Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tumbal sebuah "mesiat"

Kerusuhan antar lingkungan petemon dan karang genteng, mataram, menewaskan mardjidah. achmad djuaini menangis bukan karena dituntut 5 th penjara, tetapi merasa dijadikan tumbal bagi warga karang genteng.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACHMAD Djuaini, 21 tahun, Selasa pekan lalu, menangis terisak-isak di 1 , Pengadilan Negeri Mataram. Pemuda lingkungan Karang Genteng, Pagutan, Kota Administratif Mataram itu baru saja dituntut Jaksa Sutiyono lima tahun penjara. "Saya menangis bukan karena tingginya tuntutan tapi kok saya sendiri yang harus bertanggung jawab," kata tamatan SMA I Mataram ini pada TEMPO. Toh tangisnya itu tak mengubah nasibnya. Di sidang, Senin pekan ini, Djuaini divonis majelis hakim 4 tahun penjara. Menurut hakim, pemuda itu terbukti membunuh Kopral Satu (Pur.) TNI-AD Mardjidah, 46 tahun, dalam sebuah kerusuhan berdarah antarlingkungan, 12 Juni 18 lalu, di Mataram. Dalam perkelahian itu, Mardjidah penduduk Lingkungan Petemon, mati ditombak penduduk lingkungan tetangganya Karang Genteng. Malam itu, hujan gerimis menyiram Lingkungan Petemon dan Karang Genteng, yang dipisahkan oleh sebuah jalan beraspal. Biasanya di malam seperti itu penduduk lebih suka berdiam di dalam rumah untuk menghangatkan badan. Tapi ada yang aneh. Sekitar pukul 21.30, puluhan penduduk Karang Genteng bersenjatakan tombak besi sepanjang dua setengah meter tampak menyeberang melintas jalan aspal menuju Lingkungan Petemon. Rombongan penduduk Karang Genteng itu rupanya lagi berang. Sebab, ada warganya yang dimaki warga Petemon dengan kata-kata "kafir" dan kata-kata kotor lainnya. Bahkan Penghulu Karang Genteng, Haji Abdurrahman, juga diteriaki "kafir . . . kafir . . . " ketika lewat di Petemon. Sebab ini, penduduk Karang Genteng menuntut balas. Di Petemon rombongan itu bertemu empat orang di sebuah kios di mulut jalan. Masdar, salah seorang dari rombongan itu, sempat bertanya. "Siapa yang bilang kafir-kafir, coba tunjukkan," tanya Masdar. Tapi yang ditanya, Taubah Salam, Tauhid Salam, Sulatri, dan Lalu Iwan Dana Siswa, malah berlari. "Kami takut melihat mereka membawa tombak," ujar Iwan. Djuaini dan beberapa kawannya dari Karang Genteng segera mengejar dan menghunjamkan tombaknya. Tapi gagal. Keempat orang itu lolos kendati lengan Iwan terluka akibat tombak itu. Ketika itulah tak sengaja kelompok Djuaini itu ketemu Mardjidah dan seorang kawannya -- penduduk Petemon juga. Perkelahian antara warga dua lingkungan itu pun tak terelakkan. "Kami hanya menonton," kata Bahar, seorang penduduk Karang Genteng, di pengadilan. Suatu ketika tombak Djuaini menusuk kaki Mardjidah. Setelah itu, cerita Djuaini pada TEMPO, "Teman-temanlah yang menangani Mardjidah." Mardjidah, ayah enam orang anak itu, luka-luka berat di sekujur tubuhnya. Darahnya bercecer di mana-mana. Kendati begitu, ia masih mampu pulang ke rumahnya. "Saya luka," teriak Mardjidah di depan rumahnya. Tapi ketika Kasmiati, istrinya, membuka pintu, Mardjidah sudah rebah di tanah. Pada istrinya ia hanya minta dibawa ke rumah sakit. Malang, sampai di RSU Mataram, ia mati. "Ia tak sempat menjawab siapa yang menusuknya," kata Kasmiati pada TEMPO. Malam itu juga polisi dari Polres Lombok Barat menggeledah Karang Genteng dan Petemon. Dua puluh sembilan penduduk Karang Genteng ditahan, bersama sebelas penduduk Petemon. Dari rumah-rumah mereka juga disita setumpuk tombak. Permusuhan antara warga kedua lingkungan di Kelurahan Pagutan itu sebenarnya sudah lama bersemi. Dimulai dari saling melecehkan di malam takbiran tahun lalu. Api permusuhan rupanya terus marak. Antara penduduk kedua lingkungan itu sering terjadi perang batu. Puncaknya, Juni itulah. Amarah warga Karang Genteng meluap Ketika Haji Abdurrahman diteriaki kafir oleh warga Petemon. Apalagi Djuaini, yang putra Pak Haji sendiri. "Maka, saya terus berangkat ketika diajak mesiat (berkelahi dengan senjata tajam)," kata Djuaini pada TEMPO. Berkat cepatnya penanganan yang berwajib, suasana panas cepat mereda -- dati jam malam sempat diberlakukan di kedua lingkungan selama dua pekan. Tapi setelah itu warga kedua lingkungan itu berdamai. "Kapak peperangan" dikubur. Bahkan warga kedua lingkungan kunjung-mengunjungi untuk salat Jumat. Namun, Djuaini harus menebus perbuatannya di muka hakim. Akan menyusul Masdar, Rehan, Muhsan, dan Haji Hafiz. Hanya saja, keempat penduduk Karang Genteng ini cuma dituduh membantu pembunuhan Mardjidah. Sementara itu, puluhan warga Karang Genteng lainnya bebas merdeka. Inilah yang disesalkan Achmad Djuaini. "Apa mungkin korban mati hanya karena kena tombak di kaki," ujar Achmad Djuaini, sembari mengusap air matanya. Ia rupanya merasa hanya dijadikan "tumbal" bagi warga Karang Genteng.Laporan Supriyanto Khafid dari Mataram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum