Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upacara sakral Guru Piduka Mebalik Sumpah terpaksa harus digelar di Pura Kaseh, Banjar Kawan, Desa Mas, Ubud, Bali. Upacara sumpah itu diadakan sehubungan dengan kecurigaan warga sekitar terlibat dalam pencurian benda sakral milik pura setempat. Ritual itu digelar seminggu setelah pura ini kehilangan sejumlah pratima atau benda sakral, April lalu.
Aksi pencurian di pura itu diketahui pertama kali oleh Wayan Lantur, juru sapu Pura Kaseh, yang pagi itu tengah membersihkan pura. Ia terkejut melihat pintu tempat menyimpan pratima dalam keadaan terbuka. ”Tapi tidak dibuka paksa,” ujar Nyoman Parwata, Kelian Pemaksan Pura Kaseh. Lalu Wayan Lantur mengajak Made Wena, pengempon (penjaga) pura, memeriksa kondisi sekitar.
Ketika memeriksa, mereka terbelalak menyaksikan sejumlah pratima pura yang tersimpan tak ada lagi di tempatnya. Pencuri yang rakus telah menggasak tujuh buah pratima. Antara lain pratima Mahadewa, Gopelan Ida Bathara Ulundanu, pelinggih merupa singa (patung berwajah singa), pratima Naga Basuki, pratima Rambut Sedana, patung Brahma Wisnu, dan dua buah pengapit jempana (penyangga patung) Brahma Wisnu.
Karena tak ada tanda-tanda perusakan itulah, menurut Parwata, mereka curiga pencurian melibatkan orang dalam. Untuk membuktikan kecurigaan itu, digelarlah upacara Guru Piduka Mebalik Sumpah terhadap semua warga. Ini semacam sumpah pocong yang sering dilakukan di Jawa.
Pencurian benda sakral di sejumlah pura di Bali marak dua tahun belakangan ini. Setelah peristiwa di Ubud, secara sporadis pencurian pratima terjadi di beberapa pura di Gianyar. Di Desa Adat Samplangan, Gianyar, pencurian terjadi di Pura Dalem Koripan.
Sebenarnya, setelah mendengar kabar pencurian ini marak, warga desa sempat melakukan mekemit (berjaga semalam suntuk) di pura. Seperti dilakukan warga Pura Dalem Samplangan. Meski dilakukan penjagaan, pura ini juga tak luput dari sasaran penjarahan. Meski pratima tak sempat dicuri, pembobolnya berhasil membawa sebuah genta dan bajra. Genta adalah perlengkapan untuk memimpin persembahyangan yang dilakukan pendeta Hindu.
Uniknya, secara bersamaan aksi pencurian juga terjadi di Pura Dalem Hyang Api, yang lokasinya berdampingan dengan Pura Dalem Samplangan. Dari tempat ini, dua pratima berbentuk patung dewa-dewi raib.
Menurut Parwata, pencurian pratima mengganggu aktivitas keagamaan di pura ini. Upacara besar yang biasanya dilaksanakan pada hari Soma Kliwon Klurut tidak bisa dilaksanakan seperti biasa. ”Pengempon pura hanya menggunakan banten (sesajen upacara) sederhana,” kata Parwata.
Berdasarkan data Kepolisian Daerah Bali, pencurian benda sakral ini sudah terjadi di 34 pura yang tersebar di beberapa wilayah. Namun jumlah itu diperkirakan lebih banyak lagi. ”Karena tidak semua kasus pencurian dilaporkan masyarakat,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Gde Sugianyar.
Serangkaian aksi pencurian benda sakral ini menemui titik terang dengan ditangkapnya seorang warga negara Italia, Roberto Gamba, awal September lalu. Polisi membekuk warga asing ini setelah memperoleh pengaduan bahwa ia menjadi pengumpul benda sakral.
Roberto ditangkap di sebuah vila di Jalan Bumbuk, Kerobokan, Badung. Di vila ini polisi menemukan 110 pratima berbagai bentuk dan ukuran, sejumlah arca dan keris, serta sekarung uang kepeng. Polisi pun menetapkannya sebagai tersangka penadah pencurian pratima.
Dari keterangan Roberto, polisi mengembangkan kasus ini dan menangkap enam orang yang diduga menjadi penyuplai dan pencuri pratima di sejumlah pura di Bali. Ternyata semuanya orang Bali. Keenam orang itu, I Gusti Lanang Sidemen selaku penyuplai serta I Komang Oka Sukaya, Gusti Putu Oka Riadi, Wayan Eka Putra, Komang Gede Pariana, dan I Gusti Komang Suardika sebagai pencuri. Para pemetik pratima ini beraksi di wilayah Badung, Gianyar, dan Karangasem.
Dari tangan tersangka, polisi juga mengamankan 23 patung suci dan ratusan peralatan upacara, seperti bokor, caratan, nare, dan sangku. Patung suci dan peralatan upacara ini terbuat dari berbagai bahan, seperti emas, perak, dan perunggu berbagai ukuran.
Upah untuk mencuri pratima lumayan menggiurkan. Wayan Eka Putra mengaku mengantongi Rp 14,5 juta selama aksinya di Karangasem. Uang itu dari ”bos”-nya, Gusti Putu Oka alias Aji Tabanan. Gusti Putu selanjutnya menjual pratima curian ini kepada Gusti Lanang Sidemen.
Lanang Sidemen lalu menjualnya kepada Roberto. Harganya bervariasi, mulai ratusan ribu hingga Rp 7 juta, bergantung pada jenis pratima, usia, dan keantikannya. Sidemen sendiri adalah pemilik sebuah art shop di kawasan Gianyar. Diperkirakan perkenalan keduanya telah berlangsung sejak tiga tahun lalu. ”Perkenalan mereka ya dari sini,” kata Kepala Satuan I Direktorat Reserse Kriminal Polda Bali Ajun Komisaris Besar Benny Arjanto.
Namun Roberto, yang ditemui di Polda Bali, membantah jika dikatakan sebagai penadah. ”Saya membeli barang ini baik-baik,” ujarnya. Dia mengaku hanya kolektor barang antik. Dia mengaku tak tahu kalau barang yang dikoleksinya barang curian.
Dari mulut Sideman ini, polisi mengungkap keterlibatan Gusti Putu Oka. Lelaki dengan nama lain Gung Oka ini ditangkap setelah polisi meminta bantuan seorang pelukis Ubud, Joe Mintarja, yang menggambar wajahnya berdasarkan keterangan Sideman. Warga asal Banjar Bakisan, Tabanan, itu disebut Sideman pemasok pratima.
Gung Oka diketahui pernah menjadi transmigran di Aceh. Beberapa tahun silam ia kembali ke Tabanan dan melakoni kerja sebagai pencuri pratima di sekitar Badung dan Karangasem. Ia menjual pratima kepada Sideman Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta per buah.
Menurut keterangan polisi, Roberto sudah mengeluarkan dana Rp 4 miliar untuk membeli pratima itu. Ketika vilanya digerebek, beberapa pratima ditemukan dalam keadaan terkemas rapi. Meski belum bisa dipastikan, ada dugaan barang-barang itu akan dikirim ke luar negeri. ”Sudah terbungkus rapi, tapi tanpa tujuan pengiriman,” ujar Benny.
Polisi masih menyelisik keterlibatan Roberto dalam jaringan perdagangan benda antik ilegal internasional. Polisi telah mengaduk-aduk komputer jinjing Roberto dan menemukan berbagai foto bentuk pratima. Menurut pengakuan Roberto, dia telah melakoni jual-beli barang antik ini selama empat tahun terakhir. Sementara itu, menurut data polisi, kasus pencurian pratima di Bali sudah terjadi sejak 10 tahun lalu. ”Ada kemungkinan sudah banyak pratima terjual ke luar negeri,” kata Benny.
Berdasarkan informasi Roberto, polisi juga menemukan lokasi penimbunan benda sakral curian lainnya di sebuah gudang di Jalan Mertanadi, Kerobokan, Kabupaten Badung. Dari gudang ini, polisi menemukan 16 patung dan sejumlah perlengkapan upacara. Hanya pemilik barang dan penyewa gudang, yang diduga warga negara Prancis bernama Mr Kino, telah lebih dulu kabur. Keterkaitan ini mengarahkan polisi pada dugaan keterlibatan jaringan internasional dalam bisnis jual-beli benda sakral ini.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Bali Ida Bagus Wiyana memandang pencurian pratima bentuk pelecehan terhadap keyakinan umat Hindu. ”Pratima adalah inti dari upacara agama bagi umat Hindu,” katanya. Jika inti dari upacara ini dicuri, bahkan diperdagangkan, tindakan itu tidak bisa dimaafkan.
Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, yang wilayahnya banyak disatroni pencuri benda sakral ini, mengaku tidak habis pikir, pencurian benda sakral seperti ini dilakukan orang Bali sendiri. ”Padahal kita mengenal hukum karma phala,” kata Tjok Ace, panggilan akrab Bupati. Menurut Tjok, kerugian materiil yang diderita belum sebanding dengan kerugian imateriil yang dialami masyarakat Bali.
Pencurian ini juga merepotkan umat Hindu di Bali. Selain merasa terlecehkan, mereka harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk mengembalikan simbol dan kesucian pura, termasuk membuat pratima baru. Pengempon Pura Kaseh, misalnya, harus melaksanakan Ngenteg Linggih Padudusan Alit untuk mengupacarai pratima yang baru. ”Kami membuat pratima yang baru senilai Rp 25 juta,” Sarpa, penduduk Banjar Kawan, menjelaskan.
Namun, menurut Sarpa, biaya yang lebih besar dihabiskan untuk upacara ritualnya, diperkirakan mencapai Rp 200 juta. Upacara ini akan dilaksanakan selama lima hari mulai 17 Januari tahun depan. Tapi persiapan telah dimulai sejak saat ini. Ia mengaku kecewa terhadap perilaku ”saudara”-nya sesama orang Bali yang mencuri pratima. Padahal, ”Harga diri umat dan simbol Hindu tidak bisa diperjualbelikan,” ujarnya.
Ramidi, Wayan Agus Purnomo (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo