SETYO, bekas Lurah Grogol di Jakarta Barat, pekan,lalu menjadi lurah pertama yang dipraperadilankan. Ia dituduh Pengacara O.C. Kaligis secara sewenang-wenang menahan Djuliawan selama 10 hari di rumahnya cuma gara-gara soal utang-piutang. Lebih dari itu, tuduh Kaligis, petugas-petugas hansip yang disuruh menjaga Setyo malah memukuli korban. Namun Hakim A. Halim Massali, yang mengadili kasus itu di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam sidangnya Sabtu pekan lalu menolak permohonan Kaligis itu. Sebab, sesuai hukum acara (KUHAP), menurut hakim, selaku lurah H. Setyo bukanlah instansi yang berwenang menahan. Sebab itu pula ia tidak bisa dipraperadilankan. "Perkara penahanan oleh lurah itu tidak termasuk ruang lingkup praperadilan. Seharusnya ia dilaporkan ke polisi, karena melakukan perampasan kemerdekaan, yang merupakan pidana biasa," ujar Halim, yang mengaku bahwa kasus Setyo adalah kasus pertama seorang lurah dipraperadilankan. KASUS unik itu bermula dari perkenalan Djuliawan, 38, dengan istri Setyo Nyonya Suyatmi, sekitar Februari lalu. Ketika itu Suyatmi, pedagang kayu, sepakat bekerja sama dengan Djuliawan. Suyatmi mencari kayu dan Djuliawan bertugas menjualnya ke toko-toko bahan bangunan. "Saya mengambilnya berkubik-kubik, setiap kali sekitar satu truk dengan harga Rp 1 juta," cerita Djuliawan ke TEMPO. Kerja sama itu, menurut Djuliawan, semula berjalan lancar sampai Juli lalu. Setelah itu, katanya, ia menunggak pembayaran ke Nyonya Suyatmi sebanyak Rp 20 juta. "Tapi saya berusaha mengembalikan, karena itu saya datang ke rumah Nyonya Suyatmi," tutur Djuliawan. Tapi kedatangannya ke rumah Suyatmi, 19 September lalu, menjadi malapetaka baginya. Ia mengaku, ketika itu tidak dibenarkan pulang oleh Setyo. "Saya dikurung selama seminggu. Kalau mau mandi atau makan saya dikawal seorang hansip," ujar Djuliawan. Barulah malam 28 September, katanya, ia berhasil mengelabui hansip yang menjaganya dengan berpura-pura minta ditemani membeli mi ke sebuah warung. Ketika hansip itu lengah, ia berhasil meloloskan diri lalu bersembunyi di rumah seorang saudaranya di Sunter. Dari situ ia menghubungi pengacara untuk mengurus kasusnya itu. Setelah merasa aman, Djuliawan mencoba keluar dari tempat persembunyian-nya. Tapi, rupanya, Setyo masih membuntutinya. Begitulah, 31 Oktober lalu, ia tertangkap kembali oleh lurah itu. Semalam ditahan di rumah Setyo, ia diserahkan ke Polsek Pal Merah keesokan harinya. Entah kenapa, sampai saat perkaranya disidangkan di praperadilan, ia masih di dalam tahanan polisi. H. Setyo, yang kini dimutasikan menjadi lurah di tempat lain, membantah keras telah menahan Djuliawan di rumahnya. "Yang benar ia dititipkan istrinya ke sini, karena merepotkan keluarganya. Dan di sini ia tidur bersama anak lelaki saya, dan bebas keluar masuk rumah. Malah, kalau ada tamu yang datang, ia ikut ngobrol seperti layaknya tuan rumah. Bagaimana bisa saya dikatakan menahan dan memukulinya?" ujar Setyo. Malah, menurut Setyo, ia bersama istrinya telah menjadi korban penipuan Djuliawan yang semula adalah warga dan tetangganya. "Ia mengaku-ngaku sebagai usahawan besar," katanya. Akibat bual Djuliawan pula, katanya, istrinya yang bekerja di sebuah perusahaan kayu tertarik memberi piutang sehingga mencapai Rp 20 juta lebih. "Setelah itu ia mencoba kabur dan belakangan saya dengar banyak orang yang menjadi korban penipuannya," tambah Setyo. Anehnya, Setyo dan istrinya tidak berniat menuntut Djuliawan di pengadilan. "Sebab kami menunggu itikad baiknya melunasi utang itu," kata Nyonya Suyatmi menambahkan. Selain latar belakang kasus itu unik, sidang praperadilan yang berlangsung pekan lalu itu mengundang banyak tanda tanya. Ketika sidang dibuka, Kaligis meminta kliennya dilepaskan hakim dari tahanan polisi. Anehnya ketika itu hakim malah meminta Nyonya Suyatmi - H. Setyo dua kali sidang tidak hadir - membawa Djuliawan ke pengadilan. Lho, kok tidak kepada polisi? Tapi, kalau Suyatmi menyanggupinya, mau apa lagi? Benar saja, keesokan harinya Djuliawan sudah bisa hadir di sidang. Tapi, yang mengagetkan, di sidang hari itu ia mencabut kernbali kuasanya dari Kaligis. "Saya ingin persidangan ini hanya sampai di sini," ujar Djuliawan, yang mengaku pencabutan itu tanpa tekanan siapa pun. Permintaannya itu sempat diprotes Kaligis. Akibatnya, hakim menunda sidang. Dua jam kemudian Djuliawan ternyata berbalik lagi. Kali ini ia meralat pernyataan yang mencabut kuasa kepada Kaligis. "Yang saya maksud hanya mencabut kuasa untuk ganti rugi saja, Pak Hakim," ujar Djuliawan. Hakim Halim Massali pun berubah-ubah. Semula ia merasa yakin bisa mengadili kasus itu. "Sebab pernah instansi lain, kalau tidak salah Garnisun, bisa dipraperadilankan walau bukan instansi penyidik," katanya. Belakangan, setelah 7 kali sidang, ia memutuskan Lurah Setyo tidak bisa dipraperadilankan. Kenapa tidak dari dulu-dulu? "Wah, itu rahasia negara," kilah Halim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini