Selebihnya, semuanya adalah komoditi. Di sini, suguhan itu dikemas dalam warna turistik. Mick dan konco-konconya mengenakan kostum seperti lazimnya para wisatawan asing yang berkeliaran di Bali. Mick mengenakan celana panjang ketat bermotif kotak-kotak warna-warni seperti hendak ke pantai, lalu kaus oblong kuning lusuh, setelah blaser kuning mengkilapnya ia tanggalkan seusai lagu kedua. Sementara lainnya bercelana pendek, sepatu kanvas, kaos oblong, dengan aksesori di sana-sini. Bagian belakang panggung digayuti warna-warni tenunan Bali. Semua itu ternyata klop dengan warna musik The Rolling Stones dan nomor-nomor hasil karier solo Mick yang digenjot sore itu. Inilah komoditi yang mahal. Untuk mendatangkan Mick Jagger di Senayan, konon perlu dana sekitar Rp 3 milyar. Ono Promotion sebagai tuan rumah, kabarnya bernasib tak sedap. Sebuah sumber mengatakan, seperti biasa pertunjukan akbar ini rugi. Konon bisa Rp 1 milyar. Dan panitia menghadapi tuntutan hukum dari sebagian penonton yang mobilnya poranda. Bisa dimaklumi kalau Rini Noor Fatah, Direktris Ono Promotion, menjadi bungkam. Ia lebih suka membenamkan diri di kamar. Bill Graham, bos tertinggi dari Bill Graham Present, perusahaan yang mengatur pertunjukan keliling Mick Jagger, menampilkan sosok yang lain. Lelaki keturunan Yahudi kelahiran Jerman 1931 ini tak segan-segan membantu anak buahnya memunguti sampah yang dilemparkan sebagian penonton ke panggung. Sembari tetap menyesalkan mengapa orang-orang itu melempar-lempar ke panggung, Bill berkata, "Kami harus belajar mengenai orang Indonesia, tapi mereka mesti belajar mengapresiasi rock 'n roll. Bagi Bill, yang selama ikut sibuk di lapangan itu mengenakan celana pendek dan sepatu kanvas, kerja samanya dengan promotor Indonesia kali ini lebih banyak sebagai pembimbing daripada menyerap ilmu. "Kalau di lain tempat biasanya kami belajar, di Jakarta ini mesti menjadi guru," katanya. Sebagai guru dibutuhkan kesabaran yang tinggi menghadapi publik dan promotor. "Ono belum berpengalaman menggelarkan konser rock sebesar ini," katanya lagi. Itu sebabnya, setibanya di Jakarta, Bill mendatangkan 11 kru lagi dari kantor pusatnya di San Francisco, AS. Ini untuk membantu 42 orang kru yang sudah diajaknya berkelana mengikuti pergelaran Mick Jagger selama di Australia. Pelajaran apa yang dipetik di sini? Bill menyebut soal harga karcis. Kata Bill, "Kalau tahu harga itu terlalu mahal buat kalangan berpenghasilan rendah, mestinya bisa diadakan tiket yang lebih murah." Pengeluaran yang besar ditutup dengan sponsor. Bill masih punya kritik. "Secara pribadi saya tidak bisa menerima terjadinya pemukulan oleh petugas keamanan terhadap penonton yang loncat pagar atau mencoba naik panggung. Bukankah mereka itu cukup diamankan saja?" katanya. "Kalau hal itu tetap dilakukan, saya tak akan pernah mau kembali ke sini." Untuk sementara, mungkin itu lebih bagus, Bill. Mohamad Cholid dan Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus