Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Maut di kamar calon pengantin

Beberapa hari menjelang pernikahan Tumi, bekas suaminya, yakni bungkos mengamuk. Calon pengantin pria, Sukardi, tewas tertikam & anak kandungnya, Marsuki juga ikut meninggal. sedang Tumi, luka-luka.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANANYA, Tumi, 26 tahun, yang sudah menjanda selama enam tahun, bulan ini akan menikah dengan pria pilihannya, Sukardi. Sebab itu, sejak awal Maret lalu, si calon suami, yang didapatkannya di perantauan, Surabaya, dibawa Tumi menginap di rumah orangtuanya, di Dukuh Semampir, Kecamatan Glenmor, Banyuwangi. Tapi tak disangka, hanya beberapa hari menjelang pernikahan, bekas suaminya, Bungkos, menerobos ke kamar tidur Tumi, ketika ia terlelap di samping kekasihnya. Di pagi itu juga Sukardi tewas ditusuk Bungkos. Begitu pula anak kandungnya, Marsuki, sementara ia sendiri terluka parah. Dinihari itu, sekitar pukul 03.00, ketika Tumi dan Sukardi masih dibuai mimpi. Bungkos sudah berada di kandang ayam di bawah rumahnya. Tangan lelaki itu memegang erat sebilah pisau dapur cap garpu Pelan-pelan, ia beranjak mendekati dapur Bertepatan dengan itu, ibu Tumi, bekas mertua Bungkos, terbangun. Di pagi itu ia berniat menanak nasi. Pintu dapur tiba-tiba didobrak. Orang tua itu kaget dan tergagap. Tidak membuang waktu, Bungkos merampas lampu minyak yang ada di tangan orangtua Tumi, dan membantingnya ke lantai. Tapi rupanya, wanita tua itu melihat wajah Bungkos, dengan pisau di tangannya. Ia segera menangkap gelagat buruk, melihat Bungkos menuju kamar tidur anaknya. "Sudahlah, jangan kau ganggu mereka," kata wanita itu sambil memegang lengan Bungkos. Bungkos, 29 tahun, rupanya sudah kalap. "Lepaskan aku, Mbok. Kalau tidak, kau kubunuh juga," gertaknya. Orang tua itu kecut. Tapi ia masih sempat lari keluar dan berteriak minta tolong. Sementara itu, Bungkos tidak membuang kesempatan lagi. Kebetulan kamar Tumi tidak pula terkunci. Masih di kelelapan tidurnya, perut wanita muda itu sobek kena belati Bungkos. Tumi menjerit, dan ketika itu pula pisau yang sama merobek perut calon suaminya. Sukardi, lelaki asal Blora itu, tak sempat berteriak. Ia mati di tempat itu juga. Malapetaka tidak hanya sampai di sana. Anak kandung Tumi dan Bungkos, Marsuki, 11 tahun, yang tidur di sebelah kamar ibunya, terjaga mendengar ribut-ribut itu. Ia segera menyadari bahaya yang mengancam ibunya. Marsuki segera meloncat ke punggung ayah kandungnya. "Pak, jangan bunuh Ibu. Ampunilah, Pak," jeritnya di sela tangis. Tapi Bungkos yang lagi kalap malah menyabetkan pisaunya ke belakang tubuhnya, hingga merobek lutut Marsuki. "Aduh . . . aduh . . ., ampun, Pak," jerit Marsuki, melepaskan rangkulannya. Bocah itu dengan berlumuran darah berlari ke luar rumah. Hanya sejauh lima belas meter, Marsuki roboh. Darah mengalir dari lututnya yang terluka sekitar 20 sentimeter, sedalam 2 sentimeter. Bungkos pun terkesiap melihat anak kandungnya itu. Ia balik memburu Marsuki. Di tengah kerumunan tetangga, Bungkos memohon. "Tolonglah anak saya," pinta Bungkos memelas. Tapi rupanya tak seorang pun di antara kerumunan orang itu yang berani bergerak. Sebab, Bungkos menggenggam pisau. Mereka baru mengangkat Marsuki setelah Bungkos lari, menyelinap di kegelapan. Tapi terlambat. Anak itu mati di rumah sakit karena kehabisan darah. Bungkos tidak lari jauh. Ia menyerahkan diri pada Syarwani, seorang anggota hansip, kawan dekatnya. "Saya telah membunuh Tumi dan calon suaminya," kata Bungkos. Buruh perkebunan PTP XXVI itu mengaku benci dan dendam karena Tumi membawa lelaki lain ke kampung itu. Padahal, ia sejak empat bulan lalu berniat rujuk dengan Tumi. Karena itu pula ia memberi 10 kilogram beras buat anaknya. "Tolonglah, Syar. Aku titip dan jagalah anakku Marsuki," kata Bungkos, yang tak tahu anaknya sudah meninggal. Syarwani kemudian menyerahkan Bungkos ke polisi. Baru dua hari setelah ditahan, ia diberi tahu bahwa Marsuki, anak tunggalnya, meninggal. Bungkos pun pingsan mendengar itu. Pekan-pekan ini ia konon suka termenung di tahanan. Sementara itu, setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit, Tumi sembuh dengan 22 jahitan di perutnya. Wanita berkulit kuning dan berwajah manis itu mengaku hanya enam tahun tahan berumah tangga dengan Bungkos "Saya tak tahan, Bungkos suka menempeleng," kata Tumi. Sejak perceraian itu, Tumi bekerja di Surabaya, di sebuah salon. Di situ pula ia bertemu dengan Almarhum Sukardi, sedang Bungkos kawin dengan orang sekampungnya, Sutrini. Tapi tak lama Sutrini juga kabur ke Surabaya. Karena itu, Bungkos bernit rujuk dengan Tumi. Niat itu, konon, sebelumnya sudah disampaikan Bungkos ke ibu Tumi. Tumi rupanya tidak tahu menahu rencana bekas suaminya itu. Juga tentang pemberian beras untuk anaknya. Ia malah lagi merencanakan perkawinannya dengan Sukardi. Ternyata, rencana muluk itu dihadang malapetaka. Wanita itu kini tidak hanya kehilangan calon suami, tapi juga anak satu-satunya. Ia tak berniat mencari jodoh lagi. "Saya hanya akan mendampingi ibu saya seumur hidup," kata Tumi sedih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus