Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mencari Jaksa Bernyali

Kinerja Kejaksaan Agung memerangi korupsi dinilai masih jauh dari harapan. Abdul Rahman dianggap tak memiliki keberanian.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH sekitar sepuluh bulan bergelut dengan beratus-ratus dokumen, akhirnya Harkristuti Harkrisnowo berhasil merampungkan pekerjaan besarnya. Bersama tim yang terdiri dari para pakar hukum pidana, dua pekan lalu, mereka menyerahkan rekomendasi terhadap kasus Ginandjar Kartasasmita kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Isinya? ”Rahasia, dong, saya tak mungkin memberi tahu Anda,” ujarnya kepada Tempo.

Pekerjaan Harkristuti kini memang tak hanya mengajar di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sejak Januari silam, ia ditunjuk Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sebagai ketua tim ahli kejaksaan. Termasuk dalam tim Harkristuti ini, antara lain, bekas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) Bambang Widjojanto dan Dadang Tri Sasongko, serta praktisi hukum Iskandar Sonhaji.

Tim khusus ini mendapat tugas mengkaji kasus-kasus korupsi kakap yang menjadi sorotan masyarakat. Misalnya, kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus korupsi yang mendapat SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Dalam catatan Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi pimpinan ahli hukum pidana Romli Astasasmita, ada 20 tersangka koruptor kini bebas lantaran mendapat SP3.

Sejak ditunjuk sebagai Jaksa Agung pada Oktober tahun silam, Abdul Rahman memang mengangkat sejumlah orang luar untuk membantu tugasnya. Sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman mafhum harapan besar dibebankan di pundaknya: memberantas korupsi yang sudah menggurita di negeri ini. Sejumlah gebrakan pun lantas dibuat Abdul Rahman.

Tak hanya mengangkat staf ahli, mantan hakim agung ini juga membentuk komisi kejaksaan, komisi yang antara lain akan bertugas mengawasi kinerja para jaksa. Tiga pekan setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman mengumpulkan semua kepala kejaksaan tinggi dan meminta mereka tak gentar mengusut kasus korupsi di wilayahnya. ”Presiden menyatakan dukungan terhadap tindakan saya,” kata Abdul Rahman.

Sejak awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mengibarkan bendera perang melawan korupsi. Instruksi presiden (inpres) dan keputusan presiden (keppres) diterbitkan sebagai senjata membekap para koruptor. Pada 2 Desember silam, misalnya, terbit Keppres tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supanji, tim ini diberi wewenang memeriksa dan menangkap siapa pun pelaku korupsi, termasuk di lingkungan istana kepresidenan. Presiden bahkan mencanangkan tahun 2005 sebagai ”Tahun Pemberantasan Korupsi”.

Gebrakan Jaksa Agung dan jajarannya berperang melawan korupsi memang terasa. Di daerah, misalnya, para jaksa tampak tak gentar lagi memeriksa para bupati, wali kota, gubernur, atau anggota DPRD yang diduga melakukan korupsi. Permintaan izin kejaksaan dari Presiden untuk menyidik para petinggi daerah itu juga tak menemui hambatan. ”Ini memang kemajuan, rata-rata dalam waktu kurang dari 20 hari izin itu sudah keluar,” kata Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch.

Kendati demikian, di mata Teten, yang dilakukan Jaksa Agung selama setahun ini memerangi korupsi hasilnya masih jauh dari memuaskan. ”Kejaksaan, misalnya, tak bisa menangkap koruptor yang lari ke luar negeri atau menyelesaikan kasus-kasus besar,” kata Teten. Padahal, menurut Teten, inilah yang justru ditunggu oleh masyarakat. ”Ingat, para koruptor itu mengambil uang rakyat ratusan triliun rupiah, dan sekarang mereka hidup nyaman di luar negeri,” ujarnya.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch ada sekitar 1.500 kasus korupsi yang ditangani kejaksaan. Dari setumpuk kasus itu, menurut Teten, baru 361 kasus yang diselesaikan. ”Masih jauh dari target. Apalagi itu bukan big fish,” ujar Teten. Dari aspek prioritas, kata Teten, seharusnya kejaksaan mengusut kasus korupsi di instansi pemerintah yang banyak menyerap anggaran, seperti Direktorat Pajak atau Pertamina. ”Ini yang tidak dilakukan kejaksaan,” katanya.

Kekecewaan terhadap kinerja Kejaksaan Agung juga diungkapkan Romli Atmasasmita. Menurut Romli, tak ada kasus korupsi yang mendapat SP3 dibuka kembali oleh Jaksa Agung. Padahal, kata Romli, masyarakat ingin kasus-kasus korupsi kakap yang dibekukan itu dibedah kembali. ”Kalau dinilai, kinerja Jaksa Agung nilainya empat. Nilai segitu pun sudah bagus,” kata guru besar Universitas Padjadjaran tersebut.

Romli juga mengkritik sikap aparat kejaksaan yang selalu menyatakan ”kurang bukti” setiap kali menghadapi kesulitan mengusut suatu kasus korupsi. ”Tak perlu itu diucapkan, karena masyarakat juga tidak mau tahu. Menyatakan ’kurang bukti’ itu sikap tidak profesional,” katanya. Dengan prestasi ”nilai empat” ini, Romli mengaku pesimistis terhadap kerja Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk bisa menyikat para koruptor. ”Saya tidak melihat dia memiliki leadership, managerial skill, dan juga keberanian melakukan sesuatu,” tutur Romli.

Seperti Romli, pakar hukum pidana J.E. Sahetapy juga melihat ”faktor nyali” Abdul Rahman Saleh sebagai penyebab lambatnya penuntasan kasus korupsi yang masuk ke kejaksaan. ”Ini sudah bawaan. Ibaratnya, kalau orang tidak berani tidur di kuburan, ya sampai kapan pun pasti tidak berani,” kata Ketua Komisi Hukum Nasional ini. Satu-satunya cara untuk keluar dari masalah ini, kata Sahetapy, Presiden harus mengevaluasi kerja Jaksa Agung. ”Apalagi Presiden sudah berjanji setelah setahun akan melakukan evaluasi kabinetnya,” katanya.

Soal pergantian posisi Jaksa Agung memang di tangan Presiden Yudhoyono. Tapi Wakil Ketua Komisi Hukum Akil Mochtar memberikan solusi lain terhadap keleletan kejaksaan. Menurut Akil, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengintervensi dan mengambil kasus-kasus besar yang selama ini mandek di Kejaksaan Agung. ”Ini salah satu jalan keluarnya agar para koruptor itu bisa segera diadili, dan undang-undang membolehkan KPK untuk melakukan itu,” kata Akil.

Apa yang ada dalam pikiran Abdul Rahman atas hujan kritik yang jatuh ke dirinya tak bisa dibaca. Namun, menurut Abdul Rahman, sebagai Jaksa Agung, ia sudah merasa semaksimal mungkin mengerjakan semua tugas yang dibebankan pada dirinya. ”Ada yang mengkritik, kenapa saya tidak pulang malam hari. Lha, apa dipikir di rumah saya tidak bekerja? Pada hari Sabtu-Minggu coba cek saya ada di mana,” katanya. Ia tampaknya juga tak risau benar dengan suara-suara miring, misalnya dari anggota DPR, yang dengan lantang meminta agar dia dicopot dari kursi Jaksa Agung. ”Itu kan hanya dari fraksi tertentu, PDIP. Itu bisa dimengerti, karena mereka oposisi,” katanya.

L.R. Baskoro, Agriceli, dan Mawar Kusuma


Menagih Janji Jaksa Agung

Dalam wawancara dengan Tempo beberapa saat setelah dirinya ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh menegaskan akan memproritaskan pengusutan kasus-kasus besar yang merugikan keuangan negara atau kasus yang menarik perhatian orang banyak (Tempo, 31 Oktober 2004). Inilah sejumlah kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat luas.

SP-3 Ginandjar Kartasasmita JAKSA Agung M.A. Rachman pada 19 Oktober 2004 mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap mantan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita. Sebelumnya, Ginandjar bersama Direktur Pertamina Faisal Abda’oe menjadi tersangka dalam kasus kontrak bantuan teknis (TAC, technical assistance contract) antara PT Ustraindo Petro dan Pertamina, yang membuat negara rugi US$ 24,8 juta (Rp 200 miliar). Ustraindo menjamin memiliki teknologi yang bisa memompa sumur minyak milik Pertamina yang mulai mengering di Bunyu, Prabumulih, Pendopo (Sumatera Selatan), serta Jatibarang (Jawa Barat). Janji yang ternyata tak terbukti.

Ginandjar, yang juga Komisaris Utama Pertamina, dianggap berperan penting di balik terjadinya perjanjian tersebut. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), salah satu penyebab kacaunya proyek ini adalah tidak rincinya isi perjanjian antara Pertamina dan Ustraindo.

Pada Juli 2005 Kejaksaan Agung mulai mengkaji kembali kasus Ginandjar. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menunjuk pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo sebagai ketua tim ahli kejaksaan untuk memberikan second opinion (pendapat pembanding) kasus Ginandjar.

Perkembangan terakhir: Pertengahan September lalu Harkristuti telah menyerahkan hasil kajian timnya ke Jaksa Agung. Harkristuti menolak menyebut isinya. Tapi, menurut sumber Tempo, tim Harkristuti memberikan rekomendasi agar kasus Ginandjar dibuka kembali.

Kasus Bank Mandiri KASUS kredit macet Bank Mandiri akhirnya disidik Kejaksaan Agung. Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe dan dua direksi bank itu, I Wayan Pugeg dan M. Soleh Tasripan, dijadikan tersangka dan dianggap bertanggung jawab terhadap kredit macet yang nilainya mencapai Rp 20 triliun. Kredit itu, menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diberikan antara lain kepada PT Oso Bali Cemerlang, PT Domas Agrointi Prima, PT Batavindo, PT Semen Bosowa Maros, dan PT Bakrie Telcom.

Perkembangan Terakhir: Pekan lalu berkas ”kasus Bank Mandiri” ini diserahkan Kejaksaan Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Rencananya, sidang perdana kasus akan digelar pekan ini.

Penyelewengan Dana BLBI PENGEMPLANGAN dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) membuat negara diperkirakan rugi Rp 144 triliun. Sejumlah konglomerat pemilik bank yang menggangsir uang negara itu kini kabur ke luar negeri. Tim Pemburu Koruptor yang diketuai Wakil Jaksa Agung Basrief Arief mendapat tugas melacak dan mengembalikan aset negara yang digondol para koruptor tersebut.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan menyidangkan secara in absentia pemilik tujuh bank yang tersangkut kasus itu. Mereka antara lain direksi Bank Pelita, Bank Deka, Bank Pinaesaan, Bank Uppindo, Bank Central Dagang (BCD), Bank Aken, dan Bank Kasugraha.

Perkembangan terakhir: Tim Basrief Arief menemukan rekening milik Hendra Raharja (pemilik Bank Harapan Santosa yang kini sudah meninggal) di sebuah bank di Hong Kong, dan Irawan Salim (mantan Direktur Utama Bank Global) di sebuah bank di Swiss. Kendati demikian, belum ada uang negara yang dapat dikembalikan ke kas pemerintah. Para pengemplang dana BLBI juga belum ada yang ditangkap.

Dana Jamsostek Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak akhir Juni silam memeriksa bekas Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi. Djunaidi diduga menyelewengkan dana jaminan sosial tenaga kerja Rp 250 miliar. Pada 4 Juli lalu Djunaidi dan Andi Rahman Alamsyah (mantan Direktur Investasi PT Jamsostek) ditetapkan sebagai tersangka.

Perkembangan terakhir: Kasus ini belum dilimpahkan ke pengadilan. Djunaidi kini dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta.

Dana Tantiem PLN Sejak 6 Desember 2004 Kejaksaan Agung mulai memeriksa kasus pembagian dana tantiem terhadap jajaran direksi dan komisaris PT PLN. Dana yang dibagikan pada September 2004 ituketika perusahaan listrik itu masih merugi sekitar Rp 3 triliundinilai melanggar aturan dan membuat negara rugi Rp 4,3 miliar. Kejaksaan Agung sudah memeriksa Direktur Utama PLN, Eddie Widiono.

Perkembangan terakhir: Kejaksaan Agung menyatakan masih mengkaji kasus ini.

L.R. Baskoro

Senjata Penangkap Koruptor

9 Desember 2004 Tim Pemburu Koruptor dibentuk. Diketuai Wakil Jaksa Agung Basrief Arief, tim ini terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta polisi. Tim ini sudah melacak harta koruptor hingga ke Australia, Hong Kong, Swiss, dan Singapura.

9 Desember 2004 Keluar Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2005 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Isinya, antara lain, perintah kepada semua pejabat agar menyerahkan laporan kekayaan dan menerapkan kesederhanaan.

2 Mei 2005 Presiden menunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supanji sebagai Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim yang terdiri dari 48 orang ini bertugas mencari dan menangkap pelaku yang diduga melakukan korupsi. Tim ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus