Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus mahasiswa meninggal dunia di lingkungan kampus kembali terjadi. Berdasarkan penelusuran Tempo, sedikitnya ada lebih dari lima kejadian sejak 2021. Kematian mahasiswa di area universitas ini tersebab beragam motif, mulai dari pembunuhan, bunuh diri, hingga kelalaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teranyar adalah kasus tewasnya mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), Kenzha Ezra Walewangko, pada Selasa, 4 Maret 2025. Korban ditemukan meninggal dunia di area kampusnya di Cawang, Jakarta Timur. Ada dugaan mahasiswa UKI itu tewas karena dikeroyok lantaran didapati adanya darah di wajah dan hidung korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus kematian Kenzha yang diduga dibunuh di UKI ini membawa ingatan pada peristiwa 10 tahun silam terhadap mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Akseyna Ahad Dori. Pada Maret 2015, Ace—sapaan Akseyna—ditemukan mengambang tak bernyawa di permukaan danau di area UI.
Awalnya diduga bunuh diri, belakangan polisi menyatakan korban tewas dibunuh. Namun sampai kini siapa pembunuhnya masih menjadi misteri. Pada 2020 dan 2024 lalu kasus ini sempat kembali mencuat. Hingga hari ini, masih tak kabar kelanjutan penyidikan kasus yang terjadi satu dekade lalu itu.
Lantas seperti apa kilas balik tewasnya Akseyna Ahad Dori yang ditemukan tak bernyawa di danau UI ini?
Sepuluh tahun lalu, tepatnya 26 Maret 2015, jenazah Akseyna Ahad Dori alias Ace ditemukan mengambang di Danau Kenangan, UI. Polisi menyatakan jenazah Akseyna diperkirakan sudah dua hari mengambang. Saat ditemukan jenazah berpakaian sweater hitam dan celana jins hijau lumut, memakai tas ransel, dan bersepatu kets.
Mulanya polisi menduga mahasiswa UI, Akseyna tewas karena bunuh diri. Juru bicara Kepolisian Resor Depok Inspektur Dua Bagus Suwardi dugaan itu berdasarkan bukti adanya batu-batu besar di dalam tas ransel korban. Tas berisi batu tersebut diduga digunakan korban untuk menenggelamkan diri dan tidak bisa mengapung ke permukaan danau.
Namun polisi akhirnya menduga Aksyena tewas dibunuh. Sejak awal polisi sebenarnya sudah menduga Akseyna korban pembunuhan. Pasalnya di dalam tas Akseyna terdapat batu sebagai pemberat yang diduga untuk mencegah jenazah mengambang, bukan untuk bunuh diri. Apalagi kedalaman air di titik korban ditemukan hanya 1,5 meter, sedangkan tinggi Akseyna 1,7 meter.
“Memang banyak batu besar di dalam tas ranselnya. Kami masih mengidentifikasi korban dan identitasnya juga,” kata Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Beji saat itu Ajun Komisaris Polisi Syah Johan kepada Tempo, sehari setelah penemuan jenazah.
Dugaan pembunuhan menguat setelah Tim forensik Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, yang mengotopsi jenazah Akseyna, menemukan beberapa luka memar. Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah Metro Jaya saat itu, Komisaris Besar Musyafak, menjelaskan luka memar yang ditemukan itu bisa akibat dari benda tumpul. “Tapi bukan berarti dipukul, bisa karena terbentur,” katanya kepada Tempo.
Selain itu, dari hasil pemeriksaan forensik, Akseyna masih bernapas saat berada di dalam air. Itu diketahui karena ada pasir dan air di dalam paru-parunya yang terhirup ketika tenggelam. Menurut Musyafak, Akseyna meninggal karena lemas pada paru-paru lantaran tidak ada udara dan menghirup air. Bagian belakang sepatunya juga rusak, indikasi korban diseret sebelum dicemplungkan ke danau.
“Itu penyebab kematiannya, tapi apakah tenggelam sendiri atau ditenggelamkan, ini yang masih diselidiki dan ranahnya penyidik,” ujar Musyafak.
Kasus ini kembali mencuat pada Februari 2020. Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Polri saat itu, Kombes Asep Adi, mengatakan jika Polres Depok kembali membuka penyelidikan kasus Akseyna dan melakukan olah TKP lagi. Sempat dibantah Kapolres Depok saat itu Azis Andriansyah, beberapa hari kemudian Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri saat itu, Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono, menyebut polisi bakal memeriksa lokasi penemuan jasad jika ada bukti baru.
“Seandainya mendapatkan informasi yang baru ataupun mendapatkan fakta-fakta baru dimungkinkan untuk melakukan olah tempat kejadian perkara kembali,” katanya Jumat, 7 Februari 2020.
Empat tahun senyap, pada 2024 kasus ini kembali muncul ke permukaan seiring Polres Metro Depok mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan atau Sprindik kedua pada 25 Januari 2024. Kapolres Metro Depok Komisaris Besar Arya Perdana mengatakan jajarannya masih berupaya mengungkap tabir kematian Akseyna yang sudah mengendap selama 9 tahun itu.
Arya mengungkapkan pihaknya baru melakukan audiensi dengan UI dan keluarga korban. Pihak Universitas Indonesia (UI) menyatakan akan membantu proses penyelidikan untuk mengungkap misteri kematian Akseyna. Bahkan, lanjut Arya, pihaknya menggunakan ahli-ahli dari UI yang akan didatangkan untuk menambah masukan bagi polisi dalam mengungkap kasus kematian Akseyna.
“Kemarin juga sudah disampaikan ada beberapa poin dari pihak keluarga yang mempertanyakan hal-hal yang belum ditanyakan kepada saksi, misalnya gitu,” ujar Arya, Rabu, 5 Juni 2024.
Kakak Akseyna Ahad Dori, Arfilla Ahad Dori (33 tahun), optimis polisi dapat mengungkap misteri kematian adiknya yang telah mengendap selama sembilan tahun. Menurut Arfilla, selama penyelidikan bertahun-tahun, gelar perkara berkali-kali dan memeriksa puluhan saksi, polisi sebenarnya sudah punya banyak informasi untuk menyusun konstruksi kasus.
“Tinggal didalami dan dilengkapi informasi-informasi yang masih kurang, termasuk mendalami info-info yang banyak beredar di medsos,” tutur Arfilla saat dihubungi, Selasa, 18 Juni 2024.
Saat audiensi Polres Metro Depok bersama pihak UI yang turut menghadirkan keluarga Akseyna secara daring, kata dia, polisi sempat mengungkapkan belum mendalami informasi yang tersebar di medsos. “Padahal selama ini kan banyak netizen yang spill informasi dan dugaan motif, justru semestinya itu juga jadi bahan penyelidikan untuk cek benar atau tidaknya,” ujar Arfilla.
Pihak keluarga juga percaya bahwa polisi untuk menguak misteri kematian mahasiswa jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia pada 26 Maret 2015 silam. “Ibaratnya, menangkap teroris yang sembunyi di pucuk gunung saja bisa, atau menangkap pelaku kejahatan di provinsi lain jauh dari tempat kejadian juga bisa kok,” kata Arfilla.
“Apalagi kasus Akseyna ini yang kejadiannya tidak jauh dari kantor polisi. Di pusat institusi pendidikan besar, di tengah-tengah gedung rektorat, danau, dan perpustakaan,” imbuhnya.
Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.