YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia berganti pimpinan untuk kedua kalinya. Selasa pekan lalu, kedudukan ketua yayasan itu diserahterimakan dari Mulya Lubis ke Abdul Hakim Garuda Nusantara. Seperti pendahulunya, Buyung Nasution, yang kini belajar di Belanda, Mulya akan melanjutkan studinya di Harvard, Amerika Serikat. "Saya bangga karena di bawah kepemimpinan saya LBH berkembang di seluruh Indonesia," ujar Mulya yang menerima tongkat pimpinan itu dari Buyung, empat tahun lalu. Di bawah Mulya, LBH memang berkembang ke 13 daerah di seluruh Indonesia, termasuk Jayapura. Kecuali itu beberapa cabang telah mengembangkan beberapa pos LBH, yang dikenal dengan LBH Masuk Desa, agar semakin dekat dengan rakyat lapisan yang membutuhkan lembaga itu. "Konsep pos LBH itu adalah dalam rangka Masyarakat Bantuan Hukum," ujar Mulya. Dengan konsep Masyarakat Bantuan Hukum itu, Mulya ingin LBH tidak sekadar membela rakyat dalam mencapai keadilan, tapi juga membangkitkan partisipasi masyarakat terhadap gagasan LBH. Konsep itu merupakan perkembangan dari konsep Bantuan Hukum Struktural, yang juga dicetuskan Mulya sehingga bantuan hukum tidak lagi sekadar menyelesaikan perkara di pengadilan (litigasi), tapi lebih menyadarkan masyarakat terhadap hak-haknya. Tapi akibat konsep-konsep itu pula Mulya banyak mendapat kritik dan omongan tidak enak bahwa LBH semakin menekankan aspek politik dibanding aspek hukum. "Mulya itu meletakkan hukum di bawah subordinasi politik," kata Abdurahman Saleh, yang pernah menduduki kursi Direktur LBH Jakarta, sebelum digantikan Mulya. Benar atau tidak tuduhan itu, yang jelas di tangan Mulya, Pemda DKI menyetop dananya. Padahal, selama 15 tahun Pemda DKI menjadi donatir tetap LBH, dengan menyisihkan anggarannya sebesar Rp 30 juta setahun. Akibat itu, seperti diakui Hakim Garuda Nusantara, 50% dari biaya per tahun (sekitar Rp 300 juta) didapat dari bantuan luar negeri, 40% dari klien, dan sisanya dari donatir di dalam negeri. Mulya tidak mengelak di zamannya banyak cobaan dan tantangan. Tapi karena itu pula ia bangga. "Dalam keadaan yang susah dan banyak tantangan, LBH tetap solid dan kompak dalam menjaga komitmen untuk memperjuangkan masyarakat miskin. Cita-cita bantuan hukum yang sesungguhnya adalah tegaknya hukum," ujar Mulya. Akankah LBH berubah gaya, setelah Buyung pergi dan Mulya pun merantau? Banyak yang menduga begitu. Terutama karena gaya Mulya yang elitis berbeda dengan Hakim yang, kata sebuah sumber, lebih merakyat. Hanya saja dalam hal lobby di kalangan pemerintahan, Mulya, yang dandy, lebih luas daripada Hakim. Entah karena itu pula dalam mengambil risiko, menurut sumber itu, Hakim kalah berani dibanding pendahulunya. "Kritik sosial tidak akan banyak lahir dari LBH di masa Hakim," ujar sumber itu. Dalam soal konsep, tutur Abdulrahman Saleh, tidak banyak beda antara Mulya dan Hakim. Tapi soal sikap antara kedua alumnus EH Ul itu, katanya, berlainan. "Hakim lebih realistis dan mau terbuka, mudah mudahan ia tidak jatuh pada dogma-dogma. Sebab, paradigma bantuan hukum struktural itu sendiri sebenarnya berkembang dan bukan harga mati," ujar Abdurahman Saleh. Hakim, yang sebelumnya menjabat Direktur LBH Jakarta, juga menggantikan Mulya, sebaliknya menjanjikan akan mengikuti jejak para pendahulunya, termasuk Bantuan Hukum Struktural. "I.BH akan terus mengembangkan bantuan hukum struktural itu. Apakah im akan dinilai politis atau tidak terserah," ujar Hakim. Bahkan dalam rencana LBH masa depan, katanya, ia akan mencoba meningkatkan wawasan pengacara. "Supaya mereka tidak hanya legal formal tapi mengetahui konteks sosialnya juga. Tidak selalu perkara harus diselesaikan ke pengadilan," tambah Hakim. Namun, Hakim mengingatkan bahwa fungsi LBH itu sebenarnya hanyalah sebagai fasilitator bagi masyarakat ."Kami tidak berpretensi untuk menjadi pemimpin masyarakat. Kami bukan dewa atau Robin Hood, kami hanya fasilitator," tambah Hakim. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini