KEBOBOLAN Bank Duta di zaman direksi lama tak hanya di permainan valas -- konon merugikan bank itu Rp 780 milyar -- tapi juga di segi pemberian kredit. Buktinya, pekan-pekan ini Bank Duta terpaksa menggugat kredit macetnya sekitar Rp 7 milyar dari Direktur Utama PT Sumber Wira Trikarya (SWT), Fredrich Yunadi, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui kuasa hukumnya, Gunawan Wibisono, Bank Duta menuntut Fredrich agar melunasi utang sekitar Rp 7 milyar itu, plus bunga sebesar 27% per tahun. Selain itu bank swasta ini yang pernah menduduki peringkat kedua itu juga meminta pengadilan meletakkan sita jaminan atas berbagai harta kekayaan PT SWT, yang sebelumnya dijadikan jaminan kredit tersebut. Pada 4 Februari 1990, menurut Gunawan Wibisono, Fredrich mengikat perjanjian kredit dengan Bank Duta untuk mengembangkan usaha PT SWT di bidang ekspor hasil laut dan tambak. Kredit dengan plafon maksimum Rp 7,6 milyar disepakati akan jatuh tempo pada 14 Februari 1991. Sebagai jaminannya, Fredrich menyerahkan -- tak tanggung-tanggung -- 105 sertifikat tanah, yang terletak di Tangerang, Bogor, dan Jakarta Selatan. Selain itu, ia juga mengagunkan barang persediaan, barang dagangan, dan mesin-mesin plus peralatan PT SWT. Namun, setelah Bank Duta memberikan kredit modal kerja ekspor dan reguler sekitar Rp 5,8 milyar, ternyata Fredrich mangkir terus. Ia, kata Gunawan, tak kunjung membayar bunga pinjaman dan angsuran pokok. Walhasil, sampai 22 Desember 1990, tunggakan Fredrich mencapai hampir Rp 7 milyar, (kredit plus bunga dan biaya penagihan). Kendati Bank Duta telah berulang kali mengingatkan Fredrich agar memenuhi kewajibannya, pengusaha itu tetap saja mangkir. Akhirnya, untuk menarik kembali kredit yang besarnya sekitar 31% dari keuntungan bersih Bank Duta per 30 September 1990 (Rp 22,6 milyar) itu, Bank Duta pun menempuh jalur hukum. Menurut Gunawan, yang juga remedial group head Bank Duta, upaya memburu kredit ini sesuai dengan escape clause dalam perjanjian kredit antara Fredrich dan Bank Duta. Dalam klausul itu disebutkan, jika si debitur tak kunjung memenuhi kewajibannya, kreditur bisa menarik kembali kredit tersebut. Selain itu, reputasi Fredrich juga dinilai buruk dan dianggap tak mungkin mampu melunasi kredit itu. Sebab, kualitas ekspor PT SWT merosot, sehingga nilai penerimaan ekspornya selalu menurun. Nah, "Kondisi Fredrich sebagai debitur sudah memenuhi klausul tersebut," ujar Gunawan. Tambahan pula, katanya, berdasarkan Paket Februari, bank harus yakin apakah debiturnya mampu membayar kembali kredit tersebut. Kepada TEMPO, Fredrich sebaliknya menganggap gugatan Bank Duta itu terlalu mengada-ada. Sebab, katanya, pihaknya selalu membayar bunga pinjaman itu. Lagi pula, kredit itu baru akan jatuh tempo pada 14 Februari 1991. Jadi, "Kalau saya mau digugat, ya, setelah tanggal jatuh tempo itu. Itu pun kalau memang saya tak membayar pinjaman pokok," kata Fredrich. Lebih dari itu, menurut Fredrich, usahanya menjadi tersendat-sendat -- termasuk kewajiban membayar bunga -- justru lantaran seretnya kredit Bank Duta. Soalnya, dari plafon kredit yang disepakati, Bank Duta baru mencairkan 60%. "Seharusnya malah saya yang menggugat, karena Bank Duta 'wanprestasi'," ujar Fredrich, yang bersikeras menganggap kasus itu bukan kredit macet. Sebab itu, Fredrich menduga gugatan itu terjadi karena Bank Duta sedang mengalami keadaan kurang sehat. Baik karena pergantian manajemen maupun seretnya likuiditas. Dengan gugatan itu, tambah Fredrich, boleh jadi Bank Duta berharap perjanjian kreditnya menjadi status quo, dan bank itu tak perlu mencairkan sisa kreditnya. "Susah deh, kalau bank likuiditasnya lagi payah. Macam-macam alasan dibikin," gerutunya. Begitupun Fredrich mengaku akan segera menyelesaikan urusan dengan Bank Duta. "Daripada terus ribut, mending bayar saja, terus pindah ke bank lain," ucapnya. Lagi pula, menurut Fredrich, nilai barang jaminannya lebih dari cukup, yakni sekitar Rp 30 milyar. Gunawan Wibisono mengaku senang saja kalau benar Fredrich mau segera membayar. Apalagi, seperti diakui Gunawan, Bank Duta kini membutuhkan dana tersebut. Tapi, "Saya ragu, apa benar dia mampu bayar. Soalnya, selain tersangkut banyak perkara, kondisi perusahaannya juga sedang tak baik," katanya. Gunawan juga membantah keterangan Fredrich, yang mengaku sudah membayar bunga pinjaman. Bahwa rekening Fredrich, yang dijulukinya "nasabah licin dan nakal", diberi warna biru, hal itu tak lain untuk menghindari black list dari Bank Indonesia. Padahal, karena belum membayar bunga, seharusnya rekening Fredrich berwarna merah. Berdasarkan itu, Gunawan menganggap gugatan Bank Duta itu tidaklah berlebihan. "Kalau memang nasabahnya baik, tak mungkin kami perkarakan. Dia kan tiang utama bank, nggak mungkin diamputasi. Tapi kalau seperti Fredrich, itu manisnya saat mau meminjam saja," kata Gunawan. Happy Sulistyadi dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini