Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maut di Tangan Santri

Seorang santri di Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Tanah Datar, Sumatera Barat, dianiaya belasan rekannya hingga tewas. Pengelola pesantren diduga menutupi kasus itu.

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamar nomor delapan di lantai dua Asrama Musa Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Tanah Datar, Sumatera Barat, seketika gaduh, Ahad, 10 Februari lalu. Para santri melihat tubuh Robby Al-Halim tergeletak di lantai. Remaja 18 tahun itu pingsan.

Santri lain memanggil Alfian, 19 tahun, sang wali kamar. Ahad malam tiga pekan lalu itu, Alfian bergegas menuju kamar berukuran 3,5 x 6 meter tersebut. Ia kemudian memanggil seorang ustad di pesantren untuk mengobati Robby. “Anak-anak menyebutkan dia kesurupan,” kata Alfian kepada Tempo saat ditemui di pesantren, Rabu pekan lalu.

Namun Robby tetap tak sadarkan diri. Mereka lantas membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah Padang Panjang malam itu juga. Dokter menyatakan Robby pingsan karena cedera. Ia membutuhkan peralatan kesehatan yang lebih lengkap.

Pengurus pesantren menghubungi dan meminta Yoserizal, ayah Robby, Senin dinihari ke rumah sakit. Robby hendak dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr M. Djamil, Kota Padang. Yoserizal, 58 tahun, bergegas ke rumah sakit. “Saya kaget saat melihat tubuh Robby sudah dipenuhi slang,” ucapnya kepada Tempo.

Yoserizal mengatakan hasil pemeriksaan dokter menyebutkan anaknya mengalami gegar otak berat. Batang otak belakang Robby disebutkan sudah rusak. Paru-parunya bocor. Selama dirawat di ruangan observasi intensif RSUP Dr M. Djamil, anak bungsunya itu tetap tak sadarkan diri. “Dokter mengatakan kemungkinan hidupnya hanya 20 persen,” ujar Yoserizal. Robby meninggal sepekan kemudian.

Keluarga belakangan mendapatkan informasi bahwa Robby ternyata dianiaya teman-temannya. Dua hari setelah Robby dibawa ke rumah sakit, mereka melaporkan pelaku penganiayaan ke polisi. Selama Robby dirawat, penyidik memeriksa 19 santri.

Polisi menetapkan 17 santri sebagai tersangka penganiaya Robby. Mereka adalah teman satu pesantren yang berusia 15 dan 16 tahun. “Korban diduga sudah dianiaya beberapa hari sebelum dirawat,” tutur Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Padang Panjang Inspektur Satu Kalbert Jonaidi.

Robby diduga dianiaya sejak Kamis, 7 Februari, tiga hari sebelum ditemukan pingsan di kamar. Menurut Alfian, teman-teman menuduh Robby mencuri telepon seluler salah satu wali kamar di Asrama Musa. Robby, kata Alfian, mengaku dan kemudian meminta maaf. “Dia dihukum membersihkan asrama selama sepekan,” Alfian menjelaskan.

Lokasi pengeroyokan di Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Tanah Datar, Sumatera Barat./Tempo/Andri El Faruqi

Persoalan ternyata belum tuntas. Kamis malam, lima santri menginterogasi Robby. Mereka turut merasa kehilangan beberapa barang di kamar masing-masing. “Mereka menampar Robby,” ujar Kalbert. Penganiayaan berlanjut pada Jumat sekitar pukul 21.30. Jumlah penganiaya bertambah menjadi enam orang. Mereka diduga bergantian menginterogasi dan memukuli Robby.

Robby jatuh sakit pada Sabtu, 9 Februari. Ia absen dalam proses belajar-mengajar di pesantren. Remaja malang itu kembali dipukuli keesokan harinya. “Ada delapan santri yang memukuli Robby dengan sepatu dan gagang sapu pada Minggu malam hingga jatuh pingsan,” tutur Kalbert.

Sebelum Robby meninggal, polisi menjerat 17 santri dengan Pasal 80 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak yang berisi jeratan terhadap pelaku penganiayaan anak dengan ancaman hukuman maksimal tiga setengah tahun penjara dan denda maksimal Rp 72 juta. Polisi tengah mempertimbangkan penerapan pasal lain setelah Robby tewas.

Polisi menyita berbagai barang bukti, seperti sepatu dan gagang sapu yang patah. Penyidik tidak menahan para tersangka di bawah umur itu. Mereka mengaku memukul dan menendang Robby. Pesantren menskors dan menerapkan pengawasan khusus terhadap mereka di dalam pesantren. Mereka menjalani pendidikan karakter di ruangan khusus dengan pengawasan polisi, lembaga anak, dan guru-guru pesantren.

Kematian Robby masih mengganjal Yoserizal. Pengelola kedai kopi ini bertemu dengan Robby pada Sabtu sore. Robby, kata dia, terlihat baik-baik saja. Ia tak terlihat seperti menahan sakit. Dalam pertemuan itu, Robby meminjam telepon ayahnya untuk menelepon ibunya. Sang ibu bergantian mengunjungi Robby pada Ahad siang. Robby tak memperlihatkan gejala apa pun. “Robby juga tidak bercerita apa-apa soal penganiayaan,” kata Yoserizal.

Yoserizal makin jengkel karena pengurus pesantren tidak pernah menyampaikan kabar apa pun kepadanya, termasuk soal tuduhan mencuri ponsel salah seorang ustad yang dikabarkan diakui oleh Robby. Yoserizal mengatakan setidaknya tiga kali dalam seminggu mengunjungi Robby ke pesantren. “Dia anak baik,” ucapnya.

Sepupu Robby, Deni Susendra, mengatakan ada dugaan kelalaian pihak pesantren dalam kasus ini. Keluarganya menuntut pesantren bertanggung jawab. “Mereka lalai mengawasi santri,” katanya.

Polisi juga merasakan keganjilan itu. Inspektur Satu Kalbert Jonaidi mengatakan pihaknya telah mendalami keterlibatan dan kelalaian pengurus pesantren. Menurut dia, ada beberapa kejanggalan dalam kematian Robby. Penyidik ragu terhadap ketidaktahuan pengurus saat Robby dianiaya selama berhari-hari. “Kami masih mendalami soal kelalaian itu,” tuturnya.

Pada Rabu pekan lalu, Tempo mendatangi kantor yayasan pengelola pesantren di lingkungan pondok. Saat itu hanya ada kepala sekolah menengah atas excellent pondok pesantren, Anggi R.A. Putri. Sebagian tersangka bersekolah di sini. Pondok pesantren ini membuka sekolah menengah pertama program intensif dan program excellent. Pondok pesantren juga membuka pendidikan SMA intensif dan program excellent. “Mungkin lebih baik langsung tanya ke pihak asrama,” katanya.

Tempo juga menghubungi kepala asrama putra pondok pesantren itu, Zakir. Dia menolak berkomentar dan meminta Tempo menghubungi pengacara yayasan, Atma. “Saya tak bisa berkomentar sembarangan. Silakan ke pengacara yayasan,” ujarnya. Sampai akhir pekan lalu, sang pengacara belum bisa memberikan penjelasan tentang peristiwa penganiayaan yang terjadi di pondok pesantren tersebut.

MUSTAFA SILALAHI, ANDRI EL FARUQI (PADANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus