Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mencari pasal-pasal joki

Indra gunawan, mahasiswa unair tertangkap basah ketika menjadi joki untuk 7 peserta sipenmaru di mataram, lombok. tidak diadili karena belum ada undang-undangnya. rektor unair memecat indra.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOKI, orang yang menyewakan dirinya untuk memberikan sontekan kepada peserta ujian Sipenmaru, ternyata tidak bisa dipidana. Polisi terpaksa melepaskan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Indra Gunawan, yang tertangkap basah ketika menjadi joki bagi tujuh peserta ujian lokal Sipenmaru di Mataram, Lombok. Pihak polisi yang mengusut kasus itu tldak menemukan suatu pasal pun dari undang-undang hukum pidana yang bisa menjerat kejahatan baru di dunia pendidikan itu. "Persoalannya memang pelik," ujar Kepala Polres Lombok Barat, Letkol Ngusman Fuadi. Sebab itu, Ngusman hanya bisa memberkaskan Indra dalam kasus pemalsuan ijazah SMA, yang ia gunakan untuk ikut tes Sipenmaru di Universitas Mataram. "Karena pemalsuan itu dilakukannya di Surabaya makaberkasnya dikirimkan ke polisi di sana," kata Ngusman . Indra, 22 tahun, yang dikenal sebagai mahasiswa "super" di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya - dengan indeks prestasi 3,9 - mengaku selain menjadi joki juga telah menggunakan sebuah ijazah palsu dengan nama samaran Widodo Purnomo. Sebab, ia yang kini duduk di semester keenam, tidal. berhak lagi untuk ikut tes Sipenmaru karena ijazah SMA-nya bertahun 1984. Sebab itu, ia mengunakan ijazah 1987, dari SMA Jayasakti, Surabaya, yang didapatnya dari seseorang dengan imbalan Rp 100 ribu. Tapi malang bagi Indra, penyamarannya sebagai peserta tes Sipenamaru mencurigakan panitia tes di Universitas Mataram. Apalagi ketika itu, ia keliru menulis nama aslinya di kertas jawaban, kendati nama itu kemudian dicoret dan diganti dengan nama palsunya. Ketika ditangkap, Indra mengaku menjadi joki bagi tujuh orang peserta tes, yang duduk berdekatan dengannya di ruangan tempat tes itu. Konon, untuk jerih payahnya memberikan sontekan kepada calon-calon mahasiswa baru tersebut ia dijanjikan imbalan Rp 10 juta per klien. (TEMPO, Pendidikan, 4 Juli). Tapi itulah, kecuali untuk kasus ijazah palsu, perkara Indra tidak bisa diteruskan polisi ke pengadilan. "Lha mau diapakan dia dalam soal joki itu, wong dalam undang-undang perbuatan itu bukan pelanggaran pidana," ujar Kadit Intelpam Polda Jawa Timur, Kolonel Soeprapto. Persoalan joki itu, kata Soeprapto, kini sudah menjadi tantangan bagi ahli-ahli hukum untuk merumuskannya dalam hukum pidana. "Tinggal bagaimana ahli hukum kita menjawabnya," tambah Soeprapto. Tindakan polisi itu ternyata mengecewakan para pendidik di Universitas Mataram. "Mereka yang menjadi joki itu dan yang menyewanya jelas telah melakukan perbuatan yang merongrong kewibawaan negara," ujar Pembantu Rektor Universitas Mataram Lalu Said Ruphina, S.H. Menurut Lalu Said tindakan orang seperti Indra itu telah merusakkan sistem tes Sipenmaru, yang selama ini dinilai masyarakat mempunyai obyektivitas tinggi dalam menyeleksi calon-calon mahasiswa. Akibatnya, kata Lalu, bisa meresahkan masyarakat pendidikan tinggi dan juga masyarakat luas. Selain itu, tindakan Indra dianggap Lalu telah mencemarkan nama baik SMA Jayasakti, Unair, dan Unram. Artinya, selain bisa dituduh subversi, Indra, bagi Lalu, bisa pula dituntut berdasarkan pasal pencemaran nama baik. Dosen Hukum Pidana Unram, Arys Mansyur, berpendapat senada. Menurut pengajar pidana itu, perbuatan Indra itu bisa dikategorikan kepada kejahatan membuka rahasia negara. "Sipenmaru itu ujian negara berarti rahasia negara. Meskipun ketika ujian berlangsung bungkus soal itu sudah dibuka, batas rahasia itu 'kan sampai ujian itu selesai. Dengan memberikan jawaban kepada peserta tes berarti membuka rahasia negara," kata Arys. Berbeda dengan dosen-dosen Unram Rektor Unair Surabaya, Prof. Sudarso, seperti juga polisi, mengaku tidak menemukan pasal pidana yang dilanggar Indra dalam soal perjokian itu. "Kalau soal kesalahan, ia memang salah karena membantu orang yang tidak berhak kuliah di perguruan tinggi supaya bisa masuk dengan cara tidak benar," kata Sudarso. Kesalahan Indra yang paling fatal, kata Sudarso, adalah pemalsuan ijazah tersebut. "Sebagai calon sarjana, Unair tidak bisa mentolerir tindakan itu," kata Sudaro. Sebab itu, pekan lalu, Unair memutuskan mahasiswa berprestasi itu diberhentikan dengan hormat dan tidak diperkenankan lagi mengikuti kegiatan kurikuler di perguruan itu. Hanya saja, katanya, Indra tidak dihukum pecat agar masih bisa melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi yang lain. Indra ternyata pasrah menghadapi tindakan itu. "Saya memang bersalah telah memalukan Unair," katanya. K.I.,Laporan Biro Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus