KURSI direktur LBH Medan, yang baru lima bulan diduduki Hasanuddin, kini bergoyang. Kasus perdamaian antara LBH dan PLN, yang konon berlatar belakang droping uang dari instansi itu sebesar Rp 750 ribu, ternyata menggegerkan LBH se-Indonesia. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta memberi peringatan keras terhadap Hasanuddin. Kecuali itu, pengacara muda tersebut dilarang menangani perkara, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Keputusan yang ditandatangani Abdul Hakim G. Nusantara, 23 Agustus lalu, tampaknya akan berlanjut dengan lebih keras. Sebab, skandal perkara PLN itu, yang perkaranya telah berakhir dengan perdamaian di pengadilan, ternyata telah membongkar "borok" yang lebih parah di tubuh LBH Medan. Kabarnya, dari hasil pemeriksaan pimpinan YLBHI terhadap beberapa orang pimpinan LBH Medan yang dipanggil ke Jakarta, terungkap pula bahwa LBH daerah itu telah melakukan praktek-praktek penanganan perkara yang tak sesuai dengan "gaya" LBH -- misalnya memungut uang dari klien. Selain itu, yang lebih mengagetkan, pihak LBH Medan dikabarkan telah pula "menyunat" dana subisidi bagi pos-pos LBH. Misalnya, menurut sumber TEMPO, Hasanuddin hanya memberikan dana subsidi ke LBH Pos Binjai Rp 200 ribu -- sementara di kuitansi tertulis Rp 500 ribu. Bahkan ia tak menyampaikan subsidi Rp 2 juta kepada LBH Pos Aceh Timur, Aceh Utara, dan Tebingtinggi. Sebab itu pula, kabarnya pihak YLBHI, akhir Agustus lalu, menurunkan tim pencari fakta ke Medan, yang terdiri atas Luhut Pangaribuan, Happy Witjaksono, dan Hasto A. Soerojo. Happy, yang pekan lalu dihubungi TEMPO di Medan, mengakui sedang melacak "borok" tersebut. "Hasilnya nanti akan dibahas YLBHI sebelum mengambil tindakan final terhadap Hasanuddin," kata Happy dan Hasto. Salah seorang pimpinan LBH Medan membantah cerita "kumuh" itu. "Itu fitnah," kata pimpinan LBH yang -- anehnya -- tak ingin disebut namanya itu. Hasanuddin sendiri tak ingin menjawab semua tudingan tersebut. Hanya saja, ia secara tertulis (lihat Kontak Pembaca) membantah menerima uang dari PLN dalam rangka perdamaian dengan instansi itu. Perdamaian itu, katanya, dilakukannya semata-mata atas kehendak kliennya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) -- sebagai wakil masyarakat. Bahkan, menurut Hasanuddin, uang Rp 750 ribu itu diterima LBH Medan justru dari YLKI sendiri. Tapi sebuah sumber TEMPO di Medan mengaku bahwa uang itu memang langsung dari seorang pejabat PLN ke seorang pimpinan LBH di situ. KetuaLKI Medan, Syahrun Isa sejak semula telah membantah keras terlibat soal uang Rp 750 ribu itu. Syahrun bahkan mengatakan tahu persis bahwa uang yang diterima LBH itu berasal dari PLN. Sayangnya, PLN ketika itu lebih memilih bungkam. (TEMPO, 20 Agustus 1988). Persoalan itu kini memang menunggu hasil pelacakan lebih lanjut dari tim YLBHI Jakarta terhadap "borok-borok" di luar kasus PLN tersebut. Bagaimana bentuk tindakan terhadap Hasanuddin nanti, menurut Happy, merupakan wewenang Dewan Pengurus YLBHI. Tapi ia, katanya, melihat kasus itu tidak dengan persepsi "hitam putih". "Mesti ada alternatif lain, misalnya warna abu-abu, dong," kata Happy, yang sekretaris Bidang Administrasi 8 Personalia YLBHI itu. Tampaknya, YLBHI masih kesulitan melakukan tindakan drastis terhadap pengurus LBH Medan tersebut. Maklum, skandal PLN itu sampai melibatkan direktur, 2 kepala bagian, dan 2 pembela umum. Sebab itu, agaknya pihak YLBHI akan melakukan langkah kombinasi antara penindakan dan pembenahan. "Jika main drastis, bisa-bisa LBH Medan macet," kata Hasto. Bagaimanapun juga, kasus Medan ini sedikitnya telah mencoreng citra LBH, yang didirikan dengan susah payah oleh pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution. Sebab itu pula, reaksi keras muncul dari pimpinan LBH di berbagai daerah atas kasus itu -- yang kemudian juga disebutkan pimpinan YLBHI dalam konsiderans surat keputusannya. Baik Direktur LBH Yogya, Artijo Alkostar, maupun Direktur LBH Bandung, Dindin S. Maolani, misalnya, berharap YLBHI mengusut kasus itu sampai tuntas. "Ini menyangkut citra LBH di mata publik," kata mereka melalui telepon kepada TEMPO Biro Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini