LEMBARAN-LEMBARAN rupiah yang parkir sebagai dolar akhirnya kembali masuk kandangnya. Bukankah itu pertanda nilai rupiah masih layak dipercaya? Namun. masih banyak spekulan yang tampak emosional, tak mau percaya sedikit pun terhadap mata uang sendiri. Harga minyak spot di Amerika yang merangkak naik, 22 dolar per barel, dan bantuan IGGI yang 26,4% lebih tinggi dari rekomendasi Bank Dunia, rupanya masih belum meyakinkan banyak pihak. Mata uang dari Negeri Paman Sam masih dianggap andal. Namun, semangat dolar itu lantas dipatahkan akhir Juni lalu oleh Prof.Dr. J.B. Sumarlin selaku menteri keuangan adinterim. Beberapa BUMN, diperintahkan menarik dananya yang nongkrong di berbagai bank, dan dibelikan perangkat moneter Bank Sentral, yakni Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sampai dengan Sabtu pekan lalu, penyedotan itu sudah mencapai Rp 1,3 trilyun. Jeh Juga pemerintah meneropong dana yang menggumpal di perbankan, terutama di bank devisa. Dana BUMN itulah, rupanya, yang selama ini dianggap menjadi alat spekulasi, sehingga perlu disedot saja (lihat wawancara dengan Menteri Sumarlin). Pemburu dolar diduga sekarang tak lagi berani nekat - mau tak mau mereka harus mengakui ampuhnya kebijaksanaan pemerintah kali ini. Waktu-waktu yang silam, spekulan seperti menganggap ringan beleid pemerintah. Setelah devaluasi September 1986, misalnya, yang dua bulan kemudian diikuti dengan perangsang bagi pengusaha di bidang perdagangan, penanaman modal, dan moneter. Gubernur Bank Indonesia, Arifin Siregar, 53 tahun, waktu itu telah melepas pagu untuk fasilitas swap. Dengan membebaskan fasilitas ini, berarti diusahakan harga pinjaman luar negeri senilai kredit dalam negeri. Yang terjadi, Desember lalu, justru lonjakan pemborongan dolar sampai mencapai US$ 1,8 milyar. Padahal, pembelian normalnya per bulan hanya berkisar antara US$ 200 juta dan US$ 400 juta. Dunia usaha masih disorong lagi, awal tahun ini, dengan kebebasan lebih luas dalam soal tata niaga perdagangan dan fiskal, disambung kemudian deregulasi dalam bidang perindustrian. Bidang moneter ditambahkan dengan menaikkan suku bunga empat instrumen pengatur peredaran rupiah: SBPU, SBI, diskonto, dan premi sqeap. Anehnya, justru setelah Januari sampai dengan April,pembelian dolar tergolong normal, bulan Mei melonjak lagi mencapai US$ 690 juta (lihat Grafik) - naik hampir 400% dari April. Dolar ternyata lebih disayang dibanding rupiah. Ketidakpercayaan terhadap kebijaksanaan pemerintah itu malah menghantam spekulan sendiri. Perbankan kena gebrak. Soalnya, mereka diduga ikut bermain. Dan bank-bank pemerintahlah yang, tampaknya, lebih mampu bergaul dengan dolar. Seperti dikatakan I Nyoman Moena, Ketua Perbanas, kecil kemungkinan bank devisa swasta bermain dolar. Sebab, aset semua bank swasta (nasional dan asing) kurang dari 30%, dan jumlah kredit dari bank swasta kepada nasabah kurang dari 17% semua pinjaman dari bank pemerintah. Kalaupun bank swasta devisa punya dolar, katanya, paling-paling itu hanya untuk menutupi kewajibannya dalam bentuk dolar. Mata uang asing ini tentu saja tidak bisa dirupiahkan. "Kecuali jika bank bersangkutan punya dana 'nganggur', sehingga ditaruh dalam dolar," ujarnya. Akhirnya, menjelma juga dolar-dolar itu menjadi rupiah. Tarikan dana BUMN itu, terbukti cukup manjur. PLN sudah mengambil Rp 275 milyar, Pertamina Rp 80 milyar, Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) Rp 60 milyar. "Itu baru tahap pertamanya, lo," ujar Sumarlin. Dari Taspen saja sudah bertambah lagi menjadi sekitar Rp 500 milyar penarikannya. Direktur Utama PT Pusri, Joni Marsinih, S.E., mengaku telah menarik dananya Rp 11 milyar lebih, yang ditaruh dalam deposito di beberapa bank pemerintah. Uang eks deposito itu lalu dibelikan SBI - jangka waktunya tiga bulan dan enam bulan - yang bunganya 18%, lebih tinggi dari bunga deposlto semula yang berkisar 14,5% sampai 17%. "Tapi tiap saat dapat dicairkan jika memang segera perlu modal," ujarnya. Dana berasal dari pemupukan modal, penyusutan, dan laba perusahaan yang ditahan setelah dipotong dividen itu, rencananya, untuk optimalisasi produk amonia di Pusri II, III, dan IV. "Dulunya, sementara belum digunakan, disimpan dulu dalam deposito," katanya. Dan setelah berbentuk SBI, ini yang masih dihitung, mungkin akan surut keuntungan bunganya. Maklum, bunga SBI termasuk pendapatan kena pajak, tidak seperti bunga deposito yang aman pajak. Kini deposito Pusri tinggal Rp 55 milyar. Kepuyengan memang kembali pada bank-bank yang digembosi karena kekeringan rupiah. Reaksi pertama, seperti dikatakan Moena, komitmen kredit dengan nasabah direm dulu. Pengusaha kena getahnya, perputaran dananya bisa runyam. Sepert dialami PT San Miguel Brewery Indonesia yang belum pulih sehabis menanggung akibat devaluasi. Karena itulah, "Mudah-mudah bank tidak memblokir kredit," begitu harapan T. Karim Ramadani, Manajer Umum San Miguel, yang belum sempat mencairkan kredit lanjutannya. Tampaknya, dunia usaha masih akan diempas dengan kenaikan bunga kredit bila perbankan enggan merupiahkan dolar mereka. Bunga deposito jangka pendek, yang menjadi sumber dana terbesar perbankan, terpaksa dinaikkan. Bank Ekspor Impor Indonesia, misalnya, mau tak mau menaikkan 6% dari bunga deposito semula yang cuma 16% untuk jangka waktu sebulan. Hal ini dilakukan untuk membendung penyedotan rupiah lebih lanjut. Sebagai upaya tambal sulam kewajiban jangka pendek, perbankan terpaksa menggunakan pin)aman antarbank, yang belakangan - setelah instruksi Menteri Sumarlin - langsung pasang harganya: pekan lalu bergerak dari 31% menjadi 39%. Bahkan ada bank yang sampai hati memungut 41%. Untuk menormalkan keadaan Bank Indonesia menerjunkan setidaknya Rp 17,7 milyar ke pasar kredit antarbank. Hasilnya? Rapi. Minggu ini, suku bunga antarbank surut tinggal sekitar 18%. Tinju Sumarlin sebentar memang menyakitkan. Daripada membiarkan kegemaran mengisap jempol menjalar tentang kemungkinan devaluasi atau rezim devisa, bukan? Dengan penarikan sumber dana perbankan asal BUMN, selisih antara peredaran dolar dan pembeliannya, yang masih sempat minus US$ 11 juta pada 11 Juni lalu, berangsur-angsur berubah surplus. Sampai dengan Sabtu pekan lalu, rupiah yang kembali ke pangkuan BI senilai US$ 860 juta, atau setara dengan Rp 1,4 trilyun - dekat dengan jumlah dana yang ditarik dari BUMN. Spekulasi dolar mereda. Tindakan drastis pemerintah itu, menurut Kwik Kian Gie, pengamat ekonomi yang menjabat Direktur Prasetiya Mulya itu, memang baik untuk menghentikan spekulasi. Asalkan pemerintah segera lebih mendalami pengetahuannya mengenai liku-liku praktek orang dagang. Ibarat dokter yang hendak menyembuhkan sakit kepala pasiennya dengan delapan obat, kebijaksanaan belakangan itu menyengat segala kemungkinan sekaligus: BUMN, dolar, perbankan, dan pengusaha. "Masih perlu tindakan susulan dalam mendiagnosa penyakit, agar ot atnya pas," ujar Kwik. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini