PATOK batas negara di daratan mudah dibikin. Batas laut yang memisahkan kedaulatan sebuah negara juga tak sukar diukur. Tapi slapa yang mempunyal kedaulatan di ruang angkasa? Persoalan itu menjadi penting terutama bagi Indonesia, karena selain memiliki satelit Palapa, Indonesia juga negara khatulistiwa yang memiliki seperdc lapan garis khatulistiwa. Padahal, di jalur orbit sekeliling bumi itu - sekitar 35.871 kilometer di atas khatulistiwa - atau dikenal dengan Geostationer Orbit (GSO), kini terparkir ratusan satelit komunikasi, termasuk Palapa, tanpa aturan main yang jelas. Sebab itu, Seminar Hukum Udara, yang diselenggarakan atas kerja sama Indonesia-Belanda, di Gedung BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), akhir bulan lalu di Jakarta, layak disimak. Tak kurang dari Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, satusanlnya guru besar hukum angkasa di sini, dan Prof. Wassenberg, direktur maskapai penerbangan Belanda KLM, ikut bicara disitu. Kesemrawutan di kawasan GSO itu memang sudah mendesak untuk dipikirkan, juga oleh ahli hukum angkasa Indonesia. Tak lain karena wilayah yang, secara perhitungan teknis, idealnya hanya bisa menampung 180 benda angkasa (satelit) itu, kini sudah dipcnuhi oleh sekitar 300 buah satelit telekomunikasi. Itu hanya yang di GSO. Di luar angkasa sana, di GSO dan yang bukan, semuanya ada 4.000-an satelit, termasuk di dalamnya satelit militer. Kendati sebagian kecil, konon, sudah tak aktif lagi, kenyataan tersebut sungguh genting. "GSO mcmang merupakan sumber alam terbatas, tapi yang memerlukannya semua umat manusia," kata Priyatna, lulusan Institute of Air and Space Law, McGill University, Kanada. Pernah lahir Deklarasi Bogota 1976. Pcntuk kesepakatan negara-negara ekuator -scpcrti Kolombia, Kongo, Ekuador, Kenya, Uganda, dan Indonesia sendiri - yang mengklaim kedaulatan atas GSO di atas tiap negara. "Hal ini telah menggugah PBB dan negara-negara maju untuk bersedia merundingkan dan mengatur GSO secara lebih baik," kata Priyatna. Sehingga, perkara ini masuk dalam agenda pembicaraan UN COPUOS (United Nations Committee on the Pcaceful Uses of Outer Space). Menurut Priyatna, 58 tahun, komisi PBB yang mengatur kemaslahatan pemanfaatan angkasa itu pada 1985 lalu telah memutuskan pembagian GSO secara equitable, rational, and fair. Namun, "Sampai saat ini belum ada penjabaran apa maksud dan rincian ketiga ungkapan itu," tambahnya. Satu hal, perundingan-perundingan antara negara-negara ekuator dan negara maju plus negara-negara blok Timur di forum PBB telah menelurkan kesepakatkan. Yaitu sama-sama setuju bahwa GSO perlu dijadikan sui generis regime alias rezim khusus GSO. "Rezim khusus GSO memang merupakan perkara yang pelik," ujar Prof. H.A. Wassenberg, 62 tahun, ahli hukum angkasa dari Negeri Belanda tadi. Tak lain, ujarnya, "Disebabkan oleh jumlah satelit yang makin berjibun di kawasan itu. Belum lagi jika nanti kita bicara segi-segi komersialisasi bendabenda angkasa bikinan manusia itu." Selama mi, etika pergaulan angkasa di kawasan GSO diatur oleh prinsipfirst come, first served, siapa duluan, dialah yang punya hak. Menurut Priyatna, keberadaan Palapa di sana juga atas dasar prinsip itu. "Tempat Palapa sudah bukan merupakan masalah lagi," katanya. Apalagi jika dilihat, permohonan izin dan prosedur pendaftaran ke ITU sudah dijalani pemerintah RI sebagaimana lazimnya. Cuma, kata Priyatna, "Sebagai sesama negara berkembang, kita tak etis rasanya jika meninggalkan negara-negara ekuator yang lain. Demi sense of belonging dan rasa kebersamaan, kita bersatu padu dengan mereka, untuk maju ke forum internasional agar GSO di atas sana bisa dibagi secara merata." Entah bagaimana memilah-milah kapling tersebut. Tidak hanya , soal penataan kawasan GSO yang - dibicarakan ahli hukum angkasa di seminar dua hari itu. Juga dibicarakan hukum penerbangan kedua negara.Seminar itu membicarakan RUU Penerbangan kita, sebagai pengganti undang-undang penerbangan Indonesia yang sudah kedaluwarsa. Sampai saat ini, bidang penerbangan Indonesla maslh dlatur oleh Undang-undang Nomor 83,1958, yang disusun ketika jumlah pesawat kita tak lebih dari 37 buah, dan melulu dari jenis Electra 990. Padahal, sekarang, paling tidak sampai 1986, jumlah itu sudah menjadi 771, terdiri dari 215 jenis. Undang-undang lama itu kini sudah tidak memadai. Memang kalau di darat saja perundang-undangan kita belum memadai, .lpalagi di udara atau di ruang angkasa. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini