Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mati di tangan pun ngah

Syafrudin, 50, dan anaknya robot, 5, dibunuh mat arifin. ia dendam akibat gadam, sedangkan penduduk menduga dendam itu akibat warisan tanah. mertua mat & mertua syafrudin bersaudara.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDAI kopi Unus di Desa Kuning Kecamatan Bambel, Aceh Tenggara, Senin pagi sekitar pukul 6, 6 Februari, cukup ramai. Tampak Syafruddin, 50 tahun dan Mat Arifin, 42 tahun, semeja menghirup kopi. Keduanya akrab. Maklum, rumah mereka berdekatan dan istri mereka pun masih sepupu. "Apakah hari ini engkau memasak gula enau," tanya Syafruddin. "Ya, rencanaku menderas," kata Mat Arifin alias Maat. Ternyata, itulah pertemuan mereka terakhir. Setengah jam kemudian, Syafruddin telah menjadi mayat di dekat kebun Aman Bata sekitar satu kilometer dari Desa Kuning. Pipi kanannya terkoyak senjata tajam. Dan lehernya nyaris putus. Tak jauh dan semak-semak itu, putranya Robot, 5 tahun, terkapar luka parah. Darah membasahi baju anak itu. Tapi bocah itu belum mati. Ia masih mengerang kendati tubuhnya koyak-koyak oleh tikaman belati. Agaknya, suara itu didengar Jimah, 35 tahun, nenek tiri Robot. "Pun Ngah, Nek . . ., Pun Ngah jahat," kata Robot lirih. Pun Ngah yang dimaksud Robot adalah paman tengah, yang tak lain Mat Arifin. Tergopoh-gopoh, Jimah menggendong tubuh bocah itu ke rumah Syafruddin. Sampai di rumah anak itu kembali mengerang. "Pun Ngah jahat, Pun Ngah jahat," kata bocah itu, sambil minta minum. Tak lama kemudian, bocah itu menyusul ayahnya. Warga yang mendengar erangan anak itu sebelum meninggal segera menduga, Mat Arifin pembunuhnya. Polisi juga mencium ke arah sana. Hanya saja, di tempat korban terbunuh tak ditemukan petunjuk apa pun. Namun, malam itu polisi memeriksa Jimah karena istri muda Asad -- kakek Robot -- yang pertama kali mendengar pengakuan Robot. Tapi wanita itu tak mau membuka mulut. Baru keesokan harinya, setelah polisi "memaksa", Jimah berterus terang, "Pembunuhnya Mat Arifin alias Maat." Keesokan harinya, Rabu dinihari, Mat Arifin diciduk polisi. Tak banyak berkelit, Maat mengakui semuanya. "Dendam saya tiba-tiba muncul melihat Syafruddin dan anaknya pergi ke kebun aren itu," katanya. Lho, bukankah setengah jam sebelumnya kalian tampak rukun? "Lihatlah seluruh badanku ini. Semua penuh penyakit kulit. Kalau malam sakitnya tak tertahan," tutur Maat kepada TEMPO. Bukan hanya itu, anaknya juga dihinggapi penyakit lepra beberapa jarinya seakan mau lepas. Semua itu kata Maat, tak lain ulah dukun Syafruddin. Dendam itu, kata Maat, sudah lama. Tapi 10 hari menjelang melahirkan, istrinya menjerit-jerit siang malam. Kebenciannya kepada Syafruddin pun makin menjadi. Lebih-lebih seorang saudaranya membenarkan bahwa sakit yang diderita istrinya itu akibat "serangan" Syafruddin. Ketetapan hati Maat untuk membalas dendam semakin bulat setelah anak keenamnya lahir. Nah, Senin pagi 6 Februari itu, dendamnya meledak. Dengan parang mengkilat yang selama ini dipakai memotong tandan aren, Syafruddin dihabisinya. Dua kali bacokan, korban terkapar. Tubuh itu kemudian diseret dan digorok. Melihat ayahnya digorok itulah Robot memekik. Gara-gara itu Maat kembali mencabut parangnya. "Ampun, Pun Ngah . . . ampun," kata Robot. Tapi bocah tak berdosa itu tetap diseretnya ke semak-semak. Tanpa kasihan, perut Robot ditusuknya, hingga bocah itu terdiam. Maat mengira anak itu sudah tewas. Ia pun pergi menderas aren. Tak tahunya Robot masih hidup dan malah mengungkap pembunuhan itu. Sejauh mana kebenaran cerita teluh itu masih belum jelas. Tapi warga Desa Kuning menduga, dendam mereka timbul karena soal tanah. Mertua Maat dengan mertua Syafruddin, yang masih bersaudara, diketahui penduduk selama ini berebut warisan. Keluarga istri Maat konon merasa bahwa perbagian warisannya sedikit dibanding keluarga istri Syafruddin. Tapi ketika hal ini ditanyakan ke Maat, ia membantah. "Saya tidak tahu urusan keluarga istri saya. Saya hanya tahu semua ini akibat penyakit gadam," kata Maat. Sementara itu, sumber lain menduga bahwa Jimah bersekongkol dengan Maat untuk membunuh Syafruddin. Sebab, setelah sepuluh tahun menjadi istri muda Asad -- mertua Syafruddin -- ia tak juga dikaruniai anak. Artinya, ia tak akan mendapat warisan dari suaminya yang sudah tua itu. Itu sebabnya, Jimah yang sampai kini ditahan, kata sumber ini, pada mulanya tidak mau membuka mulut siapa pembunuh Syafruddin dan anaknya. Tapi sejauh ini polisi belum menemukan bukt ke arah sana. "Kita belum melihat bukti-bukti persekongkolan mereka," kata Wakapolres Aceh Tenggara, Kapten Karjiman W.K.Widi Yarman (Jakarta) dan Mukhliardy Mukhtar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum