Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maling di Jagat Maya

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMAR itu cuma lima kali enam meter. Dari luar terlihat biasa saja, seperti umumnya kamar kos di Semarang. Tapi, di dalamnya, kamar itu lebih menyerupai toko elektronik. Ada laptop terbaru merek Intel Inside, kamera digital merk Pentax, sejumlah tape recorder dan jam tangan merek Bulgarie. Jika dimasukkan ke kalkulator, harga total barang-barang itu menyentuh puluhan juta rupiah. Pemilik barang-barang itu bernama Dudung Torian—bukan nama sebenarnya—seorang mahasiwa semester delapan di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Dudung bukan anak konglomerat, juga bukan putra petinggi birokrasi. Ia hanyalah putra seorang pensiunan pegawai negeri golongan buntut. Jika kemudian ia mampu mengoleksi barang supermewah tadi, itu karena pria berusia 23 tahun ini punya kepandaian khusus: mampu mencuri hingga ke Amerika Serikat. Sampai ke Amerika? Tenang, Dudung tidak perlu pergi ke sana, cukup dilakukan di kamar kosnya. Soalnya, pembobolan kartu kredit milik orang lain itu dikerjakan lewat internet. Bagaimana caranya? "Gampang," sahutnya kepada TEMPO ketika ditemui di kosnya dua pekan lalu. Dudung membuka komputernya dan langsung menuju sebuah domain di Amerika Serikat yang berisi alamat resmi kartu kredit orang-orang di negeri itu. Ia menekan menu Discard. Layar gelap seketika, lalu muncul tulisan Generate Card. Dalam hitungan detik, muncullah ratusan nama yang tercantum dalam Master Card, lengkap dengan nomor kartu kreditnya. Dari situ, dengan enaknya Dudung tinggal memesan barang ini-itu. Saat ditemui, ia tengah menunggu kiriman laptop Pentium III seharga Rp 25 juta dari Amerika. Barang-barang itu akan disetorkannya ke seorang penadah yang satu kota dengannya. Jika tak laku, penadah akan memborongnya. Laptop Pentium III seharga Rp 25 juta tadi bisa tersungkur ke bilangan Rp 5 juta. Dudung juga kerap memesan alat pendeteksi kuman yang masih langka dalam dunia kedokteran Indonesia. Di pasaran, katanya, alat itu berharga Rp 17,5 juta, dijual cuma seharga Rp 5 juta. "Hitung-hitung membantu dunia kedokteran kita," selorohnya sembari tertawa. Di Semarang cukup banyak mahasiswa yang memiliki "keahlian khusus" ini. Aryanto—juga bukan nama asli—punya pengalaman unik. Seminggu setelah memesan barang mewah, ia mengecek emailnya di sebuah warnet. Ia berharap bahwa supermarket tempat barang dipesan akan mengabarkan bahwa barangnya sudah dikirim. Begitu emailnya dibuka, eh, isinya cuma tulisan fuck you. Rupanya, belang Aryanto sudah ketahuan. Kendati berbahaya, Dudung dan Aryanto hingga kini masih asyik dengan keahlian khusus itu. Aparat belum datang membekuk. Walau begitu, ada juga yang nahas. November lalu, misalnya, Polda Jawa Tengah menekuk se-orang mahasiswa yang tertangkap basah membawa barang pesanannya dari se-buah jasa pengantar di Jalan Siliwangi, Semarang. Dari tangannya disita sebuah laptop, sepatu, kaca mata, dan jaket kulit. Aparat di Poltabes Semarang juga membekuk Wahyu Setyo dan Reza, pelajar di sebuah SMU favorit di Semarang, awal Mei lalu, saat keduanya mengambil barang pesanannya: delapan buah kaca mata, empat buah topi, dan tiga tas punggung merk Back Two. Kepada wartawan kedua remaja itu mengaku menekuni "pekerjaan" ini sejak awal Februari dan telah mendulang fulus Rp 8 juta. Saat ini kedua remaja itu sudah dilepas. Loh, kok bisa? "Menurut hukum Indonesia, sebuah kasus baru diproses jika ada pengaduan, barang bukti, dan korban. Kasus ini tidak jelas siapa korbannya," kata Kapoltabes Semarang, Komisaris Besar Halba R. Nugroho. Apalagi hingga saat ini belum ada satu pasal pun dalam KUHP yang bisa menjerat pelaku. Rupanya, pembobolan kartu kredit tak hanya diketahui orang Semarang. Di Yogyakarta, misalnya, sepanjang tahun 2001 ini, Polda DIY telah meringkus lima pembobol kartu kredit. Semuanya mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di kota itu. Mereka ditangkap saat mengambil barang di jasa pengiriman. Barang yang dipesan adalah tongkat golf, teleskop, gitar, dan kaca mata. Seperti di Semarang, kelima tersangka itu sudah dilepas dan hanya dikenai wajib lapor. Menurut Kepala Direktorat Reserse Polda DIY, Komisaris Besar Toto Sunyoto, berita acara pemeriksaan kelima tersangka itu sudah di kirim ke kepolisian di Washington, DC, di Amerika Serikat, tempat barang itu dicuri. "Tapi prosesnya cukup lama," kata Toto. Para pembobol kartu kredit itu, menurut pakar multimedia dari UGM, Roy Suryo, menyebar di Yogya, Semarang, Malang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di Yogya saja terdapat 27 titik yang kerap dipakai untuk melakukan pembobolan. Menurut Mabes Polri, para pembobol itu bekerja sama. "Diperkirakan mereka memiliki jaringan," kata Wakil Kepala Badan Humas Mabes Polri, Brigjen Edward Aritonang. Maraknya para maling di dunia maya itu karena jagat maya Indonesia belum ada aturannya. Undang-undang tentang kejahatan baru diatur pada awal Januari tahun 2002 nanti. Jadi? Agaknya, para maling itu masih punya waktu tanpa takut ditangkap. Wens Manggut, Dwi Arjanto, L.N. Idayani (Yogya), Ecep Suwardani (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus