S~EBAGAI mahasiswi fakultas hukum ia memang bingung. Belum lagi guga~tannya atas majalah bulanan Varia Pengadilan (VP) diperiksa pengadilan, dia balik berperang melawan bekas pengacaranya, R. Akbar Lubis dan keempat kawannya. Namun, sebagai artis film yang pernah meraih Diala Citra. Marissa Haque. kelihatannya bertindak lebih tenang. Bersama pengacara barunya, Sudjono dan Julius Rizaldi, I~cha - panggilan akrabnya justru menggugat balik kelima bekas pengacaranya termasuk Akbar. Serangan Akbar ternyata bukan cuma dibidikkan kepada Icha. Rahyono Abikusno, dosen Icha, juga dituding telah menjerumuskan artis cantik sebagai mahasiswinya yang kebetulan memang menjadi klien~ Akbar. Untuk itu, 9 Juni Akbar mengadukan Rahyono ke Polres Jakarta Pusat dan seterusnya ke Ikadin. Gugat-menggugat bermula dari iklan VP yang dimuat majalah Kartini 28 ~Februari 1988. Di situ ditampilkan foto diri Icha, tanpa izin dan sepengetahuannya, memegangi majalah seharga Rp 2.500,00 itu. Icha kemudian memberi surat kuasa kepada Akbar dan keempat temannya pada 22 Maret untuk memperkarakan VP. Gugatan pertama ditujukan kepada Pemimpin Umum VP, R. Soegondo Kartane~gara, dan pemimpin redaksinya, Ali Boediarto. Pemuatan foto itu dianggap perbuatan melawan hukum, atau suatu perbuatan yang bertentangan dengan kelaziman. Maka, atas perbuatan itu, Icha menuntut ganti rugi Rp 15 juta secara tanggung renteng serta menuntut pengasuh majalah itu membuat iklan permintaan maaf di majalah Kartini. Tapi sebelum gugatan it'u dimasukkan ke pengadilan, tergugat Ali Boediarto yang tak lain dosen Icha di Trisakti, pada 14 Mei datang menemuinya dan menyatakan maaf. "Berdasar itu, kami damai, meskipun tidak secara tertulis," kata Icha. Sayangnya, setelah itu Icha tak mengontak Akbar. Dan, rupanya, pihak Akbar tetap meneruskan kasus ini ke PN Jakarta Pusat, 28 Mei 1988. Icha baru menerima gugatan resminya pada 30 Mei. Dari sinilah kasus ini melebar. Akbar dianggap telah menyalahi perjanjian. Surat pencabutan kuasa dibuat tertanggal 5 Juni dengan tembusan ke Ketua PNJakarta Pusat dan Ali Boediarto. Sayang, surat pencabutan itu tak diterima langsung oleh Akbar tapi diterima stafnya, Yulliah, pada 6 Juni. Dengan surat pencabutan itu, Akbar, 29 tahun, merasa tak pernah dihubungi sebelumnya. "Sampai hari ini, melalui telepon pun tak dilakukan Marissa," kata lulusan FH Trisakti 1984 itu. Yang juga menyakitkan adalah kedatangan Icha ke kantornya dan ke PN Jakarta Pusat, didampingi Rahyono. Akbar merasa Rahyono - rekan sealma mater dan saling kenal itu - mendalangi ulah Icha. Akbar menganggap Rahyono menyerobot kliennya. Itu sebabnya Rahyono diadukan ke polisi dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Bagi Rahyono, 32 tahun, tudingan Akbar itu dianggapnya tak berdasar dan terlalu emosional. Sebab, Icha dan suaminya adalah tcman baiknya. Rahyono juga dosen Icha. "Jadi, nggak ada pelimpahan kuasa itu dari Icha buat saya. Nah, gimana bisa Akbar menuduh saya," kata Rahyono. Setahu Rahyono, gugatan Icha itu masih di pengadilan dan yang dicabut adalah kuasanya kepada Akbar. "Secara hukum, ya, mesti Akbar sendiri yang mencabut," katanya. Itu sebabnya, Rahyono juga memukul genderang perangnya. Ia akan menggugat Akbar, yang dianggapnya telah melakukan perbuatan melanggar hukum. "Tuduhan menyerobot klien, tanpa bukti dan pengecekan, jelas mencemarkan nama baik saya," katanya. Untuk itu ia menuntut Akbar memohon maaf. Sementara itu, Icha menyodorkan gugatan baru terhadap Akbar dan rekan-rekannya. Icha menuntut agar mereka minta maaf dan membayar ganti rugi yang cuma Rp 5.000,00. Di samping itu, Icha tak lupa mengakui kesalahannya dalam menulis tanggal surat pencabutan kuasanya. Bulan depan ia akan ujian mata kuliah praktek hukum untuk meraih sarjananya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini