BIANG masalah bagi Keluarga Cendana bukan hanya Tommy Soeharto, yang kini meringkuk di tahanan Polda Metro Jaya. Ari Haryo Wibowo alias Ari Sigit Soeharto pun sering membuat ulah. Tapi, berbeda dengan nasib Tommy yang masih gelap, Ari kini sudah bisa bernapas lega. Kamis pekan lalu perkara cucu pertama bekas presiden Soeharto itu—dari pasangan Sigit Harjojudanto dan Elsye—sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ari Sigit memang dinyatakan bersalah karena menyimpan 70 butir peluru di rumahnya. Cuma, inilah yang membuat lelaki berusia 27 tahun itu bisa bersorak. Oleh Ketua Majelis Hakim Herry Suwantoro, ia hanya dihukum 2 bulan 22 hari penjara. Ganjaran itu pas benar dengan masa tahanan yang pernah dijalaninya di Polda Metro Jaya dan Rutan Salemba. Jadi, Ari tak perlu menjalani hukuman lagi.
Jangan heran jika putusan hakim itu disambut tepuk tangan puluhan pendukung Ari di pengadilan. Bahkan beberapa lelaki dan perempuan tampak saling berpeluk cium. Dan Ari Sigit pun tampak kegirangan. ’’Saya terima putusan itu, saya terima,’’ kata Ari sambil menebar senyum kepada para jurnalis.
Vonis itu tergolong enteng. Sebab, ancaman hukuman bagi yang menyimpan, memiliki, dan menyembunyikan senjata api atau amunisi secara ilegal sebetulnya sangat mengerikan. Sesuai dengan Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951, ia bisa dihukum minimal 10 tahun penjara, bahkan hukuman mati.
Putusan hakim juga jauh dari keinginan Jaksa Penuntut Umum Surung Aritonang, yang meminta hukuman satu tahun penjara. Tapi, sang hakim bersikukuh telah memutuskan secara adil. ”Lihat saja konstruksi hukumnya dalam persidangan. Jangan melihat siapa yang jadi terdakwa,” kata Herry kepada Maria Hasugian dari Koran Tempo.
Dalam persidangan memang lebih banyak saksi yang mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Hanya satu saksi dari polisi yang benar-benar memberatkan Ari, yakni Mat Rido. Ia yang mengaku menemukan peluru di rumah Ari. ’’Nah, dalam ilmu hukum, kalau hanya ada satu saksi, itu tak kuat,’’ kata Petrus Ballapattyona, pengacara Ari Sigit.
Saksi lain bukan tak ada. Gusti Maya Firanti Noor, bekas istri Ari, misalnya, pernah meng-aku di depan polisi bahwa ia mengetahui suaminya pernah pegang-pegang pistol. Tapi belakangan ia tak mau bersaksi di pengadilan. Akibatnya, kesaksian yang tertulis di BAP menjadi sia-sia karena gampang dibantah terdakwa.
Menurut Ari, pada 1995-1997 ia memang pernah memegang pistol karena ia sedang belajar menembak dengan berbagai jenis senjata. Saat itu kakeknya masih menjadi presiden. Ia biasa berlatih di Setia Waspada Shooting Club milik Pasukan Pengamanan Presiden. Pelatihnya juga berasal dari anggota pasukan tersebut. ’’Tapi senjata dan pelurunya tak pernah saya bawa pulang. Pelurunya saya pakai sampai habis di tempat latihan,’’ katanya kepada Edy Budiyarso dari TEMPO.
Dulu sebetulnya polisi tidak dengan sengaja mengincar Ari. Ia terjerat gara-gara polisi mencari Tommy, paman Ari yang buron karena kasus tukar guling Bulog-Goro. Saat polisi menggeledah beberapa rumah di kawasan Cendana, mereka menemukan tas berisi 70 butir peluru kaliber 9 milimeter dan 3,57 milimeter di sebuah rumah di Jalan Yusuf Adiwinata 6, Menteng, Jakarta Pusat. Barang-barang ilegal itu diduga milik Ari karena di situlah sehari-hari ia tinggal.
Temuan tanpa sengaja itu sempat dipersoalkan para pengacara Ari lantaran penggeledahannya tanpa dilengkapi surat izin. Hanya, polisi juga tidak bisa dipersalahkan karena mereka memang sedang mencari Tommy.
Setelah kasus Ari divonis, tampak sekali temuan yang kebetulan itu tidak ditangani dengan serius. Tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari kejaksaan untuk menghadirikan saksi yang memberatkan. Selain itu, kini muncul pertanyaan: kalau peluru-peluru itu bukan milik Ari, lalu punya siapa? Ini merupakan tugas polisi untuk mengungkapnya.
Lagi pula, sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian, masalah izin dan pengawasan senjata api, amunisi, ataupun bahan peledak lainnya berada di bawah kewenangan polisi. Kalau tugas ini dijalankan dengan baik, penyalahgunaan senjata api bisa dikurangi. Nyatanya, ’’Sekarang ini banyak kasus peledakan, penembakan, dan penemuan bom yang sangat meresahkan masyarakat,’’ kata bekas Kapolri, Jenderal Purn. Awaloedin Djamin.
Awaloedin tak mengada-ada. Belakangan senjata api seolah bebas beredar di masyarakat. Selain di rumah Ari, beberapa pulan silam juga pernah ditemukan belasan senjata api dan ratusan bahan peledak yang di Apartemen Cemara di Menteng, Jakarta Pusat, dan di Jalan Alam Segar di Pondokindah, Jakarta Selatan. Diduga barang-barang ilegal itu milik Tommy Soeharto, walau sampai sekarang belum diakuinya.
Vonis yang diberikan kepada Ari juga tak memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat. Menurut Jhonson Panjaitan, Wakil Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), vonis itu terlalu ringan. Orang tak akan takut bermain-main dengan senjata api ilegal karena tahu hukumannya cuma segitu. Jhonson mempunyai bahan pembanding. Kliennya, M. Udin dan Saifan, yang menyewa mobil untuk pembawa bom yang diledakkan di Plaza Atrium di Jakarta September lalu, dihukum 15 tahun penjara. Seharusnya Ari, yang memiliki peluru aktif, dihukum lebih berat lagi. Tapi, ”Sejak hakim memberikan tahanan rumah bagi Ari, kelihatan proses hukumnya sudah tidak benar,” kata Jhonson.
Memang, sejak semula Ari seolah mendapat perlakukan istimewa. Ketika ditahan di Polda Metro Jaya, tersangka pernah mengaku sakit, lalu ia dirawat di ruang jatah perwira di Rumah Sakit Polri di Kramatjati, Jakarta Timur. Begitu juga saat dipindahkan ke Rumah Tahanan Salemba. Pemuda gemuk berkepala plontos itu tiba-tiba pingsan, lalu ia dirawat lagi di Rumah Sakit Polri yang berpendingin.
Terakhir, sebelum sidang digelar di Peng-adilan Negeri Jakarta Pusat, ia pun mendapat perlakuan khusus. Status tahanan Ari diubah oleh hakim menjadi tahanan rumah, dengan membayar uang jaminan Rp 100 juta.
Yang menarik, Petrus Ballapattyona pun menganggap vonis hakim itu aneh. Menurut pengacara Ari itu, antara vonis dan ancaman hukuman yang diatur dalam undang-undang sungguh tak seimbang. Ia heran karena Ari dinyatakan bersalah tapi dihukum ringan. Jadi, hakim kelihatan ragu-ragu. ”Seharusnya hakim menyatakan Ari tak bersalah dan membebaskannya dari hukuman,’’ katanya.
Kini Petrus tengah menunggu langkah kejaksaan. ”Semestinya jaksa tidak puas karena putusan itu jauh dari tuntutannya. Ini putusan yang jomplang. Dia kan menuntut satu tahun, sedangkan hakim memutuskan 2 bulan 22 hari,’’ ujar Petrus.
Tapi, Jaksa Penuntut Umum Surung Aritonang tampak tak terlalu bersemangat meng-ajukan banding. ”Ya, atas putusan hakim itu saya pikir-pikir dulu,’’ ujarnya santai seusai sidang. Ia pun tidak terlalu mempersoalkan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. ”Yang penting, hakim sudah menyatakan ia bersalah. Itu saja sudah cukup,” kata Aritonang.
Pantas bila Ari tampak puas sekali.
Ahmad Taufik dan Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini