JARANG-jarang ada wanita yang bisa menandingi Cicilia Yulianti, 29 tahun, atau Ie Mie Kiem, atau biasa dipanggil Ien Ming. Wanita berkulit kuning, bermata sipit, dengan rambut sebahu itu tega mengupah orang untuk membantai suaminya, hanya karena si suami tahu bahwa ia berbuat serong dengan "ayah tirinya". Ien Ming bahkan, selain menyaksikan sendiri pembantaian itu, berhasil merahasiakan pembunuhan itu selama dua tahun. Toh pekan lalu, "bau busuk" itu tercium juga. Padahal, si suami, Ho Twan Ting, 34 tahun, atau In Teng, adalah seorang pedagang palawija yang sukses di Surabaya. Lelaki yang mengawininya pada 1982 itu telah pula memberinya dua orang anak yang kini berusia lima dan tiga tahun. Sebenarnya, menurut kerabat mendiang, Budi Sutrisno, perkawinan In Teng dengan wanita kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah itu tak disetujui keluarganya. Sebab, ketika perkawinan dilangsungkan, pengantin wanita sudah hamil 5 bulan. Pihak keluarga lelaki yakin bahwa kehamilan Ien Ming bukan akibat hubungannya dengan In Teng. Toh perkawinan jalan terus. Tapi pasangan yang tinggal di Jalan Ubi, Surabaya itu tak rukun. "In Teng selalu ngalah pada istrinya," tutur seorang famili mendiang. Bahkan Ien Ming berusaha agar harta suaminya jatuh ke tangannya. "Semua harta In Teng diatasnamakan Ien Ming," ujar kerabat dekat In Teng. Hanya tinggal sebuah rumah di Wonocolo, Surabaya, yang belum diambil alih sang istri. Sebaliknya, Ien Ming punya alasan sendiri tentang percekcokannya dengan In Teng. "Saya sering dipukuli, disiksa. Uang belanja pun tak diberi, jadi saya sakit hati," katanya. Perselisihan antara kedua suami-istri itu, kabarnya, semakin memuncak ketika In Teng mencium pula "keserongan" istrinya. Ien Ming rupanya ada main dengan "ayah tirinya" sendiri, Tan Bing Hien -- bukan nama sebenarnya -- yang oknum ABRI dengan pangkat sersan kepala. Hubungan gelap itu konon telah berlangsung sejak Ien Ming belum kawin dan masih serumah dengan ibu kandungnya, Juliati. Bing Hien sendiri memang teman kumpul kebo Juliati, sejak lelaki itu, pada 198i, bercerai dari istrinya, Ien Tan Lan, yang juga saudara Ien Ming seayah lain ibu. Ternyata, setelah menikah pun Ien Ming masih sering mengulangi perbuatannya dengan "suami" ibunya itu. In Teng rupanya tak bisa menerima kelakuan istrinya. Beberapa kali kabarnya, lelaki itu memukul Ien Ming akibat keserongan istrinya. Tapi akibat itu pula, Ien Ming diam-diam merencanakan pembunuhan terhadap suaminya. Ien Ming lalu mengontak Trisno Mulyono alias Djais, seorang dukun di Dukuh Jambon, Desa Pakis Kembar, sekitar 20 km dari Malang, yang kebetulan adalah suami kakaknya sendiri, Ien Tan Lan. Djais, 48 tahun, yang punya tiga istri -- termasuk kakak Ien Ming -- kepada TEMPO mengaku, "memang dimintai tolong untuk mencelakakan In Teng. Sebelumnya saya menolak terus," katanya. Ien Ming, kabarnya, sampai tiga kali minta agar Djais menghabisi suaminya, antara lain dengan menabrak In Teng dengan mobil. Karena Djais selalu menolak, Ien Ming menjanjikan uang Rp 4,5 juta untuk pembunuhan itu. Djais pun tergiur dan setuju. Pada 11 Februari 1986, Ien Ming mengajak suaminya ke Batu -- 18 km dari Malang -- untuk menjenguk Ien Tan Lan. Mereka menumpang Colt Station yang dikemudikan Suparlan dan kenek Sukri. Sampai di Batu, bersama Tan Lan dan Djais mereka sempat makan ayam goreng di sebuah restoran. Setelah itu, perjalanan diteruskan ke Malang. Tapi sampai di Karangploso -- antara Batu dan Malang -- mereka menjemput Budiarto, adik ipar Djais. Di tempat itu, Ien Ming, yang dari tadi duduk di samping suaminya di jok tengah, minta pindah ke depan -- dekat sopir, Suparlan. Rupanya, itulah isyarat agar eksekusi dilaksanakan. Sukri, yang duduk di belakang, segera menjerat leher In Teng dengan tali plastik. Lalu giliran Budiarto. "Saya kepruk bagian belakang kepalanya dengan dongkrak," ujar Budiarto pada TEMPO. In Teng tewas di mobil itu juga, disaksikan istrinya. Setelah menyelesaikan upah para pembunuh, Ien Ming balik ke Surabaya. Sementara itu, mobil tadi terus melaju ke Jambon -- tempat tinggal Djais. Hampir tengah malam, mayat In Teng dimasukkan ke sebuah sumur tua. Supaya bau busuk tak menyebar, kawanan itu memasukkan sekuintal kapur dan minyak tanah ke sumur tersebut. Selama dua tahun, Ien Ming berhasil menyembunyikan rahasia itu kepada kerabat mendiang, dan bahkan kepada polisi. Kepada kerabat In Teng, wanita itu selalu mengatakan tak tahu di mana suaminya. "Ndak tahu ke mana, mungkin saja balik ke Cina," ujar Ien Ming kepada adik ipar In Teng Wiyono. Polisi yang mencoba mengusut hilangnya In Teng malah ditantang Ien Ming dengan hadiah motor serta kulkas bila bisa menemukan suaminya. Tak diduga, peristiwa yang terjadi dua tahun lalu itu terbongkar pekan lalu. "Bau busuk" itu tercium polisi akibat ulah Djais sendiri. Ia diusut polisi gara-gara-menggelapkan uang pendaftaran pemasangan listrik warga Jambon. Setelah diperiksa, ternyata di KTP Djais ada tanda OT -- organisasi terlarang. Warga Jambon, yang kesal akibat ditipu dukun itu, semakin giat menyelidiki Djais. Pada 29 Oktober lalu seorang warga, Wori, melapor kepada Kepala Urusan Pemerintahan Desa Pakis Kembar, Sukri. Menurut Wori, dua tahun lalu anaknya pernah disuruh Djais mencuci mobil Colt yang penuh darah. Agar tutup mulut, anak itu dibayar Rp 200 ribu. Sukri lantas mengusut adik ipar Djais, Budiarto. Ternyata, Budi mengungkapkan semuanya. Berdasarkan pengakuan itu, polisi, 30 November lalu, meringkus semua pelaku, termasuk Ien Ming dan Djais. Kamis pekan lalu, mayat In Teng, yang tinggal tulang belulang, dikeluarkan dari sumur, diiringi sedu sedan sanak familinya. "Ien Ming-lah otak pembunuhan ini," kata Kapolres Malang, Letkol. Pol. Djaya Atmadja, pada TEMPO. Toriq Hadaddan Wahyu Muryadi (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini