MENTERI Kehakiman Mudjono mengakhiri pekerjaannya malam itu, 28
Januari, dengan menandatangani sepucuk surat penting. Itulah
surat 'pemberhentian sementara' terhadap hakim H.M. Soemadino,
J.Z. Loudoe, Heru Gunawan dan Hanky Izmu Azhar.
Mereka ini, terakhir masih bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Salah seorang di antaranya, Soemadiono, awal tahun ini
baru memulai karirnya sebagai hakim tinggi DKI Jakarta.
Tindakan pembersihan yang mungkin terbesar dalam sejarah
pengadilan Indonesia ini dilakukan Moedjono dengan kerjasama
Operasi Tertib (Opstib). Pangkopkamtib Sudomo beberapa jam
sebelumnya mengungkapkan kepada umum adanya perbuatan tercela di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kepala Opstib Pusat, Mayjen
E.Y. Kanter, yang memintanya mengambil tindakan tersebut.
Hukuman sementara itu berakibat, bahwa meski para hakim yang
ditindak masih akan menerima gaji berikut
tunjangan-tunjangannya, mereka tak diizinkan masuk kantor.
Sampai kapan? Tak ditentukan. Menurut Mudjono, praktek-praktek
mereka "sudah keterlaluan".
Kisahnya bermula dari kasus Hakim Heru Gunawan. Hakim ini
terjebak Opstib ketika menerima uang dari Nyonya Maria (TEMPO,
4 Januari). Akibatnya ia diberhentikan sementara oleh Menteri
Kehakiman. Tapi, atas saran Opstih, Mudjono kemudian
mengampuninya. Waktu itu banyak yang bertanya-tanya mengapa
Menteri berubah sikap. Namun rupanya Heru dibujuk -- sebagai
semacam umpan untuk, dalam kata-kata Sudomo, "membongkar praktek
yang lebih besar lagi".
Umpan itu berhasil rupanya Heru Gunawan tak ayal lagi menyeret
sejumlah hakim lain. Ia juga membeberkan perbuatan bekas
ketuanya, Soemadiono, yang oleh Opstib dianggap busuk.
Apa yang dituduhkan kepada Soemadiono? Opstib mengungkapkan
beberapa contoh. Misalnya Ketua Pengadilan hanya membagi
perkara-perkara "basah" kepada hakim-hakim tertentu -- asal
mereka berani memberi upeti. Sementara itu, hakim yang ditunjuk
akan pula memeras si pencari keadilan -- dengan menunda hari
sidang, memperlambat putusan, memerintahkan penahanan atau
penglepasan tahanan, misalnya.
Cara begitu biasa dilakukan melalui calo-calo perkara. Dengan
imbalan tertentu, advokat atau pengacara juga dapat meminta
Ketua Pengadilan menunjuk hakim tertentu saja yang menangani
perkara mereka.
Heru Gunawan, menurut sumber TEMPO di Opstib, juga membeberkan
pengalamannya yang unik. Dalam suatu perkara perdata yang
menyangkut uang milyaran, ia dan Hakim Hanky ditunjuk menjadi
anggota majelis hakim yang diketuai Loudoe. Tapi anehnya ia tak
pernah diajak bersidang. Pokoknya tahu bersih: tinggal ikut
meneken vonisnya, dan, tentu saja, terima bagian.
Sudomo dan para tokoh Opstib lain tak menyebutkan hakim atau
siapa pun --selain Heru Gunawan -- yang kini diusut Opstib.
"Kita lihat saja nanti --sekarang semuanya masih dalam proses,"
kata Kanter. Tapi, begitulah, surat pemberhentian sementara dari
Menteri Mudjono memang jelas kepada siapa dialamatkan.
Bagaimana reaksi yang dapat surat? Baik Loudoe maupun Hanky,
sampai pekan lalu menyatakan masih tak mengerti apa dosa mereka.
Loudoe, 55 tahun, tamatan Fakultas Hukum Airlangga (Surabaya),
menyatakan jiwanya "tenang" ketika menerima tindakan atasan.
Apa yang dilakukannya selama menjabat sebagai hakim (di Jakarta
sejak 1975), "bisa dipertanggungjawabkan".
Loudoe misalnya menjelaskan kenapa ia tak pernah mengajak Heru
Gunawan dan Hanky menyidangkan bersama suatu perkara, meski
keduanya sama-sama anggota majelis. Itu "tidak melanggar hukum
acara". Toh, lanjutnya, yang terjadi dalam sidang-sidang perkara
perdata hanyalah bantah-membantah antara penggugat dan tergugat
yang disampaikan secara tertulis. "Untuk itu, buat apa anggota
majelis harus hadir?"
Memang diakuinya, bahwa putusan memang dibuatnya sendiri.
Adapun mungkin ada anggota yang tak menyetujui keputusannya,
boleh saja dibicarakan.
Hakim Hanky juga berpendapat begitu. Ia menandatangani putusan
yang disodorkan Loudoe, katanya, setelah terlebih dulu
mempelajari berkas perkaranya. Tidak asal teken. "Kalau saya
nilai tidak tepat, 'kan tidak ada yang bisa memaksa saya
menandatanganinya?" kata sarjana hukum (tamatan Airlangga juga),
yang kini berusia 39 tahun itu.
Hakim Tinggi Soemadiono belum sempat ditemui. Seperti
hakim-hakim lain yang ditindak, apa kesalahan Soemadiono belum
diungkapkan. Pokoknya "diduga melakukan tindak pidana," kata
Inspektur Jenderal Departemen Kehakiman, Kamil Kamka.
Irjen tak menyebut ke arah mana lagi pembersihan hendak
dilakukan. Sedang Menteri Mudjono, yang tak keberatan bila semua
hakimnya terpaksa diopstib, melihat juga kemungkinan pembersihan
di kalangan Pengadilan Tinggi -- bahkan sampai ke Mahkamah
Agung.
Tapi ia menjamin: "Tak semua hakim jelek. Kalau ada Kurawanya
tentu ada pula Pendawanya," kata Mudjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini