Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di semarang ganang menang

Sengketa tanah di desa Tawang Rejosari, Semarang Barat, seluas 25 hektar dimenangkan Ganang Ismail, putra gubernur ja-teng, ismail. sengketa memasuki babak kedua, sementara pembangunan rumah lancar.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANANG Ismail, putra Gubernur Jawa Tengah, akhirnya memenangkan sengketa tanah seluas 25 hektar tanah di Semarang Barat, yang kini ditaksir berharga sekitar Rp 25 milyar. Pengadilan Negeri Semarang, yang mengadili kasus itu, Kamis pekan lalu, memutuskan bahwa areal perumahan kelas menengah itu sah milik Ganang dan karena itu sertifikat tanah, yang dimiliki penggugat, Direktur Utama PT Pondok Hijau Indah (PHI), Edhy Setiawan Wiroatmodjo, dinyatakan batal. Sengketa tanah ini sempat menarik perhatian masyarakat. Sebab, tergugat Direktur Utama PT Puri Sakti Co. (PSC), Dwi Setyo Wahyudi, tak lain dari putra kedua Gubernur Jawa Tengah, Ismail. Selain itu, kuasa penggugat, pengacara O.C. Kaligis, Mei lalu, sempat membuat ramai karena menggiring bekas penggarap tanah di Desa Tawang Rejosari, Semarang Barat, itu ke DPR. Dan para petani itu mengaku telah menjual tanah mereka pada PHI, jauh sebelum diminta menandatangani jual beli baru dengan PSC. Menurut Edhy, PHI membeli tanah itu dari para penggarap pada tahun 1982. Jual beli, yang disahkan lurah dan camat setempat itu, dan belakangan, dikukuhkan pula dalam bentuk sertifikat hak milik atas nama Noto Soewito dan Suhardi Hadisurya yang namanya dipakai Edhy untuk sertifikat itu. Tapi, kemudian, rencana PHI membangun perumahan di atas areal itu gagal karena permohonan izin lokasinya tak kunjung turun dari Pemda. Sebab itu, April 1984, Edhy minta bantuan Ganang, yang kebetulan putra gubernur, dan sama-sama bergerak di bidang real estate. Imbalannya, Ganang akan diberi komisi sekitar Rp 125 juta. Tapi dua bulan kemudian, Ganang menaikkan komisi itu menjadi Rp 1,7 milyar. Karena PHI tak sanggup, Ganang menyarankan agar tanah itu dijual saja kepadanya. Edhy menolak. Sengketa muncul antara kedua pengusaha muda itu karena, ternyata, PSC, 23 Juni 1984, memperoleh izin lokasi dan pembebasan tanah seluas 90 hektar -- termasuk tanah 25 hektar tadi -- dari Gubernur Ismail di lokasi itu. Pihak Agraria setempat pun menyusul membatalkan sertifikat tanah yang dipegang PHI. Berdasarkan itu Ganang membangun perumahan mewah di atas tanah, yang kini dikenal dengan Perumahan Puri Anjasmoro. Akibatnya, Edhy menggugat Ganang, PSC, dan Agraria ke pengadilan. Ia menuntut pengembalian tanah atau ganti rugi Rp 25 milyar. Ganang membantah semua cerita Edhy tersebut. Menurut Ganang, sengketa tanah itu sudah diurusnya mulai tingkat Kota Madya, Provinsi, sampai ke Depdagri. Hasilnya, ya, pembatalan sertifikat PHI itu. "Di sana semua 'kan ada ahli-ahli hukumnya. Tak mungkin mereka membuat keputusan yang salah atau memihak, hanya karena saya anak gubernur," kata Ganang (TEMPO, 4 Juni 1988). Tanah itu, kata Ganang, sudah dibeli PSC dari bosnya Edhy secara sah dan sesuai dengan prosedur. "Saya berhubungan dengan bosnya, Edhy itu 'kan cuma makelar," ujarnya. Sebab itu, Ganang menggugat balik Edhy, untuk membayar ganti rugi Rp 34 milyar karena telah mencemarkan nama baiknya. Di persidangan, menurut hakim, Ganang memperoleh tanah negara, yang semula berupa hak eigendom (beralaskan hak Barat), tersebut melalui panitia pembebasan tanah. Untuk tanah, yang diklaim PHI, menurut hakim, sebenarnya sudah pula diselesaikan Ganang dengan sejumlah ganti rugi kepada pemiliknya, sesuai dengan sertifikat, Noto Soewito dan Suhardi Hardisuryo. PHI sendiri ternyata tak bisa menunjukkan sertifikat tanah yang atas namanya. Berdasarkan itu, majelis hakim yang diketuai Nyonya P. Sijabat Sihotang menolak gugatan PHI. "Penggugat terbukti tak pernah membeli dan membebaskan tanah itu," kata hakim. Sebab itu pula sertifikat tanah, yang dipegang PHI, dinyatakan tak berkekuatan hukum alias cacat. Sebaliknya, hakim menghukum PHI membayar ganti rugi atas pencemaran nama baik sebesar Rp 300 juta kepada Ganang. Edhy tentu saja tak puas atas putusan itu, dan menyatakan banding. Ia tetap bersikukuh telah membeli tanah itu dari para penggarap secara adat. Hanya saja karena Edhy bersengketa dengan Ganang, belakangan, tanah itu di sertifikat diatasnamakannya kepada "orang-orang berpengaruh" di daerah itu -- Nyonya Ponirah, Noto, Suhardi, dan tiga orang lainnya -- seolah-olah pemiliknya. Hanya saja, belakangan, katanya Noto membelot, menyerahkan tanah tersebut kepada lawannya. "Padahal, saya sudah memberinya uang Rp 35 juta," ucap Edhy. Sebaliknya, Ganang tentu saja menyambut gembira putusan hakim itu. Kemenangan itu, katanya, tak ada sangkut-pautnya dengan nama ayahnya. "Dengan putusan itu berarti apa yang saya lakukan selama ini terbukti benar," ujar Ganang. Sengketa tampaknya akan memasuki babak kedua. Tapi apa pun yang terjadi di pengadilan, PSC kini telah membangun sekitar 700 rumah di Puri Anjasmoro itu dari rencana 4.000 buah rumah. Lebih dari 600 rumah itu kini sudah terjual kepada penghuni dengan harga Rp 30 juta sampai Rp 70 juta.Happy S. dan Bandelan Amarudin (Yogkarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum