ISTILAH "prit jigo", yang merusakkan citra polisi, coba mulai dipupus melalui kasus seorang sopir omprengan jurusan Semarang-Gunungpati, Slamet, divonis 8 bulan penjara dalam masa percobaan 2 tahun, ditambah denda Rp 100.000, hanya gara-gara ia mencoba menyuap polisi Rp 1.500 ketika terkena Operasi Zebra. "Perbuatannya itu meresahkan, sebab bisa menimbulkan citra buruk dari masyarakat, seakan dengan uang Rp 1.500 ia bisa terhindar dari perkara pelanggaran," ujar Hakim R. Hoedihardjo di Pengadilan Negeri Semarang. Slamet, 21, yang sehari-harinya 'ngompreng dengan mobil Colt berpelat hitam di daerah itu, menemui hari sialnya Agustus lalu. Hari itu kendaraannya disetop petugas polisi yang lagi melakukan Operasi Zebra. Slamet, yang sudah paham menghadapi situasi begitu, langsung turun dari kendaraannya dan menyerahkan STNK mobilnya. Tapi sebelumnya ia sudah menyelipkan uang Rp 1.500 di surat mobil itu. "Damai saja,Pak, tidak usah ditilang," bisik Slamet kepada petugas yang memeriksanya, Sersan Satu Mujiono. Mujiono, petugas Sabhara yang diperbantukan dalam operasi itu, terbelalak. "Apa maksudnya ini?" tanya Mujiono membentak. Slamet rupanya salah tafsir. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan uang Rp 1.500 lagi. Mujiono, yang tidak suka diperlakukan begitu, segera menghadap komandannya. Akibatnya, Slamet menjadi sopir pertama yang duduk di kursi pesakitan dengan tuduhan menyuap petugas polisi. Jaksa Sumitro, yang membawa perkara itu ke pengadilan dua pekan lalu, menuduh Slamet melanggar pasal-pasal kejahatan penyuapan yang diancam hukuman sampai 15 tahun penjara. "Tindakan terdakwa dapat merendahkan martabat dan merusakkan citra penegak hukum, khususnya Polri," tuduh Sumitro. Apalagi, seperti terbukti di sidang, kata jaksa, perbuatan itu dilakukan Slamet di hadapan khalayak ramai. Tapi Sumitro tidak menuntut hukuman tinggi-tinggi. Tuntutannya hampir sama dengan vonis hakim. "Karena menyuapnya hanya Rp 1.500, ya, saya tuntut ringan saja untuk menjadi pelajaran. Denda Rp 100.000 itu sudah cukup membuat sopir seperti dia pusing," kata Sumitro. Selain terkena hukuman karena menyuap, Slamet juga divonis peradilan tilang dengan denda Rp 45.000, karena mengendarai mobil angkutan tanpa izin trayek, pelat nomor pribadi, dan memakai SIM untuk mobil pribadi. Kapokkah Slamet dengan hukuman percobaan dan denda itu? "Saya akan lebih hati-hati mengajak polisi untuk berdamai," ternyata begitu jawaban sopir muda itu. Ia mengaku setiap hari 'ngompreng di daerah itu dan setiap tertangkap mengajak petugas untuk berdamai. "Sudah berkali-kali begitu, tidak terhitung lagi. Mungkin karena Operasi Zebra petugas kali ini tidak mau berdamai," kata Slamet polos. Sersan Satu Mujiono sangat berang mendengar komentar Slamet itu. "Saya belum sekali pun mau berdamai di jalan raya," kata Mujiono, yang mengaku menindak tegas semua kendaraan yang melanggar dan terjaring Operasi Zebra. Ternyata, bukan hanya Slamet yang ceroboh begitu. Pekan depan, Jaksa Sumitro merencanakan membawa sopir kedua yang mencoba menyuap polisi dalam Operasi Zebra, Warsito Sugiarto. Pengemudi itu dituduh menyuap Sersan Dua Budi Prasongko di Semarang Utara, Rp 3.500, ketika terkena Operasi Zebra. "Penyuapan seperti itu gampang dibuktikan. Sebab, terjadi di depan umum dan ada bukti uangnya," ujar Sumitro yakin. Dan ancaman itu ternyata tidak main-main. Kepala Polda Metro Jaya Soedarmadji, misalnya, mengaku terpaksa mengorbankan beberapa petugasnya yang menyeleweng dalam operasi itu. "Siapa saja yang mencoba pungli akan ditindak. Kalau perlu, pangkatnya diturunkan," kata Soedarmadji beberapa waktu lalu. KI Yusro M.S. (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini