SYAHDAN, di saat RI baru berusia tiga bulan, Wapres Moh. Hatta mendapat permintaan yang agak "aneh" dari Amir Sjarifuddin. Pasalnya, Menteri Penerangan RI itu mendesak Bung Hatta agar segera mengeluarkan maklumat tentang pembentukan partai politik. Tujuannya agar, menurut Amir, rakyat tak ragu-ragu membentuk parpol, dan tidak menganggap ini sebagai partai negara. Ketika itu sebenarnya sudah berdiri heberapa parpol. Namun, tindakan Hatta meluluskan permintaan Amir dengan mengeluarkan Keputusan Pemerintah 3 November 1945 bermaksud menegakkan demokrasi. Upaya mengukuhkan demokrasi di Indonesia punya sejarah panjang, dan sayangnya, telah meminta korban. Awal 1960 misalnya, pelaksanaan kehidupan bernegara di Indonesia pasang surut. Timbul pemberontakan di sana-sini, pertentangan parpol, dan kegagalan Konstituante untuk kemudian kembali ke UUD '45 dari UUDS '50. Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD '45 melahirkan Demokrasi Terpimpin. Situasi yang mengarah kepada pemerintah diktator ini tambah runyam dengan dibubarkan DPR hasil Pemilu, dan diangkatnya anggota DPR Gotong Royong langsung oleh Presiden RI waktu itu. Reaksi keras pun bermunculan. Lalu sejumlah tokoh parpol pada 24 Maret 1960 membentuk Liga Demokrasi. K.H. Moh. Dahlan, Wakil Rais Am NU, bergabung bersama Soebadio Sastrosatomo (PSI), Sugirman (IPKI), Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Tambunan (Parkindo), I.J. Kasimo (Katolik) duduk sebagai anggota dewan presidium LD. Sebagai Sekretaris tampil Imron Rosyadi, (Ketua Pemuda Ansor), Soedjatmoko (PSI), dan H.J.C. Princen (IPKI). "Kami membentuk Liga untuk menuntut Presiden segera menyelenggarakan pemilu," kata Imron, kini Ketua Komisi I DPR. Sebab, menurut undang-undang yang berlaku saat itu, pemerintah harus segera mengadakan Pemilu setelah tiga bulan DPR dibubarkan. Namun, Presiden Soekarno malah main tunjuk orang sebagai wakil rakyat. "Selain mempertanyakan keanggotaan di parlemen, kami juga ingin membela pelaksanaan demokrasi," kata Princen. Liga dimaksudkan sebagai forum dialog antaranggota yang satu cita-cita untuk menegakkan demokrasi, tanpa mengutamakan keanggotaan mereka dalam parpol. Mereka juga bermaksud menyebarkan ide ke kabupaten. Banyak juga dari kalangan militer ketika itu tertarik pada gagasan LD. Dalam upaya penyebaran ide ke daerah inilah, kemudian mereka mendapat tantangan, terutama dari PKI. Imron dar Anwar Haryono (Masyumi) yang ke Surabaya untuk menyebarkan ide Liga terpaksa menyelamatkan diri dari serbuan Gerwani dan Pemuda Rakyat. Liga cuma bertahan setahun, di tengah serangan tajam dari PKI, PNI, dan Partindo. Lalu Presiden Soekarno pun membubarkannya. Angin demokrasi kembali berembus kencang setelah ditumpasnya G30S-PKI 25 tahun silam, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Namun, dalam perjalanannya, kekuatan Orde Baru seolah-olah terbelah dalam dua aliran pemikiran. Pertama, yang lebih mementingkan untuk membangun kembali perekonomian yang ketika itu dililit tingkat inflasi di atas 600%. Kedua, yang menghendaki pembangunan berjalan bersama-sama pembaruan politik. Bobroknya keadaan ekonomi waktu itu membuat Pemerintah lebih condong untuk mengambil pilihan yang pertama. Masyarakat harus dihindarkan dari persoalan politik yang muskil. Lebih-lebih kepercayaan terhadap parpol kian surut. Keputusan ini semakin mendapatkan landasan hukumnya dengan diadakannya Pemilu 1971 dengan sistem pemilu hasil konsensus 1969. Yakni, kesepakatan pemimpin nasional dengan parpol mengenai pengangkatan sebagian anggota DPR. Pengangkatan itu umumnya tersalur dalam wadah baru yang disebut Golkar, yang lebih dikenal sebagai "partai pemerintah". Dalam diskusi ketatanegaraan di UI, 1972, Bung Hatta mengatakan bahwa penyelenggaraan sistem politik yang ada saat itu masih belum sejalan dengan UUD '45. Pendapat Hatta didukung berbagai pihak. Jenderal Nasution, bersama bekas Wapres RI itu, dan sejumlah tokoh masyarakat, pada 30 Juni 1978 mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang dikenal sebagai LKB. Di lembaga ini berkumpul pensiunan ABRI seperti Ali Sadikin, Azis Saleh, Hoegeng Iman Santoso, Mokoginta, dan M. Nazir. Juga tokoh seperti Mochtar Lubis, Anwar Haryono, Prof. Sunario, sampai mantan aktris Nurbani Yusuf yang jadi pengacara. Mereka yang tergabung dalam LKB bercita-cita meneruskan: "... tekad Orde Baru yang berintikan pelaksanaan Pancasila dan UUD '45 secara murni dan konsekuen. Juga sesuai dengan Seminar AD ke-2 di Bandung.... Upaya memperlebar koridor kebebasan berpendapat di Indonesia berjalan dari zaman ke zaman. Kini, di era Orde Baru, orang pun kembali ingin bicara. Rustam Mandayun, Reza Rohadian, Leila Chudori, dan Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini