ANCAMAN Jaksa Agung Sukarton, mencabut paspor dan kewarganegaraan para buron perkara ekonomi dan korupsi, memang membuat banyak buron yang ngeri. Pekan lalu, misalnya, seorang buron perkara manipulasi SE terbesar -- dengan kerugian negara sekitar Rp 30 milyar -- Bambang Kasto keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerahkan diri ke kejaksaan. Ia menyusul Kaligis dan empat orang rekannya, buron penyelundupan elektronik, yang sudah lebih dahulu "mengangkat bendera putih". Kasto bersama Kaligis dan kawan-kawan memang termasuk 14 orang buron yang dicabut paspornya oleh Menteri Kehakiman. Tapi, menariknya, ancaman itu ternyata belum membuat takut para pelaku kejahatan korupsi atau ekonomi, yang belum pernah buron, untuk mencoba kabur. Seorang penyelundup rotan setengah jadi dari Palu, Ferry Mandolang alias Eng Seng Tjai, justru kabur bersama keluarganya setelah Sukarton mengancam dan setelah ia sempat menyelundupkan lebih dari 1.000 ton rotan sehingga merugikan negara Rp 1,5 milyar. Lebih menarik dari kasus Ferry adalah raibnya Eddy Junaidy, tersangka korupsi Rp 130 juta di Departemen Perdagangan. Hebatnya, Eddy, yang berstatus pegawai negeri, itu nekat kabur ketika perkaranya tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Bedanya dengan Ferry, Eddy, yang kini konon ikut berlayar dengan kapal asing, meninggalkan istri dan seorang anaknya di Indonesia. "Kelas" Ferry, 47 tahun, memang tak bisa dibandingkan dengan Eddy. Kejahatan pemilik CV Donggala Jaya itu baru terbongkar setelah patroli bea cukai menangkap kapal Mulya Jaya, 10 Agustus lalu, di perairan Kalimantan Timur dalam perjalanan ke Tawao, Malaysia Timur. Di kapal itu petugas pabean menemukan sekitar 184 ton rotan setengah jadi selundupan yang ternyata milik Ferry. Berkat pengusutan terungkap bahwa usaha "haram" itu sekurangnya sudah lima kali dilakukan Ferry dengan sukses. Sampai kasus itu terungkap, sedikitnya ia telah berhasil menyelundupkan 1.157 ton rotan, sehingga merugikan negara sekitar Rp 1.5 milyar. Tapi di sinilah lihainya Ferry. Jauh sebelum kejahatannya terbongkar ia sudah mengirim istri dan tiga orang anaknya ke Singapura. Ferry baru meninggalkan Palu, 22 Juli lalu, hanya lima hari setelah ia mengapalkan rotan, yang tertangkap itu. Setelah kejahatan itu terbongkar, dua orang anaknya, yang sehari-hari menjadi pelaksana di lapangan, Pieter dan Paulus, ikut pula kabur. Kepada sopirnya, kedua Mandolang yunior ini hanya menyebut hendak pergi ke Poso ketika si sopir mengantarkannya terakhir kali ke lapangan udara Palu. Petugas kejaksaan, yang datang ke rumah Ferry, hanya menemukan seorang pembantu, Marliah, dan Asang, adik ipar Ferry, di situ. Asang inilah yang aktif menjadi penghubung antara Ferry, dari tempat persembunyiannya di Seoul, Korea Selatan, dan Juruddin -- direktur boneka yang dipasang Ferry di perusahaan rotannya, CV Tumba. "Di pabriknya, praktis tinggal orang-orang yang diperalat Ferry saja," kata sumber TEMPO di Palu. Hebatnya lagi, Ferry, yang konon kini menjadi warga negara Korea Selatan, hanya meninggalkan harta kekayaan yang sama sekali tak sebanding dengan nilai kreditnya dari BDN setempat. Dan kalau ia sekarang bisa "goyang kaki" menikmati kejahatannya di luar negeri, dua orang petugas bea cukai, yang dianggap memperlancar kejahatannya, kini terpaksa kena "getah"-nya. Ferry memang masih mempunyai belasan saudara kandun di Indonesia -- beberapa di antaranya pengusaha rotan juga. Salah satu saudara kandungnya adalah Robby Mandolang alias Robby Ng, 30 tahun, tokoh penyelundupan rotan, yang Agustus lalu ditangkap kejaksaan, sekembalinya dari Hong Kong, di Bandara Soekarno-Hatta. Robby kini mendekam di tahanan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dengan tuduhan telah menyelundupkan 2.510 ton rotan sehinga merugikan negara Rp 2 milyar lebih. Eddy, 38 tahun, yang pegawai negeri tak "selihai" Ferry. Bendahara Proyek Laboratorium Pusat Pengendalian Mutu Barang Departemen Perdagangan itu diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur bersama pejabat yang digantikannya Hendro Bambang Sumantri, 59 tahun. Menurut Jaksa Lukman Kartaprawira, kedua orang itu dalam jabatannya telah mengkorup uang negara Rp 130 juta lebih. Hanya saja kedua pejabat yang diadili sejak Juli lalu itu tak ditahan jaksa. Sebab, menurut pertimbangan jaksa, mereka tak akan melarikan diri. Eddy, misalnya, selain masih berstatus pegawai negeri, juga menanggung Istri dan seorang anak, yang membutuhkan perlindungannya selaku kepala keluarga. Ternyata, di sidang keempat perkaranya, Eddy tak muncul. Begitu juga pada dua kali sidang berikutnya. Setelah tiga kali Eddy tak juga hadir di sidang, majelis hakim yang diketuai Djaenal Hakim mengeluarkan penetapan penahanan, dan memerintahkan jaksa agar menangkap Eddy. Tapi perintah itu sia-sia. Jaksa Lukman dan polisi, vang datang ke rumah Eddy di Bckasi, 22 Agustus lalu, tak menemukan lagi terdakwa itu. Istri Eddy, yang dijumpai Lukman di rumahnya, mengaku bahwa suaminya sudah dua minggu tak pulang. Dari kantor di Departemen Perdagangan didapat keterangan bahwa Eddy sudah diberhentikan sejak awal Agustus lalu. Jaksa Lukman kehilangan jejak. "Selama ini Eddy tak pernah menunjukkan gelagat mau kabur," ujar Lukman. Untunglah, dari perusahaan pariwisata Nitour, Lukman mendapat keterangan Eddy kini tengah berlayar ke Alaska, Amerika Utara. Rupanya, buron itu telah menandatangani kontrak kerja sebagai kelasi di salah satu kapal milik Nitour, yang tak tahu status Eddy sebenarnya. Pada sidang Sabtu dua pekan lalu, Jaksa Lukman melaporkan keadaan terdakwa itu kepada majelis hakim. Tapi majelis masih meragukan kepergian Eddy ke Negeri Paman Sam. "Bisa saja Eddy masih di Indonesia, tapi kita tak tahu tempatnya," kata anggota majelis hakim, Sarimoen. Itu sebabnya majelis menunda sidang selama tiga minggu untuk memberikan kesempatan bagi jaksa mempertanggungjawabkan raibnya Eddy -- bahkan kalau bisa menangkap kembali Eddy. Jaksa Lukman Kartaprawira tetap optimistis bisa menghadirkan lagi Eddy ke persidangan. Sebab, Nitour berjanji akan mengusahakan agar karyawannya itu bisa dikembalikan ke Indonesia. "Hanya soal waktu," kata Lukman. Menurut Lukman, ulah Eddy itu bisa memperberat hukumannya nanti. "Dia telah menghambat persidangan," ucap Lukman. Sementara itu, tempat tinggal Eddy di Bekasi kini lengang dan terkunci rapat. "Eddy sudah lama tak terlihat. Keluarganya pun entah ke mana perginya," kata beberapa tetangga di situ. Tapi bagaimanapun keputusan pemerintah mencabut paspor para buron terbukti sudah mendatangkan hasil. Hanya sehari setelah pengumuman itu dikeluarkan, 5 orang dari 14 buron itu, yaitu Kaligis dan kawan-kawannya, langsung menyerah. Mereka adalah tersangka penyelundupan ratusan ton barang-barang elektronik eks luar negeri dengan kapal Levana dan Selat Jaya ke Kepulauan Riau. Lebih mengagetkan berita, pekan lalu, tentang menyerahnya Bambang alias Kwan Boen Hien. Sebab, Bambang terhitung "buron kelas kakap". Ia dianggap memecahkan rekor kerugian negara tertinggi karena berhasil mengeruk dana sertifikat ekspor secara tidak sah senilai Rp 30 milyar dengan memanipulasikan eskpor gasket -- bahan pembuat packing mobil. Happy Sulistyadi dan Agung Firmasyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini