FORUM Demokrasi, ternyata, mengundang perhatian besar dari berbagai kalangan. Bermacam penafsiran muncul mengiringi kelahirannya. Ada yang mendukung, ada yang bingung, tetapi ada yang mengatakan bahwa Forum Demokrasi ala Gus Dur itu tak perlu ada. Berikut tanggapan beberapa tokoh pada TEMPO: Emha Ainun Nadjib, Budayawan FORUM Demokrasi (FD) adalah kabar gembira dalam kabar duka. Kabar gembira karena namanya saja forum: sudah berapa ribu keputusan pembangunan yang lahir tidak melalui a fair forum. Apalagi forum untuk demokrasi pula. Namun, juga kabar duka karena lahirnya FD secara implisit merupakan pernyataan bahwa selama ini institusi-institusi yang ada belum merupakan forum demokrasi sehingga diperlukan suatu institusi tersendiri yang memfokuskan dirinya pada cita-cita demokrasi. Kan mestinya, menurut nalar teoretis, semua institusi yang dimiliki oleh negara dan masyarakat kita adalah forum demokrasi. Ya, institusi eksekutif, ya DPR, ya organisasi-organisasi sosial. Tapi rupanya tak demikian prakteknya sehingga Gus Dur dkk. merasa perlu bikin lingkaran sendiri untuk itu. Khusus dalam kaitannya dengan Gus Dur, pernyataan tersirat yang tertangkap adalah bahwa NU, organisasi raksasa yang dikhalifahinya, sendiri pun ternyata tidak kunjung mampu menjadi forum demokrasi. Dalam intuisi saya, langkah Gus Dur akan lebih efektif dan mengakar bila yang ia lakukan bukan membuat forum refleksi dan kontemplasi oleh sejumlah pendekar, melainkan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Jika beliau lakukan ini, akan terjadi shock yang lebih lumayan, dan itu adalah momentum yang amat strategis untuk berbicara tentang demokrasi, baik ke dalam NU sendiri maupun ke luar. Pokoknya, saya setuju Sayidina Ali bin Abi Thalib, deh, yang bilang Undzur ma qala wa la tandzur man qala, "lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan". Biar NU, Muhammadiyah, ICMI, Forum Demokrasi, Persatuan Blantik Sapi, atau Persatuan Gelandangan Kedungpring, memiliki status primordialitasnya masing-masing -- tetapi yang penting ialah apa yang diperbuatnya untuk Indonesia. Soerjadi, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia SAYA kira forum ini positif, baik, dan menunjukkan tanggung jawab mereka terhadap masalah yang merupakan bagian kehidupan nasional. Motivasi dan nilai yang mendasari pembentukannya, bagi PDI, merupakan concern perjuangan PDI. PDI gembira karena meski kekuatan moral, ini menambah kekuatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan demokrasi. Kehadiran forum ini bukan berarti kita tidak demokratis. Yang saya tangkap dari Gus Dur, ada fokus perhatian dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan berdemokrasi. Demokrasi ini tidak bisa hadir secara tiba-tiba dan langsung baik. Masih banyak yang harus diperbaiki dalam kondisi demokrasi kita, dan kehadiran forum ini sangat berarti. Demokrasi kita masih dalam proses mematangkan diri. Meskipun tidak ada aturan tertulis, pegawai negeri tidak boleh masuk parpol. Masyarakat berpendapat demikian, dan pegawai negeri merasakan tuntutan seperti itu. Kita bukan bicara aturannya, tapi praktek yang terjadi. Alasan forum ini untuk menghilangkan sektarianisme, menurut saya, bagus. Sektarianisme artinya ada kesadaran munculnya fenomena baru yang bertentangan dengan yang diperjuangkan Sumpah Pemuda 1928. Ini dihasilkan oleh orang yang tidak punya konsep kebangsaan. Apa yang dikemukakan Gus Dur adalah realita. Forum ini berbeda dengan Liga Demokrasi yang pernah ada. Liga Demokrasi itu gerakan polltik praktis, kekuatan politik yang bergabung dan bertujuan untuk menghadapi PKI. Sedang forum ini kan sifatnya perorangan, dengan kekuatan moral. Akhirnya, forum ini akan dilihat dari apa tindak lanjutnya. Kalau lalu diam dan tidur, apa artinya? Kalau ada langkah yang berwibawa dan bisa diterapkan, baru kita lihat fungsinya. Kalau melihat latar belakang pesertanya, mereka bisa mengembangkan kehidupan hukum, membuat analisa politik, dan lain-lain. Brigadir Jenderal TNI Nurhadi, Kapuspen ABRI PENDAPAT ABRI sudah jelas. Forum semacam itu ndak perlu. Kalau memiliki ide-ide yang akan dikembangkan, masuk saja ke wadah-wadah yang sudah ada. Kalau bersifat politik, masuklah ke parpol. Kalau menyangkut masalah ilmu pengetahuan, masuklah ke LIPI, CSIS, atau lembaga riset lainnya. Kalau bersifat kemasyarakatan, ada ormas-ormas. Mereka (FD) mengkritik adanya pengelompokan-pengelompokan. Tapi, mereka malah mengelompok. Kan nggak benar. Itu aneh. Apalagi sampai mengadakan press release. Bagi ABRI, belum jelas betul apa maksud mereka. Kami baru mendengar dari surat kabar. Menurut yang saya baca di surat kabar, mereka ingin agar ide-idenya dipahami orang lain. Berarti mereka berniat membentuk opini. Artinya, itu sudah politik praktis. Bukankah sudah ada parpol? Masuk saja ke wadah yang sudah ada. Demokrasi itu prinsipnya mengakui adanya pemerintahan. Pemerintahan punya aturan. Aturan mengatakan kalau ada pertemuan lebih dari lima orang harus ada izin. Kami tidak tahu apakah itu sudah dilakukan. Kalau maksudnya baik, tentunya semua prosedur harus dipenuhi. Jangan bicara demokrasi kalau tidak bersikap demokratis. Yang kami khawatirkan, nanti semua orang jadi latah. Karena yang berhimpun para pakar, rakyat yang nggak tahu tujuannya bisa memberi komentar macam-macam. Itu bahayanya. Kemampuan rakyat kita kan beda-beda. Ada yang pintar, ada yang asal tanggap. Contohnya kabar Timur Tengah itu, nanti bisa ada kerancuan. Kalau ada ide yang mau disumbangkan untuk kepentingan bangsa dan negara, salurkan lewat wadah yang sudah ada. Itu yang mengatur Depdagri, dasarnya undang-undang. Kalau kita mau hidup sebagai bangsa yang benar, semua aturan mesti kita lewati. Demokrasi kita Demokrasi Pancasila. Loyalitas kita hanya satu: Pancasila dan UUD '45. Semua keputusan politik diambil atas dasar suara rakyat melalui sistem perwakilan. Biarlah Depdagri yang menangani masalah ini. Tapi, sebaiknya, tidak perlulah organisasi itu dibentuk. Jenderal (Purnawirawan) Soemitro, Bekas Pangkopkamtib FORUM ini tidak berbahaya. Ini ungkapan dari ketidakpuasan. Saya kira, Gus Dur menginginkan proses demokrasi dipercepat setelah PKI terkikis dan banyak hal sudah dicapai. Lembaga demokrasi sudah kita miliki sejak 1965. Tetapi, dulu segala sesuatu yang berbau politik diatur dari atas. Ini penting untuk security, karena PKI dan denasakomisasi mesti dibubarkan. Sekarang keadaan sudah normal, maka proses demokrasi mestinya muncul dari bawah. Dengan adanya forum ini, mestinya orpol tertantang. UU Kepartaian mesti dibahas kembali. Partai jangan hanya sampai kabupaten, tapi seharusnya sampai ke desa-desa, agar suara rakyat terdengar. Kalau tidak, DPR bisa kalah dengan lembaga swadaya masyarakat. Apalagi selama ini DPR tidak pernah menggunakan hak inisiatif. Semua program harus datang dari pemerintah. Demokrasi yang terjadi sekarang belum normal. Terjadi kemiskinan pemimpin dan banyak pemimpin tidak berani mengutarakan pendapat karena tidak diberi kesempatan. Padahal, rakyat membutuhkan demokrasi karena kecerdasan hanya bisa dicapai dengan demokrasi. Indonesia bukan bangsa feodal dan hanya yang pintar yang bisa naik ke atas. Maka, adanya forum demokrasi ini baik sekali, apalagi kalau bisa dimanfaatkan secara nasional. Sekarang ini terjadi erosi budaya. Orang yang korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan tidak merasa bersalah. Untuk membicarakan masalah ini, diperlukan forum, agar kesatuan pendapat dan pikiran bisa tercapai. Jadi, tidak ada alasan untuk mencurigai forum ini. Apalagi tujuan ideal forum ini kan jelas, untuk mencegah jangan sampai penyakit lama menyerang kader bangsa. Marwah Daud, Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) TERBENTUKNYA Forum Demokrasi wajar dan harus. Dalam arti sebagai pengayaan atau peragaman pendidikan politik di negara kita. Nggak mungkin, dong, dalam negara yang begini luas dan rakyatnya begitu banyak, segala sesuatunya harus datang dari atas, dari pemerintah. Kita tak boleh terjebak dalam anggapan bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar sistem adalah anti-sistem, atau sebagai tandingan dari establishment. Saya pikir, semua orang punya niat baik terhadap republik ini. Cuma caranya macam-macam. Yang penting, sistem itu jangan dilihat hanya pemerintah, tapi dari seluruh nasion. Dalam beberapa hal saya melihat kehidupan demokrasi kita memang telah cukup bagus. Misalnya ada ide deregulasi, debirokratisasi. Cuma memang belum total. Itu bisa dimaklumi karena demokrasi pada dasarnya adalah sebuah proses yang setiap kali harus lebih baik dari sebelumnya. Dalam demokrasi dan pembangunan ekonomi, semua pihak harus dilibatkan. Jadi, tak ada istilah Sinterklas bagi pemerintah sebagai yang empunya demokrasi. Adanya forum semacam FD menggambarkan keinginan memperbesar partisipasi itu adanya keinginan berinteraksi dengan pemerintah. Saya harap itu bisa membantu menuju ke kedewasaan yang kita harapkan. Dr. Ichlasul Amal, Dekan Fakultas Isipol UGM MUNCULNYA Forum Demokrasi adalah hal yang biasa. Artinya, ia merupakan suatu wadah di mana beberapa orang bertemu untuk tukar pikiran mengenai demokrasi. Ia kan bukan sebuah organisasi. Hanya, karena yang jadi anggota beberapa tokoh, lalu menimbulkan pertanyaan: Ada apa ini? Kalau dilihat dari segi institusi demokrasi di Indonesia, banyak hal yang seharusnya dilakukan di dalam institusi itu, malah terjadi di luar. Institusi-institusi demokrasi atau politik memang banyak tidak terlibat dalam pembentukan keputusan. Keputusan politik lebih banyak dibuat di luar institusi politik. Ini berarti ada something wrong. Artinya, institusi politik saat ini bisa dikatakan kurang berfungsi, yang akibatnya lalu orang membuat Forum Demokrasi. Jadi, forum ini merupakan indikator. Karena institusi politik kurang berfungsi, ia kurang tanggap terhadap permasalahan masyarakat. Banyak contohnya, seperti masalah Kedungombo. Orang-orang bingung, harus ke mana mengadu dan menyalurkan pendapatnya. Kalau institusi politik jalan, organnya tentu akan menyerap sebanyak mungkin aspirasi hingga sebelum orang itu bertindak atau mengadu, sudah terserap dalam proses institusi itu. DPRD, misalnya, tak perlu menunggu orangnya lapor, melainkan ia harus menyerap, karena itu adalah bagian dari proses politik dan bargaining dalam DPRD. Tidak jalannya institusi tadi bukan semata-mata karena kualitas personelnya, melainkan, dari segi struktur yang ada, tak memungkinkan adanya organ atau personal institusi melakukan fungsinya. Kesenjangan ini tak bisa dijembatani hanya dengan pendidikan politik yang formal seperti P4. Sebab, pendidikan politik formal tak bicara secara luas, ia hanya menyangkut pemahaman akan persepsi tentang ideologi formal semacam Pancasila. Pendidikan politik dalam arti yang sebenarnya adalah sosialisasi politik secara keseluruhan, bisa di keluarga atau di masyarakat, sementara yang formal itu hanya sebagian saja. Untuk menjembatani hambatan demokrasi di Indonesia, dua hal perlu dilakukan: Pertama, pengembangan budaya politik yang demokratis. Forum adalah salah satu bentuknya. Jadi, kita lihat perbedaan itu bukan sesuatu yang aneh dan bukan suatu ancaman. Itu harus disadari, termasuk oleh pejabat. Kedua, setapak demi setapak kita perlu menilai kembali struktur atau peraturan yang kita lihat justru akan menghambat kegiatan yang bersifat demokratis. Contoh kongkret adalah peraturan perizinan. Orang minta izin mesti sampai pusat, lalu apa gunanya aparat di daerah, apa tak cukup? Pemerintah tak bisa seperti dulu lagi yang mengaku bisa maju dengan mengandalkan bantuan luar dan minyak, tanpa harus mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam semua kebijaksanaan perlu ada partisipasi masyarakat hingga dengan adanya gejolak apa pun masyarakat merasa menjadi bagiannya dan ikut bertanggung jawab. Jadi, perlu ada solidaritas sosial dalam menghadapi ketidakpastian akibat dari fluktuasi dolar atau lainnya. Dulu, solidaritas berarti mobilisasi. Sekarang solidaritas adalah rasa tanggung jawab dari dalam diri. Soetjipto Wirosardjono, Kolomnis dan Wakil Ketua BPS PADA pertemuan di Cibeureum, saya cuma datang sehari. Karena diundang Gus Dur, saya datang, sebagaimana halnya Gus Dur juga saya undang datang ke Majelis Reboan. Saya datang ke sana dalam kapasitas sebagai eksponen ICMI. Dan, ternyata, mereka pun tetap menerima sikap saya. Artinya, semua orang sudah tahu persis bagaimana posisi saya, bahkan obsesi saya. Kalau forum itu tak mengikat, dan saya sedang tak repot, saya akan terus ikut. Forum itu sama halnya Majelis Reboan. Mereka saya undang, kemudian datang. Gus Dur sendiri bilang, forum itu seperti arisan. Janjinya, organisasi itu bukan ormas, bukan orpol. Kalau memang begitu, ya bagus. Jika pendirian forum itu untuk pengembangan demokrasi, untuk keutuhan nasional, saya akan senang ikut serta. Pendirian saya sendiri tetap konsisten, seperti tercermin dalam setiap tulisan dan pernyataan-pernyataan saya di mana pun. Kekuatan FD, menurut saya, kalau membiarkan perbedaan persepsi yang hadir. Namanya saja Forum Demokrasi, jadi akan sangat lucu kalau justru berusaha menyatukan pendapat tentang demokrasi. Biarkan saja pendapat tentang demokrasi itu plural. Kelahiran forum yang mempunyai tema demokrasi, apakah itu Liga Demokrasi atau semacamnya, itu menunjukkan bahwa demokrasi tetap merupakan pokok bahasan yang menarik, terutama bagi warga negara yang peduli terhadap masalah kenegaraan. Saya berharap kehadiran forum itu bisa memberi andil untuk peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Aswab Mahasin, Direktur LP3ES SAYA mau ikut FD, antara lain karena ikatannya longgar, terdiri dari orang-orang yang punya concern sama: demokratisasi. Keanggotaannya pun tidak ketat. Adanya kecurigaan, menurut saya, itu penyakit. Artinya, kalau mau demokrasi, mbok kita hilangkan kecurigaan. Curiga terhadap forum ini, terhadap tentara, terhadap ICMI, dan sebagainya. Kalau curiga terus, pasang kuda-kuda terus, akhirnya tendensinya ketegangan. Dibandingkan dengan Liga Demokrasi yang oposan Soekarno dulu, juga Lembaga Kesadaran Berkonstitusi-nya Petisi 50, FD yang ada sekarang jelas berbeda. Dalam Liga Demokrasi, misalnya, tokoh-tokohnya dari parpol dan sifatnya lebih politis: menentang konsepsi Soekarno. Sedangkan FD ini lebih pada ekspresi kebudayaan dan kecendekiawanan, serta opini publik. FD juga tak punya sosok lawan yang jelas. Sebab, kalau disebut anti-Soeharto, jelas tidak mau. Fungsi forum itu untuk memasarkan gagasan dan pendapat umum. Dianggap terlaksana bila gagasan itu diterima oleh banyak kalangan. Janganlah forum ini dilihat sebagai kelompok lawan ICMI. Roekmini Soedjono, Anggota Komisi II DPR Fraksi ABRI KITA tak perlu heran, di mana-mana ada forum: forum diskusi, forum dialog, dan lainnya. Kalau saya, sih, berbaik sangka, apalagi pencetusnya Gus Dur. Kalau merasa belum jelas mbok langsung ditanya saja, begitu kan beres. Dalam menilai segala sesuatu, saya selalu memakai cara pandang sistemik konstitusional. Saya tidak melihat FD sebagai sesuatu yang aneh. Hanya mungkin, tak semua orang bisa mengerti maksud dan tujuannya. Di negara demokrasi seperti Indonesia, berbeda pendapat dan berbeda pandangan adalah hal yang logis. Namun, saya juga bisa mengerti posisi para eksekutif. Mendagri, misalnya, agak kesulitan menjangkaunya dari segi UU. Itu semata-mata karena kita semua sudah terpola. FD masih dalam suatu kerangka sistem. Jadi, ya tidak apa-apa. Pokoknya, kalau segala sesuatu masih dalam sistem UUD '45, tak perlu dipermasalahkan. Saya yakin, Gus Dur maunya memperkuat sistem, bukan sebaliknya. Jadi, kalau mekanismenya sudah benar dan sifatnya memperkuat sistem, tak jadi soal, siapa pun di dalamnya. Apa yang dikerjakan Gus Dur dan teman-temannya merupakan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat yang sudah terbuka. Ini wajar. Yang perlu dilihat tindak lanjutnya apakah substansi dialognya keluar dari sistem apa tidak. Kalau keluar dari sistem, tentu ini yang perlu diperhatikan. Tapi, saya yakin mereka adalah orang-orang bijak. Imron Rosyadi, Bekas Sekretaris Liga Demokrasi KAMI mendirikan Liga Demokrasi (LD) untuk mendesak pemerintah Soekarno agar mengadakan pemilu kedua sesudah DPR hasil pemilu pertama dibubarkan. Itu saja tujuannya. Jadi, LD tak bisa disamakan dengan FD. Situasinya sudah lain. Sekarang anggota DPR sudah dipilih lewat pemilu. Saya belum tahu apa tujuannya. Kalau untuk mengisi demokrasi, mestinya dilakukan lewat DPR. Oleh sebab itu, peranan DPR harus ditingkatkan. Kalau DPR macet, bisa timbul parlemen jalanan seperti dulu. Misalnya, demonstrasi sekarang tidak diizinkan Pemerintah. Saya lihat sekarang ini Indonesia paling aman dan tenang. Bahwa masih banyak kekurangan itu saya akui. Tapi, kan bisa diluruskan lewat DPR. Saya tidak mengatakan FD tak perlu. Saya belum tahu mekanismenya bagaimana. Apakah hanya sekadar simposium, atau semacam forum tukar pikiran. Kalau ya, lantas menyalurkannya bagaimana. Itu yang ingin saya tanyakan. Ridwan Saidi, Pengamat politik dan bekas Ketua Umum HMI PADA pandangan saya, FD ini sama saja dengan ICMI: lebih mengutamakan badan daripada roh. Saya tidak menganut aliran badan, tapi roh. Karena yang dibentuk badan, mereka akan berhadapan dengan struktur. Akibatnya, tenaga intelektual yang ada menjadi mubazir. Ini yang saya sayangkan. Pelaksanaan demokrasi sebenarnya menjadi concern kita semua, harus melibatkan rakyat sebanyak mungkin. Hanya, dalam perjuangannya, kenapa harus menggunakan approach badan? Harusnya roh, sambung rasa. Itulah yang saya sayangkan. Mereka kurang tenang menghadapi keadaan, dan terkesan emosional. Hanya, menurut saya, mereka selalu mengulang kesalahan yang sama. Saya khawatir, forum itu hanya akan menjadi martir, seperti Liga Demokrasi zaman Kiai Ahmad Dahlan dulu. Rachmat Witoelar, Sekretaris Jenderal DPP Golkar KENAPA mesti diributkan, sih. Demokrasi memang masih perlu dikembangkan. Dan itu bukan cuma tugas parpol dan Golkar, atau pemerintah saja, tapi tugas semua orang. Kalau mau mengembangkan demokrasi secara kongko-kongko, asal tidak menyimpang dari hakikat Demokrasi Pancasila, ya silakan saja. Lagi pula, forum semacam FD bukan untuk pertama dibikin. Di Golkar ada forum diskusi delapan jalur yang punya anggota kelompok kerja 600 orang. Itu kami rintis satu setengah tahun lalu. Kerangka kerjanya masih berkisar tentang upaya meningkat- kan demokrasi. Hasil diskusinya kemudian dibahas dalam Rapim Golkar. Nah, kalau FD itu untuk mengisi, ya silakan. Dan kalau mereka ingin menghilangkan primordialisme dan meningkatkan rasa kebangsaan, saya sependapat. Silakan saja, kami tidak berprasangka Yusuf Syakir, Wakil Sekjen DPP-PPP FD membuat posisi Pemerintah jadi sulit karena seolah-olah mereka yang membubuhkan tanda tangan itu menganggap demokrasi belum berjalan secara wajar. Kalau Pemerintah merestui kelompok ini, berarti Pemerintah mengakuinya. Sebaliknya, jika Pemerintah tidak merestui dan menekan kelompok ini, akibatnya lebih parah. Makin jadi jelas, demokrasi kita -- termasuk peran orsospolnya -- berjalan tidak normal. Kemunculan FD tak ada hubungannya dengan masalah demokrasi dan sektarianisme: dua hal yang jadi isu utama dalam pembicaraan di Cibeureum. Kalau itu yang jadi masalah, mestinya FD berdiri pada dekade awal 1980-an. Misalnya, menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tapi mengapa FD justru lahir ketika demokrasi di negeri ini mulai berkembang ke kondisi yang lebih baik? Saya menganggap pembentukan FD sebagai isyarat menghangatnya situasi politik sebelum SU 1993.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini