JUMLAH buron perkara koupsi dan ekonomi ternyata tak hanya ke-14 orang yang sudah diumumkan pencabutan paspornya oleh Menteri Kehakiman. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, yang berkunjung ke Medan Jumat dua pekan lalu, mendapat laporan mengagetkan. Di situ tak kurang dari 21 orang buron kedua perkara itu yang raib bak ditelan bumi. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Adrianus Salim, melaporkan bahwa setidaknya kini ada 12 orang penyelundup dan seorang koruptor yang dinyatakan sebagai buron kejaksaan. Sebelum itu, katanya, kejaksaan sudah mengumumkan 8 orang penyelundup yang juga buron, dan perkaranya sudah divonis pengadilan secara in absentia. Dari ke-13 buron yang disebutkan Adrianus tadi, 10 orang juga sudah divonis, tentu saja secara in absentia juga. Mereka antara lain adalah Hong Liang, Dieng Suryadi, Liem Eng Toen alias Abeng, Yap Yee Thiau, Berahim, Mansur beserta kawan-kawan, Untung Wijaya alias Untung Tandean, dan dua orang terdakwa yang tak dikenal. Mereka, antara 1985 dan 1986, ketahuan menyelundupkan berbagai barang ke Indonesia, seperti bawang putih, rumput laut, sampai pakaian bekas. Sisanya adalah Edward Siburian, kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Lubukpakam dengan tuduhan korupsi Rp 4,4 juta di BRI Unit Desa Karanganyar. Ibrahim sedang diadili di Pengadilan Negeri Tebingtinggi karena menyelundupkan 7 ton bawang putih. Dan Muchlich Syamsuddin, tersangka penyelundupan 3 kilogram emas batangan, akan disidangkan di Pengadilan Negeri Medan. Anehnya, berbeda dengan berbagai persidangan penyelundupan in absentia di Jakarta yang diadili dalam perkara ekonomi dan korupsi, hampir semua kasus penyelundupan di daerah Sumatera Utara itu diajukan jaksa hanya dalam perkara ekonomi. Akibatnya, dalam beberapa kasus, si terdakwa tidak terkena hukuman badan -- hanya barang buktinya yang disita untuk negara. Padahal, kalau saja jaksa juga menuntut terdakwa dalam perkara korupsi, bila kasus itu terbukti, hakim tak punya pilihan lain kecuali memvonis hukuman badan. Di antara kasus yang hanya diadili di persidangan ekonomi itu, misalnya, terdapat perkara terdakwa Untung Wijaya. Untung, 34 tahun, di sidang terbukti menyelundupkan 31 peti kemas berisi barang-barang elektronik, suku cadang, dan mesin, sehingga merugikan negara sekitar Rp 279 juta. Majelis hakim yang diketuai H. Simanjunak, Juni lalu, hanya memerintahkan barangbukti perkara itu dirampas untuk negara. Artinya, Untung tidak dikenai hukuman penjara. Sebab, majelis berpegang pada ketentuan undang-undang tindak pidana ekonomi, yang tidak memperkenankan pidana badan dijatuhkan terhadap terdakwa yang tak dikenal. Majelis rupanya khawatir terjadi error in persona (kesalahan orang), karena Untung tak pernah diperiksa. Selain itu, "Sampai kini memang belum ada yurisprudensi untuk perkara in absentia yang menghukum penjara terdakwanya," kata anggota majelis haklm, Asmar Ismail. Padahal, hakim-hakim di Jakarta sudah membuat terobosan dengan menjatuhkan hukuman badan terhadap terdakwa in absentia dalam perkara ekonomi. Itu sebabnya, Jaksa Jack Sinaga, yang sebelumnya menuntut Untung 6 tahun penjara dan denda Rp 20 juta, naik banding atas putusan tersebut. Di luar soal ketidakseragaman penanganan kasus-kasus in absentia itu, tentu saja yang lebih penting adalah cara menemukan para terdakwa. Jaksa Agung Sukarton bertekad akan terus memburu dan menggiring para buron itu agar menyerah. "Tak ada kompromi lagi. Kami punya berbagai cara untuk membuat mereka menyerah," kata Sukarton. Salah satu cara, katanya, membawa daftar baru para buron itu ke Menteri Kehakiman, agar dicabut paspornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini